Bahtsul Masail

Bolehkah Perempuan Berprofesi sebagai Hakim?

Sen, 7 Januari 2019 | 05:45 WIB

Bolehkah Perempuan Berprofesi sebagai Hakim?

(Foto: @kabarkriminal.com)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Salam takzim kami kepada masyaikh NU. Teman perempuan saya ada yang bercita-cita menjadi hakim, namun dia membaca sebuah artikel yang di dalamnya menyebutkan yang intinya profesi hakim itu bukan untuk perempuan. Yang saya tanyakan bagaimana Islam memandang terhadap profesi perempuan yang ada di Indonesia ini, bahwa perempuan bisa menjadi apa pun seperti hakim, mubaligah, mufti di MUI, dan lain-lain? Terima kasih banyak. (Solihul Huda)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Jabatan hakim merupakan salah satu unsur vital yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam soal penegakan keadilan. Keberadaan profesi ini sangat penting karena putusannya bersifat mengikat dan menentukan.

Ulama menaruh perhatian luar biasa terhadap profesi hakim. Para ulama bersepakat untuk sejumlah syarat profesi hakim, yaitu kemampuan menalar, kematangan, independensi, keselamatan indra vital dalam bekerja (penglihatan, pendengaran, dan pembicaraan).

Tetapi para ulama berbeda pendapat perihal syarat hakim yang berkaitan dengan integritas, gender, dan kecakapan berijtihad. 

اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد

Artinya, “Imam-imam mazhab sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan ijtihad,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 481).

Dalam konteks pertanyaan di atas, ulama berbeda pendapat perihal gender. Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki menjadi syarat sah seorang hakim.

Adapun Mazhab Hanafi memberikan peluang bagi perempuan untuk berprofesi sebagai hakim. Mazhab Hanafi menafsil kasus yang boleh ditangani oleh hakim perempuan, yaitu kasus perdata. Sedangkan kasus pidana, bagi Mazhab Hanafi, tidak boleh ditangani oleh hakim perempuan.

Ulama yang memberikan peluang bagi perempuan untuk berprofesi sebagai hakim dalam kasus apapun baik perdata maupun pidana adalah Imam Ibnu Jarir At-Thabari.

Menurut Imam At-Thabari, perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam profesi hakim. Menurutnya, ulama sepakat bahwa perempuan boleh menjadi mufti. Seharusnya perempuan juga bisa menjadi hakim.

وقال ابن جرير الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكماً على الإطلاق في كل شيء، لأنه يجوز أن تكون مفتية فيجوز أن تكون قاضية.

Artinya, “Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak ata kasus apa saja dengan logika bahwa sebagaimana kebolehan menjadi ahli fatwa atau mufti, perempuan juga boleh menjadi hakim,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 483).

Hakim merupakan profesi penting yang memerlukan keterampilan khusus. Oleh karenanya, pengangkatan seorang hakim mesti didahului syarat-syarat formal yang dibuat oleh negara untuk memastikan mutu, kompetensi, keahlian, kecakapan yang dibutuhkan di samping integritas dan kode etik yang harus dipatuhi.

Dengan demikian, peluang seseorang untuk diangkat menjadi hakim terbuka bagi siapa saja warga negara Indonesia yang mempersiapkan diri dengan pendidikan khusus, disiplin tertentu, dan pelatihan keterampilan terkait.

Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)