Opini

Upaya NU Tanggulangi Sampah Plastik

Rab, 6 Maret 2019 | 07:00 WIB

Oleh Syakir NF
Memang kita belum terbiasa untuk memuji. Semua mata hanya tertuju pada soal kafir. Padahal, selain persoalan itu, banyak keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU 2019 yang juga tak kalah pentingnya. Buang plastik sembarangan, misalnya, yang diputuskan haram jika nyata-nyata atau diduga kuat membahayakan lingkungan dalam jangka pendek maupun panjang.

Bahkan, Munas NU 2019 juga memutuskan bahwa pemerintah boleh menindak pelaku yang membuang sampah sembarangan, produsen yang tidak mengelola sampah kemasan produksinya, hingga masyarakat boleh memboikot perusahaan yang tidak mengelola sampah kemasan/produksinya dengan tanpa unsur paksaan. Hal tersebut karena mengandung kemaslahatan umum.

Keputusan ini penting karena beberapa hal. Pertama, belum ada lembaga mana pun yang secara khusus membahas dan memutuskan hukum persoalan ini. Secara individu mungkin ada, tetapi kekuatan kesepakatan di antara ulama yang bertemu tentu lebih kuat.

Di samping itu, konteks sekarang juga menjadi faktor penting lain adanya keputusan tersebut. Pasalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada lebih dari 65 juta ton sampah per tahun 2016. Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati pada 2016 memperkirakan bahwa pada 2019 nanti, angka total sampah mencapai 68 juta ton, dan 9,52 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik. 

Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, menyebut 3,24 juta ton sampah plastik dibuang ke laut. Ia bahkan mengkhawatirkan bakal lebih banyak sampah plastik ketimbang ikannya nanti. Hal ini tentu perlu langkah penanganan yang masif.

Keputusan ini juga penting sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-ammah). Rais Aam PBNU 1999-2014 KH Sahal Mahfudz, dalam Nuansa Fiqih Sosial, mengatakan bahwa kemaslahatan umum merupakan kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Berkurangnya sampah plastik atau pengelolaan yang baik tentu akan melahirkan kesejahteraan. Ikan akan melimpah, sampah juga bisa jadi barang yang bernilai, kerusakan alam juga berkurang, dan sebagainya.

Mendengar haram membuang sampah plastik sembarang, masyarakat berpikir dua kali untuk melakukannya. Terlebih jika mereka mengetahui dampak yang diakibatkan dari laku yang biasa mereka lakukan sebelumnya itu. Dengan begitu, masyarakat akan sadar untuk tidak lagi berlaku membuang sampah di sembarang tempat.

Namun, sebagai sebuah hukum, keputusan ini memang tidaklah mengikat sebagaimana hukum positif yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi, KH Maemun Zubair, seperti dikutip Ahmad Baso dalam Buku Wacana Baru Fiqih Sosial, 70 Tahun K.H. Ali Yafie, menegaskan bahwa fiqih mempunyai nilai keabsahan yang tidak dibatasi oleh aturan dan wewenang pemerintah. Artinya, keputusan NU ini memiliki dimensi yang lebih luas.

Selain itu, keputusan Munas ini juga penting dalam rangka menjaga hubungan manusia dengan alam (hablun minal alam). Rais A m PBNU 1991-1992 KH Ali Yafie, dalam Menggagas Fiqih Sosial, mengungkapkan tiga fungsi manusia, yakni sebagai perusak, pencipta dan pembangun, serta pemelihara.

Pada kategori terakhir ini, Kiai Ali Yafie menegaskan bahwa manusia merupakan pemelihara (ra'in) yang bakal ditanyakan tanggung jawabnya (mas'ul 'an ra'iyyatihi) kelak nanti. Maka, membuang sampah plastik ke tempatnya dan mengolahnya dengan baik akan tergolong pada kategori terakhir itu. Akan tetapi, jika masih sembarangan, maka ia tergolong pada fungsi manusia yang pertama, yakni perusak, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Munas lalu dengan mengutip Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 41 dan Surat Al-Maidah ayat 33.

Keputusan ini tidak lagi penting dikeluarkan di Jepang, misalnya. Pasalnya, masyarakat di sana sudah sadar dalam membuang sampah pada tempatnya. Bahkan, ada beberapa kategori sampah guna memudahkan dalam pengolahannya. Ketika saya mengikuti kegiatan di sana, hampir tidak pernah melihat sampah di tempat manapun. Terlebih sampah plastik.

Upaya Preventif NU
Nahdlatul Ulama, melalui keputusan tersebut, sejatinya telah memberikan sumbangsih besar dalam rangka mengurangi sampah plastik itu. Sebelumnya, NU juga telah melakukan upaya preventif melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) dengan membuka Bank Sampah Nusantara (BSN). Nasabah menabung dengan menyetorkan sampah yang dapat diolah kembali. Uang hasil timbangan sampah yang dibawa oleh nasabah, langsung disetorkan ke rekening bank nasabah.Sampah yang tadinya dibuang sia-sia, bahkan membahayakan lingkungan, berubah menjadi barang yang bernilai ekonomi.

Tidak berhenti di situ, LPBINU juga mengolah sampah-sampah tersebut menjadi barang yang bisa berguna. Botol plastik, misalnya, yang dibuat menjadi tempat duduk. Botol-botol itu dikumpulkan menjadi satu. Setiap botol diisi penuh dengan bekas bungkus makanan dan minuman instan sampai padat. Lalu, botol-botol itu dilem dan jadilah tempat duduk dan barang lainnya sesuai kebutuhan. Barang tersebut biasa disebut ekobrik.

Ketua LPBINU M Ali Yusuf, sebagaimana dilansir NU Online, mengatakan bahwa jika kita berkomitmen dalam mengelola sampah, maka barang tersebut bisa berbuah berkah. Oleh karena itu, peran serta semua pihak wajib diupayakan.

Pemerintah juga sudah melakukan berbagai langkah penanganan itu. Bukan hanya secara teknis, tapi juga dengan penetapan hari tertentu sebagi upaya mengingatkan khalayak untuk terus peduli terhadap lingkungan, khususnya sampah, yang sampai hari ini, Indonesia menduduki posisi kedua setelah Tiongkok sebagai penyumbang sampah terbesar di dunia. Ada Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati pada 21 Februari.

Tapi mestinya tidak sampai di situ. Muhammad Majdi, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren, meminta keputusan tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan sosialisasi dan fasilitasi. Pemerintah harus berupaya mengedukasi masyarakat untuk membuang sampah sesuai kategori. Hal itu juga perlu didukung dengan fasilitas tong sampah dan alat pengelolaannya.

Lalu apa gerangan yang sudah kita lakukan? Sampai hari ini, kita masih sibuk berdebat soal kafir, mencari dalih dan dalil pembenaran atas opini masing-masing. Sementara soal plastik, kita masih dengan enaknya membuang ke sungai, membuang ke jalan, tanpa peduli kerusakan mengancam semua makhluk hidup.


Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).