Bahtsul Masail

Hukum Diba’an di Masjid bagi Wanita Menstruasi

Jum, 21 Oktober 2016 | 11:03 WIB

Assalamu 'alaikum wr wb.
Saya mau bertanya, apakah boleh wanita haid masuk dan berdiam diri di masjid untuk mengikuti kegiatan rutin Diba'an dan mengaji? Ada yang mengatakan boleh masuk masjid kalau di bagian serambi (tidak di bagian inti masjid). Apakah hal tersebut benar atau salah? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr wb. (Maratun Nafiah).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perempuan dalam keadaan menstruasi atau haid dikategorikan sebagai orang yang sedang junub. Artinya ia sedang dalam keadaan hadats besar. Pertanyaannya apakah orang dalam keadaan hadats besar ini boleh masuk ke dalam masjid atau duduk di bagian serambinya?

Ulama berbeda pendapat perihal ini. Sebagian ulama mengharamkannya. Tetapi sebagian ulama lain memperbolehkannya. Kelompok yang mengharamkan masuknya orang junub ke dalam masjid adalah ulama dari kalangan madzhab Syafi’i. Hal ini ditegaskan Imam Nawawi sebagaimana kami kutipkan sebagai berikut.

يحرم علي الحائض والنفساء مس المصحف وحمله واللبث في المسجد وكل هذا متفق عليه عندنا وتقدمت أدلته وفروعه الكثيرة مبسوطة في باب ما يوجب الغسل والحديث المذكور رواه أبو داود والبيهقي وغيرهما من رواية عائشة رضي الله عنها واسناده غير قوى وسبق بيانه هناك

Artinya, “Bagi orang haid dan nifas haram hukumnya menyentuh dan membawa mushaf Al-Quran, dan berdiam di masjid. Semua itu telah disepakati di kalangan kami madzhab Syafi’i. Dalilnya sudah dijelaskan. Banyak cabang masalah ini diulas agak panjang pada bab Hal-hal yang Menyebabkan Mandi Wajib. Hadits perihal ini diriwayatkan Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan perawi lainnya dari A‘isyah RA dengan sanad yang tidak kuat. Penjelasannya sudah lewat di sana,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu‘, juz II, halaman 358).

Meskipun demikian, keharaman ini, menurut Madzhab Syafi’i, tidak berlaku untuk Nabi Muhammad SAW. Untuk Beliau SAW, hukum ini tidak berjalan karena beberapa sebab. Ada baiknya kita lihat argumentasi yang dikemukakan Syekh Syarqawi berikut ini.

وأما النبي صلى الله عليه وسلم فيحل مكثه بالمسجد وهو من خصائصه صلى الله عليه وسلم لأن احتياجه للمسجد يكثر لنشر السنة، فيجوز له ذلك لكن لم يقع منه، ولأن ذاته أعظم من ذات المسجد

Artinya, “Adapun untuk Nabi Muhammad SAW, berdiam di masjid dalam kondisi junub diperbolehkan baginya. Ini termasuk hukum khusus untuk Beliau karena kepentingannya terhadap masjid lebih banyak untuk mengajarkan sunahnya. Karenanya Rasulullah SAW boleh berdiam di masjid dalam keadaan junub, sekalipun hal ini belum pernah terjadi. Alasan lainnya, diri Rasulullah SAW lebih mulia dibanding masjid itu sendiri,” (Lihat Syekh Abdullah Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab, Beirut, Darul Fikr, 1426-1427 H/2006 M, juz I, halaman 85).

Sedangkan kelompok yang membolehkan orang junub masuk ke dalam masjid adalah madzhab Hanbali. Menurut mereka, tanpa udzur dan darurat sekalipun orang junub boleh saja masuk ke dalam masjid dengan berwudhu terlebih dahulu.

ومذهب الإمام أحمد جواز المكث في المسجد للجنب بالوضوء لغير ضرورة فيجوز تقليده

Artinya, “Madzhab Imam Ahmad membolehkan orang junub berdiam di masjid hanya dengan berwudhu tanpa darurat sekalipun. Pendapat ini boleh diikuti,” (Lihat Syekh M Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, Beirut, Darul Fikr, halaman 34).

Adapun Diba’an yang dilakukan orang junub di dalam masjid tentu tidak ada masalah menurut Madzhab Hanbali. Kalau pengajian yang dimaksud adalah majelis taklim, ini baik-baik saja. Hemat kami, orang yang haid selagi bisa menjamin kebersihan masjid tetap bisa beraktivitas seperti menghadiri majelis taklim, atau Diba’an di dalamnya. Jadi dalam hal ini, kalau mengikuti Madzhab Hanbali, tidak masalah perempuan haid masuk ke dalam masjid, terlebih lagi untuk mendengarkan nasihat-nasihat agama atau mendengar riwayat kehidupan Rasulullah SAW yang mulia.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)