Syariah

Hukum Memakai Sandal ketika Tawaf atau Sai

Sab, 4 Mei 2024 | 12:30 WIB

Hukum Memakai Sandal ketika Tawaf atau Sai

Ilustrasi tawaf memakai sandal atau sepatu. (Foto: NU Online/Faizin)

Pada dasarnya jamaah haji dan umrah dianjurkan untuk melaksanakan tawaf dengan telanjang kaki. Jamaah haji dan umrah disarankan melaksanakan tawaf tanpa alas kaki untuk menunjukkan sikap takzim terhadap Ka’bah dan Masjidil Haram.

 

Ulama fiqih menetapkan kemakruhan tawaf jamaah haji dan umrah di Masjidil Haram dengan mengenakan alas kaki baik sandal, sepatu, maupun kaos kaki. Pemakaian alas kaki ketika tawaf dianggap kurang baik/adab karena tidak menunjukkan sikap takzim yang layak.

 

Adapun jamaah haji dan umrah yang memiliki uzur diperbolehkan tanpa makruh untuk menggunakan alas kaki ketika melaksanakan tawaf di Masjidil Haram.

 

وَالْخَامِس أَن يطوف حافيا فَلَو طَاف فِي نعل طَاهِر أَسَاءَ لإخلاله بالتعظيم إِلَّا أَن يشق عَلَيْهِ مُبَاشرَة الأَرْض بباطن الْقدَم لشدَّة الْحر فَلَا يكره

 

Artınya, “Tawaf dilakukan telanjang kaki. Seandainya jamaah melakukan tawaf mengenakan sandal yang suci, maka itu kurang baik karena menunjukkan sikap kurang takzim [pada Masjidil Haram] kecuali sulit baginya menginjak lantai dengan telapak kaki karena panas [atau uzur lainnya] maka tidak dimakruh,” (Syekh M Nawawi bin Umar Al-Jawi, Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul kutub ilmiyah: 2002], halaman 204).

 

Pada dasarnya jamaah haji dan umrah boleh saja secara syar’i [tetapi makruh] mengenakan alas kaki ketika tawaf. Tetapi ketika lantai Masjidil Haram menjadi panas karena suhu naik, jamaah boleh bertawaf dengan mengenakan alas kaki.

 

Lalu bagaimana hukum sa’i dengan alas kaki pada Shafa dan Marwah? Sa’i memiliki ketentuan yang kurang lebih sama, bahkan pada sebagian aspek lebih longgar daripada tawaf.

 

Sebenarnya tidak ada larangan sa’i menggunakan alas kaki. Sejauh ini, jamaah haji dan umrah hanya disunnahkan melakukan sa’i dalam kondisi suci dan menutup aurat.

 

Kalau pun jamaah haji dan umrah melakukan sa’i dalam kondisi aurat terbuka, berhadats, junub, haid, atau terkena najis sekalipun, maka ibadah sa’inya tetap sah.

 

الثانية: يُسْتَحَبُّ أنْ يَسْعَى عَلَى طَهَارَةٍ سَاتراً عورَتَهُ فَلَوْ سَعَى مَكْشُوفَ الْعَوْرَةِ أوْ مُحْدِثاً أو جُنُباً أوْ حَائِضاً أوْ عَلَيْهِ نجاسَةٌ صَحَّ سَعْيُهُ

Artinya, “Kedua. Jamaah dianjurkan melakukan sa’i dalam kondisi suci, menutup aurat. Seandainya jamaah melakukan sa’i dengan terbuka aurat, berhadats, junub, haidh, atau padanya terdapat najis, ibadah sa’inya tetap sah,” (İmam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj, [Beirut, Darul Fikr: tanla catatan tahun], halaman 139).

 

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa tawaf dan sa’i dengan mengenakan alas kaki pada dasarnya tidak masalah terlebih lagi ketika ada uzur baik internal [jamaah sakit yang harus mengenakan alas kaki] maupun eksternal [lantai panas, dingin, basah, dan lain sebagainya]. 

 

Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online