Syariah

Larangan Rasisme dalam Islam

Kam, 9 Mei 2024 | 18:30 WIB

Larangan Rasisme dalam Islam

Ilustrasi menolak rasisme. (Foto: NU Online/Freepik)

Sebagai agama paripurna, Islam tidak pernah membenarkan adanya rasisme, yaitu menganggap bahwa ras, keturunan, suku dan bangsa tertentu lebih mulia daripada ras atau suku yang lain. Larangan ini karena pada hakikatnya semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di sisi Allah swt dan yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan dan ketekunan dalam ibadahnya. Dengan kata lain, siapa yang bertakwa, dialah yang mulia, tanpa memandang berasal dari suku mana dan ras apa.

 

Sejak awal Allah swt menciptakan manusia, penilaian utamanya adalah ketakwaan dan keimanan dalam diri mereka. Ras, keturunan dan etnis sama sekali tidak memiliki nilai apa-apa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat, Allah swt berfirman:

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

 

Artinya, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat, [49]: 13).

 

Pada ayat di atas, terdapat satu poin penting yang perlu kita ketahui bersama, yaitu bahwa hikmah dan tujuan diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tidak lain untuk saling mengenal dan melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, bukan untuk saling membangga-banggakan suku dan keturunan masing-masing orang.

 

Pendapat ini sebagaimana telah disampaikan oleh salah seorang ulama kontemporer abad ini, Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, dalam kitabnya ia mengatakan:

 

وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ اللَّهَ خَلَقَكُمْ لِأَجْلِ التَّعَارُفِ لاَ لِلتَّفَاخُرِ بْالْأَنْسَابِ، وَإِنَّ التَّفَاضُلَ بَيْنَكُمْ إِنَّمَا هُوَ بِالتَّقْوَى، فَمَنْ اِتَّصَفَ بِهَا كَانَ هُوَ الْأَكْرَمُ وَالْأَشْرَفُ وَالْأَفْضَلُ فَدَعَوْا التَّفَاخُرَ

 

Artinya, “Maksud bahwa Allah menciptakan kalian (dengan berbeda-beda suku dan bangsa) adalah untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan keturunan (rasisme). Sesungguhnya keunggulan di antara kalian adalah hanya bisa diraih dengan takwa. Siapa saja yang bersifat dengannya (takwa), maka dialah yang lebih terhormat, lebih mulia dan lebih utama, maka tinggalkanlah rasisme.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir fil Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus, Darul Fikr: 1418], juz XXVI, halaman 259).

 

Dari penjelasan di atas, maka tentu sudah sangat jelas bahwa keturunan tidak memiliki nilai apapun dalam menentukan derajat dan kemuliaan seseorang. Membanggakan diri atas keturunan justru menjadi sebuah tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Dengan demikian, rasisme sudah seharusnya tidak lagi terjadi pada seseorang, baik secara individual maupun secara kelompok.

 

Pendapat yang sama sebagaimana penjelasan di atas adalah seperti yang disampaikan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya, ia menjelaskan bahwa kedudukan semua manusia sama, dan rasisme sangatlah tidak dibenarkan. Keturunan dan etnis apa saja tidak memiliki nilai apapun jika tidak dilandasi dengan ketakwaan, sekalipun dari keturunan terhormat menurut pandangan manusia secara umum. Dalam kitabnya disebutkan:

 

فَالنَّاسُ فِيمَا لَيْسَ مِنَ الدِّينِ وَالتَّقْوَى مُتَسَاوُونَ مُتَقَارِبُونَ، وَشَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ عَدَمِ التَّقْوَى، وَإِنْ كَانَ أَرْفَعَ نَسَبًا

 

Artinya, “Manusia dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan agama dan takwa itu sama dan saling berdekatan, sesuatu dari hal itu tidak memiliki bekas apa-apa jika tidak dilandasi dengan ketakwaan sekalipun lebih tinggi nasabnya.” (Imam Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1420], juz XXVIII, halaman 112).

 

Lebih lanjut, Imam Fakhruddin ar-Razi juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat, “Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakarin wa untsa)”, adalah diciptakan dari Nabi Adam dan Hawa, maka tentu membanggakan keturunan atau rasisme antara yang satu dengan yang lainnya sangat tidak layak, karena mereka tercipta dari bapak dan ibu yang sama.

 

Oleh karena itu, tindakan rasisme selain tidak dibenarkan dalam Islam, juga tidak layak secara etika kemanusiaan. Selain itu, ketakwaan menjadi standar kemuliaan setiap orang, sehingga keturunan dan etnis apa saja tidak memiliki nilai apa-apa untuk dibanggakan.

 

Rasisme juga merupakan salah satu tindakan merendahkan orang lain yang sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Larangan tersebut karena tentunya akan menciptakan kehidupan yang tidak harmonis, ketegangan sosial dan merusak hubungan antar individu setiap orang.

 

Selain itu, bisa saja orang yang mendapatkan perlakuan rasis lebih mulia dan lebih utama di sisi Allah swt. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat, yaitu:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (QS Al-Hujurat, [49]: 11).

 

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa rasisme yang merupakan tindakan merendahkan, mendiskriminasi atau menganggap suatu ras dan kelompok lebih rendah daripada yang lainnya sangatlah tidak dibenarkan, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bisa merusak kerukunan antar manusia. Oleh karena itu, rasisme harus dilarang dan tidak boleh diterima dalam bentuk apa pun.

 

Hal itu karena setiap diri manusia harus dihormati, dihargai dan dimuliakan tanpa memandang ras, warna kulit atau latar belakang etnis setiap orang. Karena itu, sudah saatnya membangun masyarakat yang adil dan setara bagi setiap individu manusia.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.