Bahtsul Masail

Apakah Shalat Dhuha Dapat Sempurnakan Kekurangan Shalat Wajib?

Kam, 13 Desember 2018 | 23:15 WIB

Apakah Shalat Dhuha Dapat Sempurnakan Kekurangan Shalat Wajib?

(Foto: @sohu.com2)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, yang kami hormati. Dalam kesempatan ini kami akan menanyakan tentang Shalat Dhuha dan zikir setelah shalat. Apakah keduanya bisa menjadi penyempurna shalat wajib? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Prasetyo).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Shalat lima waktu merupakan kewajiban yang selalu melekat bagi seorang Muslim. Ia juga salah satu rukun Islam sehingga Muslim yang menjalankannya sama dengan menenegakkan agama dan yang meninggalkannya sama dengan menghancurkan agama.

Pada hari kiamat kelak, shalat merupakan amal yang akan dihisab pada urutan pertama. Setiap Muslim yang melakukan shalat lima waktu pasti berharap shalatnya sempurna dan diterima sisi Allah SWT. Namun, kita tidak tahu apakah shalat yang kita kerjakan masuk dalam kategori sempurna atau tidak.

Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Allah SWT menitahkan para malaikat untuk melihat bagaimana shalat para hamba-Nya, apakah sempurna atau justru malah sebaliknya. Ketika malaikat menemukan kekurangan shalat manusia, maka Allah memerintahkan mereka untuk melihat apakah hamba tersebut memiliki amalah ibadah shalat sunnah.

Jika ternyata ia memiliki amalan ibadah shalat sunnah, maka Allah meminta malaikat untuk mengambil amal ibadah shalat sunnahnya untuk menambal kekurangan sempurna shalat fardhunya. Demikian sebagaimana dikemukakan dalam riwayat Abu Dawud berikut ini:

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ. ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Artinya, “Dari Rasulullah SAW ia bersabda, ‘Sungguh kelak pada hari kiamat amal manusia yang dihisab pertama kali adalah shalat.’ Rasulullah SAW bersabda kembali, ‘Tuhan kami berfirman kepada para malaikat-Nya—dan Dia lebih mengetahui—; ‘Lihatlah shalat (fardhu, pent) hamba-Ku, apakah sempurna atau tidak?’ Jika shalatnya sempurna maka dicatat baginya kesempurnaan shalatnya. Bila kurang sedikit, maka ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amal ibadah shalat sunnah?’ jika ia punya maka, ‘Sempurnakanlah untuk hamba-Ku shalat fardhu yang kurang dengan amal ibadah shalat sunnahnya itu’. Kemudian amal ibadah shalat sunnah tersebut diambil untuk menambal kekurangan sempurnaan shalat fardhunya,” (HR Abu Dawud).

Muhammad Syamsul Haq sebagai pensyarah kitab Sunan Abi Dawud menuturkan komentar Zainuddin Al-‘Iraqi mengenai hadits tersebut. Menurut Al-Iraqi sebagaimana dikemukakan dalam Syarhi Sunan At-Tirmidzi, hadits tersebut merupakan hadits yang hadir sebagai penjelasan mengenai penyempurnaan kekurangan shalat fardhu.

قَالَ العِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ هَذَا الَّذِي وَرَدَ مِنْ إِكْمَالِ مَا يَنْتَقِصُ الْعَبْدُ مِنَ الْفَرِيضَةِ

Artinya, “Al-‘Iraqi di dalam anotasinya atas kitab Sunan At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hadir untuk menjelaskan tentang penyempurnaan kekurangan shalat fardhu seorang hamba,” (Lihat Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah], 1415 H], juz II, halaman 82).

Sampai di sini tidak ada persoalan berarti, namun tidak bisa dielakkan munculnya pertanyaan apakah ada hal lain yang dapat menyempurnakan atau menambal ibadah shalat fardlu selain shalat sunnah? 

Para ulama setidaknya telah menjelaskan beberapa hal kesunahan yang terkait dengan shalat fardhu. Seperti bersemangat menjalan shalat ketika masuk waktu, khusyuk, dan berzikir serta berdoa secara pelan setelah shalat, tetapi diperbolehkan juga dilakukan dengan suara yang jelas (keras) untuk mengajarkan zikir dan doa kepada para jamaah atau selainnya.

وَ سُنَّ (ذِكْرٌ وَدُعَاءٌ سِرًّا عَقِبَهَا) أَيْ الصَّلَاةِ لَكِنْ يَجْهَرُ بِهِمَا مَنْ يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ مَأْمُومًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ

Artinya, “(Dan) disunnahkan (berdzikir dan berdoa secara pelan setelahnya) maksudnya adalah setelah shalat, akan tetapi boleh mengeraskanya bagi orang yang ingin megajarkan dzikir dan doa orang lain, baik orang lain sebagai makmum atau bukan”. (Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1422 H/2002 M], cetakan pertama, halaman 76).

Dari penjelasan ini maka dapat dipahami bahwa shalat sunnah yang kita lakukan termasuk di dalamnya adalah shalat Dhuha dapat menutupi kekurangan yang bisa terjadi dalam ibadah shalat fardhu kita. Begitu juga dengan zikir yang dilakukan setelah shalat fardhu karenanya status hukumnya adalah sunnah sebagaimana juga status hukum shalat sunnah.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul Muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Ustadz H Mahbub Maafi Ramdlan)