Bahtsul Masail

Bagaimana Hukum Shalat di Tempat yang Tidak Datar?

Ahad, 30 Juli 2023 | 00:56 WIB

Bagaimana Hukum Shalat di Tempat yang Tidak Datar?

Bagaimana Hukum Shalat di Tempat yang Tidak Datar?

Assalamu’alaikum wr. wb

Yth. Redaktur kolom bahtsul masail NU Online, saya izin bertanya, bagaimana hukum shalat di tempat yang tidak datar seperti di tangga masjid atau di tanah yang miring dan tidak rata atau tidak datar? (Hamba Allah)


Wa’alaikumussalam wr. wb

Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Perlu diketahui bahwa shalat di tempat yang tidak datar seperti tangga bisa saja terjadi ketika jamaah di masjid, mushala, dan lainnya sudah penuh dengan jamaah, sehingga sebagian jamaah yang lain terpaksa harus shalat di tangga.


Dalam keterangan, terdapat 7 tempat yang dilarang untuk dijadikan tempat shalat, yaitu: tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, tengah jalan, kamar mandi, tempat berkerumun unta, dan di atas Ka’bah, sebagaimana disebutkan oleh nabi:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ: فِي الْمَجْزَرَةِ، وَالْمَزْبَلَةِ، وَالْمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالْحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الْإِبِلِ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ


Artinya, “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw melarang untuk shalat di tujuh tempat: tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, tengah jalan, kamar mandi, tempat berkerumun unta, dan di atas Ka’bah.” (HR at-Tirmidzi).


Itulah beberapa tempat yang dilarang oleh nabi agar tidak dijadikan tempat shalat. Sedangkan shalat di selain tujuh tempat tersebut, seperti tempat yang tidak datar sebagainya seperti dalam pertanyaan, maka hukumnya diperbolehkan dan sah-sah saja jika semua syarat dan rukun shalat terpenuhi dan dilakukan dengan sempurna.


Hanya saja, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan ketika shalat di tempat yang tidak datar seperti dalam pertanyaan adalah ketika sujud. Dalam hal ini, orang yang shalat di tangga bisa sah shalatnya jika punggungnya lebih tinggi dari leher dan kepalanya. Sedangkan jika leher dan kepalanya yang lebih tinggi dari punggungnya, maka shalatnya tidak sah karena tidak dianggap sujud.


Pendapat ini sebagaimana dikutip dari penjelasan Imam Abul Mahasin Abdul Wahid ar-Ruyani (wafat 502 H), dalam karyanya ia mengatakan:


لَوْ سَجَدَ عَلىَ مَوْضِعٍ عَالٍ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لاَ يَكُوْنُ ظَهْرُهُ أَعْلىَ مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ لَا يَجُوْزُ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى سُجُودًا، وَإِنْ كَانَ ظَهْرُهُ أَعْلَى مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ يَجُوْزُ. وَيُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ


Artinya, “Jika sujud di tempat yang tinggi, (maka hukumnya diperinci): jika sekira punggungnya tidak lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka tidak diperbolehkan (shalatnya tidak sah), karena tidak disebut sujud, dan jika punggungnya lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka diperbolehkan (shalatnya sah). Dan, makruh (shalat di tempat tersebut) jika tidak ada udzur.” (Imam ar-Ruyani, Bahrul Mazhab fi Furu’i Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2009], juz II, halaman 51).


Dengan mengikuti pendapat ini, maka shalatnya diperbolehkan selama punggungnya masih lebih tinggi dari kepala dan lehernya, dan praktik seperti ini hanya dilakukan dalam keadaan udzur, seperti banyaknya jamaah hingga berdesak-desakan dan terpaksa harus shalat di tangga. Sedangkan jika tidak ada udzur, maka shalat dengan praktik tersebut hukumnya makruh.


Senada dengan pendapat ini, menurut Imam Ibnu Abidin ad-Dimisyqi (wafat 1252 H), salah satu ulama kontemporer terkemuka dari mazhab Hanafiyah, mengatakan bahwa jika tempat sujud lebih tinggi tempat kaki dua, seukuran dua batu bata yang negara Bukhara, maka diperbolehkan, namun jika lebih darinya maka tidak diperbolehkan selama tidak karena berdesak-desakan,


وَلَوْ كَانَ مَوْضِعُ سُجُودِهِ أَرْفَعَ مِنْ مَوْضِعِ الْقَدَمَيْنِ بِمِقْدَارِ لَبِنَتَيْنِ جَازَ سُجُودُهُ، وَإِنْ أَكْثَرَ لَا إلَّا لِزَحْمَةٍ. وَالْمُرَادُ لَبِنَةُ بُخَارَى، وَهِيَ رُبْعُ ذِرَاعٍ، فَمِقْدَارُ ارْتِفَاعِهِمَا نِصْفُ ذِرَاعٍ


Artinya, “Dan jika tempat sujudnya lebih tinggi dari tempat berpijaknya kaki dua, dengan ukuran dua batu bata maka sujudnya diperbolehkan, dan jika lebih banyak (dari ukuran tersebut) maka tidak diperbolehkan, kecuali karena berdesak-desakan. Sedangkan yang dimaksud batu bata (labinah) dalam bab ini adalah batu bata negara Bukhara (Uzbekistan), yaitu seperempat dzira’ ukuran lebarnya, dan setengah dzira’ ukuran tingginya.” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ‘ala ad-Durril Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1992], juz IV, halaman 62).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa hukum shalat di tempat yang tidak datar seperti tangga, hukumnya sah. Hanya saja, orang yang shalat di tempat ini perlu memperhatikan sujudnya agar kepala dan lehernya tidak lebih tinggi dari punggungnya, dan benar-benar dilakukan ketika dalam keadaan darurat, seperti banyaknya jamaah hingga berdesak-desakan, dan lainnya. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.