Redaksi Bahtsul Masail yang saya hormati. Terlebih dahulu saya minta maaf jika nanti pertanyaannya terkesan konyol dan mengada-ada. Jujur saja saya awam dalam soal agama, dan baru-baru ini kesadaran untuk belajar agama saya muncul.
Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan hadiah dari istri berupa jam tangan. Teman saya mengeluarkan celetukan, “Itu hadiah dari orang hidup ke orang hidup, dan jelas bisa sampai.” Nadanya sedikit meledek, kemudian teman saya melanjutkan bahwa kiriman hadiah doa orang hidup ke orang mati tidak bakal sampai karena sudah beda alam. Saya ingin saya tanyakan adalah bagaimana pandangan ustadz mengenai hal ini?
Mohon penjelasanya. Karena setahu saya, dulu orang tua sering menasihati agar selalu kirim doa kepada yang telah meninggal dunia. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Agus/Jakarta)
Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Pertama kami mengucapkan puji syukur kepada Allah atas munculnya kesadaran keagamaan penanya.
Bahwa nasihat orang tua kepada anaknya untuk selalu mendoakan kepada keluarga atau famili atau orang saleh yang telah meninggal dunia adalah hal yang sangat baik. Sudah sepatutnya untuk dilestarikan karena hal itu merupakan salah satu bukti bakti kita kepada mereka yang telah mendahului kita.
Orang yang hidup memberikan hadiah kepada yang masih hidup dengan hadiah material adalah hal biasa.
Namun, pertanyaannya apa yang dapat kita berikan kepada orang-orang yang telah mendahului kita? Tentu yang dapat kita berikan bukanlah materi. Lantas apa yang dapat kita berikan sebagai hadiah?
Jawabnya adalah doa dan permohonan ampunan (istighfar). Inilah yang paling layak untuk dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Karena itu kemudian dikatakan bahwa hadiah orang hidup kepada yang meninggal dunia adalah doa dan permohonan ampunan.
Artinya, “Hadiah orang-orang yang masih hidup kepada orang-orang yang telah meninggal dunia adalah doa dan memintakan ampunan kepada Allah (istighfar) kepada mereka,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Beirut, Darul Fikr, tt, halaman 281).
Dalam sebuah riwayat—sebagaimana dikemukakan Syekh Nawawi Al-Bantani— dikatakan bahwa di dalam kubur, orang yang meninggal dunia seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan berupa doa. Ia menanti datangnya doa dari anaknya, saudara, atau temannya. Ketika ia mendapatkannya, maka itu lebih ia sukai ketimbang dunia dengan seluruh isinya.
Artinya, “Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Tidak ada mayit yang berada dalam kuburnya kecuali ia seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan—kal ghariqil mughawwats dengan diharakati fathah pada huruf wawunya yang bertasdid, yaitu orang yang meminta pertolongan—ia menunggu setetes doa yang yang dikirimkan anaknya, saudara, atau temannya. Karenanya ketika ia mendapatkan doa, maka hal itu lebih ia sukai dibanding dunia dengan seluruh isinya,’” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, halaman 281).
Dari sinilah kemudian dapat dipahami betapa orang yang telah meninggal dunia itu sebenarnya mengharapkan kiriman atau hadiah doa dari orang yang masih hidup. Dengan kata lain, kiriman atau hadiah doa itu akan sangat berarti baginya, bahkan pahalanya pun akan sampai.
Karena itu para ulama—sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi—menyatakan kesepakatan bahwa doa dari orang yang masih hidup kepada yang telah meningal dunia itu bermanfaat dan pahalanya akan sampai kepadanya. Salah satu dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah firman Allah SWT berikut ini:
Artinya, “Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami,” (QS Al-Hasyr ayat 10).
Artinya, “Para ulama sepakat bahwa doa untuk orang-orang yang telah meninggal dunia akan memberikan manfaat kepada mereka dan akan sampai juga pahalanya kepada mereka. Para ulama ini berdalil dengan firman Allah SWT, ‘Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami,’ (Al-Hasyr ayat 10),’” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah, cet ke-1, 1425 H/2004 M, halaman 180).
Demikian jawaban sederhana ini yang dapat kami sampaikan. Teruslah mendoakan orang-orang yang telah mendahului kita karena itu sangat bermanfaat bagi mereka. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Mahbub Maafi Ramdlan)
Terpopuler
1
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
2
Prabowo Undang Sejumlah Tokoh sebagai Calon Menteri
3
Hari Santri, Ikuti Lomba Menulis Khutbah Jumat LDNU Tangsel, Ini Persyaratannya
4
Kemenag Adakan 6 Lomba Hari Santri 2024, Terbuka untuk Umum
5
Kemenag Pastikan Tidak Ada Larangan Menikah pada Hari Libur
6
Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah Diluncurkan
Terkini
Lihat Semua