Bahtsul Masail

Bagaimana Ketentuan tentang Diyat?

Sen, 31 Maret 2014 | 21:03 WIB

Masyarakat Indonesia digegerkan dengan berita adanya ancaman hukuman mati yang diterima oleh salah seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dia diharuskan membayar tebusan atau diyat sebesar Rp 21 miliar (lalu diturunkan menjadi Rp 15 miliar). Yang ingin saya tanyakan, dalam konsep hukum Islam, sebenarnya berapa sih jumlah diyat yang harus dibayarkan? Untuk ukuran TKW mana mungkin tebusan segitu besar bisa dia bayarkan?

Anggie, tinggal di Tangerang<>

 

Jawaban

Dalam pembahasan fiqih, para ulama sepakat bahwa hukuman qishash wajib dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan berencana (qatlul ‘amd). Namun jika pihak keluarga korban memberikan maaf dan meminta diyat (tebusan) maka pelaku pembunuhan tersebut bisa terhindar dari hukuman qishash, dan ia wajib memberikan diyat. Sedangkan jumlah diyat-nya adalah 100 unta. Hal ini apabila yang menjadi korbannya adalah seorang laki-laki merdeka-muslim.

 Para ulama berselisih soal umur unta tersebut. Dalam konteks ini, misalnya menurut Madzhab Syafii—sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi—,diyat dalam kasus pembunuhan berencana adalah 30 hiqqah (unta berumur tiga tahun masuk umur empat tahun), 30 jadza’ah (unta berumur empat tahun masuk umur lima tahun), dan 40 khalifah (unta yang sedang bunting).

 

فِي قَتْلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ مِائَةُ بَعِيرٍ مُثَلَّثَةٌ فِي الْعَمْدِ : ثَلَاثُونَ حِقَّةً ، وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً ، وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً (محي الدين شرف النووي، منهاج الطالبين وعمدة المفتين، بيروت-دار المعرفة، ص. 136)

“Dalam hal pembunuhan berencana terhadap seorang laki-laki merdeka yang muslim diyat-nya adalah seratus unta yang dibagi menjadi tiga, yaitu 30 hiqqah, 30 jadza`ah, dan 40 khalifah”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Minhajuth Thalibin  wa ‘Umdatul Muftin, Bairut-Darul Ma’rifah, tt, h. 136).

Sedangkan menurut Imam Syafii jika yang menjadi korban pembunuhan berencana adalah seorang perempuan merdeka-muslimah maka ­diyat-nya adalah separo dari diyat laki-laki, yaitu 15 hiqqah, 15 jadza`ah, dan 20 khalifah. Pendapat ini menurut Imam Syafii telah disepakati oleh para ulama (ijma`). Hal ini sebagaimana dikemukan dalam kitab al-Umm:

 

( قال الشَّافِعِيُّ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لم أَعْلَمْ مُخَالِفًا من أَهْلِ الْعِلْمِ قَدِيمًا وَلَا حَدِيثًا في أَنَّ دِيَةَ الْمَرْأَةِ نِصْفُ دِيَةِ الرَّجُلِ وَذَلِكَ خَمْسُونَ من الْإِبِلِ فَإِذَا قَضَى في الْمَرْأَةِ بِدِيَةٍ فَهِيَ خَمْسُونَ من الْإِبِلِ وَإِذَا قُتِلَتْ عَمْدًا فَاخْتَارَ أَهْلُهَا دِيَتَهَا فَدِيَتُهَا خَمْسُونَ من الْإِبِلِ أَسْنَانُهَا أَسْنَانُ دِيَةِ عَمْدٍ وَسَوَاءٌ قَتَلَهَا رَجُلٌ أو نَفَرٌ أو امْرَأَةٌ لَا يُزَادُ في دِيَتِهَا على خَمْسِينَ من الْإِبِلِ (محمد إدريس الشافعي، الأم، بيروت-دار المعرفة، ج، 6ن ص. 106)

“Imam Syafi’i ra berkata: Saya tidak mengetahui adanya perbedaan di kalangan ulama baik dulu maupun sekarang (pada masa Imam Syafii) bahwa diyat perempuan adalah separo dari diyat laki-laki, yaitu lima puluh unta. Karenanya ketika sudah diputuskan diyat-nya perempuan maka diyat-nya adalah lima puluh unta. Dan apabila ia terbunuh karena pembunuhan berencana kemudian keluarganya memilih diyat, maka diyat-nya adalah lima puluh unta, umur untanya sama seperti umur unta dalam diyat pembunuhan berencana, baik yang membunuhnya adalah laki-laki atau sekelompok orang atau seorang perempuan, diyat-nya tidak lebih dari lima puluh unta”. (Muhammad Idris asy-Syafii, al-Umm, Bairut-Darul-Ma’rifah, tt, juz, VI, h. 106).

Jadi, katakan diyat-nya seorang TKW di atas adalah 50 ekor unta dikalikan Rp. 25 juta (harga rata-rata ini sudah cukup mahal) itu sama dengan Rp 1,25 miliar. Lantas bagaimana jika pihak keluarga korban pembunuhan berencana meminta diyat melebihi dari ketentuan? Angka satu seperempat miliar itu tentu sangat-sangat jauh dari angka Rp 21 miliar atau Rp 15 miliar yang harus dibayarkan oleh TKW?

Ibnul Qayyim al-Jauzi dalam kitab al-Hadyu an-Nabawi mengatakan: Sesungguhnya yang wajib adalah salah satu di antara keduanya yaitu bisa qishash atau diyat. Sedangkan dalam hal ini pihak wali korban boleh memilih antara empat hal yaitu bisa memberikan ampunan secara cuma-cuma kepada pihak pembunuh, memberikan ampunan dengan diyat atau memilih qishash. Ketiga pilihan ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama. Sedang pilihan yang keempat adalah melakukan perdamaian antara wali korban dengan pihak pembunuh, dengan diyat yang lebih besar dari ketentuan yang sudah ada atau lebih rendah.

Ibnu Qayyim mengatakan, ada dua pendapat ulama mengenai boleh tidaknya memberatkan harga diyat melebihi ketentuan umum. Pendapat pertama yang hanya masyhur di kalangan Madzhab Hanbali adalah diperbolehkan. Sedangkan pendapat Madzhab Syafii tidak diperbolehkan. Bahkan lebih lanjut, menurut hasil penyelidikan Ibnul Qayyim al-Jauzi, pendapat yang kedua dianggap yang paling rajih atau paling kuat. (Muhammad bin Ismail al-Amir al-Kahlani ash-Shan`ani, Subulus Salam, Mesir-Musthafal Babil Halabi, 1379 H/1960 M, juz, III, h. 244)

Argumentasi memberatkan diyat adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku, dan itu mestinya hanya bisa diberlakukan jika memang pelakunya adalah orang yang mapan. Namun melihat kondisi seperti ditanyakan di atas, dimana pelakunya adalah dari kalangan kelas bawah rasanya tak ditambah pun sudah terasa sangat berat, dan tidak akan mungkin bisa dibayar, kecuali disanggah atau dibantu oleh banyak orang. Dalam hal ini kita memilih pendapat yang kedua. Mengutip Ibnul Qayyim al-Jauzi di atas, larangan memperberat diyat dari yang sudah ditentukan itu lebih rajih. Jadi ketentuan membayar diyat 50 ekor unta untuk seorang TKW itu sudah sangat-sangat berat dan jangan diperberat lagi.

Sebenarnya, seberapa pun besaran diyat toh tidak akan bisa menyamai harga sebuah nyawa. Yang dianjurkan adalah memberikan maaf dan ampunan karena itu lebih dekat dengan ketakwaan.

 

Mahbub Ma’afi Ramdlan