Syariah

Fiqih Anti-Kekerasan: Respons Terhadap Kekerasan atas Nama Agama

Sab, 4 Mei 2024 | 14:00 WIB

Fiqih Anti-Kekerasan: Respons Terhadap Kekerasan atas Nama Agama

Ilustrasi kekerasan. (Foto: NU Online/Freepik)

Perubahan serta transformasi pola pikir kaum muslimin saat ini berimplikasi terhadap pemahaman pada teks-teks keagamaan yang menjadi otoritas tertinggi dalam tatanan hukum Islam. Adakalanya nalar yang muncul kala membaca teks Al-Quran dan hadits menimbang-nimbang kembali, ‘Apakah sebenarnya sikap atau solusi yang ditawarkan dalam teks tersebut masih relevan di masa sekarang?’

 

Misalnya, teks-teks keagamaan yang akhirnya melahirkan pemahaman para suami untuk berbuat semena-mena tanpa memerhatikan kondisi istri dan berujung pada KDRT dengan alasan nusyuz, atau memukul untuk ‘menertibkan’ istri.

 

Teks-teks tersebut secara literal memang ada dan dapat ditemukan dalam pedoman umat Islam, namun kita tidak dapat menolak realita negatif yang lahir akibat adanya kesalahpahaman atau kesewenang-wenangan dalam melegalkan tindakan kekerasan dengan berlandaskan nash.

 

Di sinilah pentingnya praktik fiqih anti-kekerasan agar teks-teks keagamaan dalam praktiknya tidak disalahgunakan untuk legalisasi kekerasan, di saat yang sama tidak mengubah formasi hukum yang telah ditetapkan para fuqaha dan ahli hukum Islam.

 

Anti-Kekerasan sendiri merujuk kepada dua kata, pertama anti yang dalam KBBI memiliki arti tidak setuju, tidak senang atau tidak suka. Kemudian kata kekerasan merujuk kepada tindakan yang menyebabkan orang cidera atau kerusakan pada orang lain, baik secara fisik maupun mental.

 

Secara terminologi, anti-kekerasan dapat dimaknai sebagai penolakan diri untuk terlibat dalam tindakan yang menyebabkan cedera fisik, kerusakan, atau tekanan mental pada orang lain, di mana sikap tersebut perlu diiringi dengan komitmen untuk menciptakan hubungan yang adil, saling menghormati, dan syarat akan kesetaraan antar-individu (Muhammad Imam Muttaqin, Konsep Anti Kekerasan Perspektif Al-Quran dan Bibel, [Ulil Albab: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2023], hal. 1618).

 

Nilai-nilai anti-kekerasan yang menginspirasi pola fiqih anti-kekerasan adalah sumber-sumber dalam Islam sendiri yang tidak memperkenankan tindakan kekerasan. Misalnya dalam Al-Qur’an surat Ali-‘Imran ayat 159:

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ

 

Artinya, “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting).” (QS ‘Ali ‘Imran: 159)

 

Secara global, ayat di atas merupakan landasan terhadap anjuran untuk bertindak lemah lembut dan berlaku baik, serta perintah untuk memaafkan. Sikap-sikap tersebut merupakan cerminan dari akhlak Nabi, di mana beliau dideskripsikan sebagai sosok yang tidak berlaku kasar, tidak melakukan kekerasan dan banyak memaafkan. . (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IV, hal. 141).

 

Selain itu, ayat di atas juga merupakan pilar dari praktik musyawarah. Apabila ada masalah yang terjadi, maka selesaikanlah dengan musyawarah, bukan dengan tindakan kekerasan. Nilai-nilai ayat dapat menjadi inspirasi nalar fiqih anti-kekerasan.

 

Kemudian dikutip dari sebuah hadits Nabi saw,

 

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

 

Artinya, “Diriwayatkan dari 'Aisyah, istri Nabi saw, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun yang menyukai sikap lembut. Dia memberikan kepada pada sikap lembut, sesuatu yang tidak diberikan pada sikap kasar dan juga sikap-sikap lainnya.” (HR Muslim)

 

Dalam konteks fiqih anti-kekerasan, hadits ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip seperti toleransi, perdamaian, dan penyelesaian konflik secara damai harus menjadi pijakan utama dalam menjalani kehidupan beragama dan sosial. Selain itu, hadits ini juga mengajarkan bahwa sikap lembut dan penyantunan merupakan ciri dari pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam..

 

Ragam Jenis Kekerasan

Kekerasan memiliki banyak ragam, di antaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, seksual dan juga ada beberapa macam kekerasan lainnya tergantung dari bentuk dan tinjauannya. Untuk memahaminya lebih lanjut, kita dapat mendapatkan penjelasannya melalui bentuk tindak KDRT dalam pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang Tindak KDRT.

 
  1. Kekerasan fisik: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat
  2. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
  3. Kekerasan seksual: pemaksaan hubungan seks yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau pemaksaan hubungan seks terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial tertentu.
 

Selain itu, terdapat juga istilah kekerasan struktural, yaitu bentuk kekerasan yang tidak langsung terlihat namun memiliki dampak yang nyata pada banyak orang. Contoh kekerasan struktural meliputi korupsi, peredaran narkoba di dalam penjara, peningkatan intoleransi terhadap keragaman, dan sebagainya. 

 

Dampak dari kekerasan struktural di Indonesia sangat terasa dalam kehidupan masyarakat, terlihat dari penurunan tingkat toleransi dan demokrasi yang dipengaruhi oleh pilihan politik dan menyebar ke berbagai aspek identitas (Franky, Analisa Pemikiran Politik Mahatma Gandhi, [Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, 2019], bab V).

 

Selain itu, kekerasan juga ada yang dilakukan secara individual, dan juga secara kolektif semisal perundungan yang terjadi di sekolah kepada seorang siswa hingga massa yang berdemo diiringi tindakan-tindakan kekerasan (Iron Fajrul Aslami, Kekerasan Kolektif Sebagai Kejahatan, [Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum, 2021], hal. 64)

 

Tren Peningkatan Kekerasan di Tengah Masyarakat

Tren meningkatnya kekerasan di tengah masyarakat merupakan sebuah fenomena yang menjadi perhatian serius. Misalnya saja salah satu penelitian menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan di tahun 2019 meningkat, dari sebelumnya 406.178 hingga 431.471 kasus (Ahmad Khairul Nuzuli, Pelatihan Media Sensitif Gender bagi Penggiat Media, [Jurnal Komunikasi Profesional, 2021] hal. 295).

 

Kompas sendiri mencatat terdapat 136 kasus kekerasan di sekolah sepanjang tahun 2023, paling parahnya adalah 19 orang meninggal. Meskipun kekerasan di sekolah tidak serta merta merupakan bagian khusus dari tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi dari nalar keagamaan, namun data tersebut perlu ditindak secara serius oleh pemerintah.

 

Menurut Sudarto, seorang peneliti dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, dari 2.392 insiden kekerasan yang tercatat, sekitar 65 persen atau sebanyak 1554 insiden bermula dari isu agama. 

 

Di sisi lain, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 adalah sebanyak 289.111 kasus, menurun sebesar 12% dibandingkan tahun 2022. Data tersebut merupakan laporan dari korban, pendamping, dan keluarga, sementara kasus yang tidak dilaporkan mungkin lebih besar, sebagaimana keterangan Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan yang diterbitkan 7 Maret 2024.

 

Menurut data tersebut, karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, di mana korban cenderung lebih muda dan memiliki pendidikan lebih rendah daripada pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan berasal dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, di mana kekuasaan pelaku semakin kuat jika mereka memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan posisi keagamaan.

 

Sementara lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, data jumlah kasus kekerasan sejak awal tahun 2024, baik yang telah terverifikasi maupun yang diinput pada bulan berjalan mencapai angka 6.900, di mana 1.467 korban merupakan laki-laki dan 6.032 korban adalah perempuan.

 

Menurut data dari Kemenpppa, kasus kekerasan terjadi di banyak sektor, seperti rumah tangga, sekolah, fasilitas umum dan lain-lain. Hanya saja, angka tertinggi kasus kekerasan didominasi dalam rumah tangga, yaitu sebanyak 4.208 kasus.

 

Selanjutnya, jenis kekerasan yang dialami korban didominasi oleh jenis kekerasan seksual sebanyak 3.154 kasus, kemudian kekerasan fisik sebanyak 2.335 kasus, kekerasan psikis sebanyak 2.151 hingga penelantaran sebanyak 622 kasus.

 

Selain itu, data tersebut juga menunjukkan bahwa pelayanan terhadap kasus kekerasan yang terjadi tidak banyak ditanagani melalui Pendampingan Tokoh Agama, dibanding lembaga-lembaga pengaduan lainnya.

 

Urgensi Fiqh Anti Kekerasan

Urgensi fiqh anti-kekerasan menjadi semakin penting dalam konteks sosial dan agama saat ini. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terdiversifikasi, tantangan kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga dapat termanifestasi dalam bentuk-bentuk yang lebih halus seperti kekerasan struktural dan verbal. 

 

Oleh karena itu, mengarusutamakan teks-teks keagamaan menuju perspektif anti-kekerasan menjadi suatu kebutuhan mendesak. Teks-teks keagamaan yang ditafsirkan dengan konteks kekinian dalam balutan kompleksitas pembahasan dapat memberikan panduan moral yang kuat untuk menanggulangi segala bentuk kekerasan dalam masyarakat.

 

Dalam konteks Islam, urgensi fiqh anti-kekerasan juga menekankan pada nilai-nilai rahmat, kasih sayang, dan perdamaian yang diajarkan dalam ajaran agama. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menegaskan pentingnya menghindari segala bentuk kezaliman. 

 

Dengan memahami teks-teks keagamaan secara holistik dan kontekstual, umat Muslim dapat menginternalisasi prinsip-prinsip anti-kekerasan dalam implementasi fiqih dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kemudian fiqh anti-kekerasan juga mencerminkan aspirasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan harmonis. Dengan menerapkan prinsip-prinsip anti-kekerasan dalam hukum dan kebijakan publik, negara dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi warga negara dari segala bentuk ancaman kekerasan. 

 

Fiqh anti-kekerasan menegaskan pentingnya interpretasi yang tepat terhadap teks-teks yang menjadi sumber dalam Islam agar menghasilkan perspektif yang konsisten dengan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences