Bahtsul Masail

Bagaimana Pembagian Waris Almarhum yang Berutang

Sel, 20 Mei 2014 | 00:02 WIB

Assalamu’alaikum. Redaksi yang saya hormati. Mohon penjelasanya, bagaimana caranya membagikan harta warisan yang pewarisnya meninggalkan utang yang banyak sebanding dengan harta warisanya, dan utang tersebut sedang, dicicil sama seorang ahli waris yang laki-laki. Adapun ahli warisnya 3 anak (1 laki-laki dan 2 permpuan), serta ibu kandunya. Sebelumnya sya terimaksih atas dedikasi redaksi bahsul masail. Wassalam. (Muslih)

Jawaban

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa jika seseorang meninggal dunia dan memiliki tirkah atau harta warisan maka ada dua kewajiban yang mendasar yang harus dipenuhi sebelum dibagikan. Pertama yang terkait dengan hak Allah, seperti zakat apabila tirkah tersebut sudah mencapai nishab.

Kedua, yang menyangkut dengan hak adami seperti melunasi utang-utangnya. Dan sisa dari tirkah yang telah diambil untuk melunasi hal-hal yang tekait dengan hak Allah dan hak adami itulah yang kemudian dibagikan kepada ahli warisnya.

Namun jika orang yang meninggal tersebut tidak memiliki tirkah padahal ia memiliki utang kepada orang lain, maka tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk membayar utang tersebut. Namun jika ahli waris ingin menanggung utangnya maka itu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudamah:

فَإِنْ لَمْ يَخْلِّفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا. وَإِنْ خَلَّفَ تَرِكَةً، تَعَلَّقَ الدَّيْنُ بِهَا، فَإِنْ أَحَبَّ الْوَارِثُ تَسْلِيمَهَا فِي الدَّيْنِ، لَمْ يَلْزَمْهُ إلَّا ذَلِكَ، وَإِنْ أَحَبَّ اسْتِخْلَاصَهَا وَإِيفَاءَ الدَّيْنِ مِنْ مَالِهِ، فَلَهُ ذَلِكَ (ابن قدامة، المغني، مكتبة القاهرة، 1388هـ/1968 م، ج، 5، ص. 155

“Apabila orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan harta peninggalan, maka ahli warisnya tidak memiliki kewajiban apapun. Sebab membayar utang orang tersebut tidak wajib bagi ahli warisnya saat ia masih hidup dan bangkrut, begitu juga tidak wajib pada saat sudah meninggal dunia. Dan jika ia meninggalkan harta peninggalan yang ada sangkut-pautnya dengan utang, dan ahli warisnya mau menyerahkan harta peninggalan tersebut untuk melunasi utangnya maka hal itu memang kewajibannya. Dan apabila ahli warisnya mau membebaskan harta peninggalan tersebut dan membayar utangnya dari hartanya sendiri maka itu diperbolehkan”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah al-Qahiroh, 1388 H/1968 M, juz, 5, h. 155)

Sedangkan dalam kasus yang ditanyakan di atas, perlu diperjelas dalam soal akadnya. Apakah si anak-anak laki tersebut dalam membayar utang bapaknya yang meninggal karena sebagai bentuk sikap berbuat baik kepada orang tuanya sehingga ia menanggung utangya. Ataukah memang dia berani menanggung utang bapaknya karena sudah ada kesepakatan bahwa nanti harta peninggalan itu akan diberikan kepada si anak lelakinya.

Dua hal in hemat kami perlu diperjelas. Jika yang dilakukan adalah yang pertama, maka utang bapaknya berpindah menjadi utang anak lelaki tersebut. Dan konsekwensi, warisan tersebut tetap harus dibagikan sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu ibu mendapatkan 1/8 sedang sisanya dibagi empat, masing-masing perempuan mendapatkan satu, dan yang dua untuk anak laki.

Hal ini berbeda jika ternyata sudah ada kesepakatan, bahwa utang bapaknya ditanggung atau anak lelakinya, dan akan diganti dengan harta peninggalan bapaknya. Dalam hal ini maka harta tersebut menjadi hak si anak lelaki tersebut.

Demikian jawaban singkat ini semoga bermanfaat. Saran kami dalam soal ini sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan dengan baik dan jangan sampai menimbulkan konflik keluarga. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)