Bahtsul Masail

Hukum Khutbah Jumat tanpa Shalawat Nabi

Senin, 11 November 2019 | 19:45 WIB

Hukum Khutbah Jumat tanpa Shalawat Nabi

Ilustrasi: shutterstock.tl

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, belakangan khutbah Jumat tanpa pembacaan shalawat nabi menjadi perbincangan masyarakat karena dilakukan oleh pejabat agama di masjid nasional, entah karena sengaja atau tidak. Bagaimana sebenarnya kedudukan shalawat nabi dalam Islam? Demikian kami sampaikan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Lukman Hakim/Bogor)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perihal kedudukan shalawat nabi dalam khutbah Jumat, tidak ada keseragaman pendapat di kalangan ulama.

Yang kami garis bawahi, pandangan ulama terbelah dua. Sebagian ulama memasukkan shalawat nabi sebagai rukun khutbah. Sementara sebagian ulama lainnya tidak menganggap shalawat nabi sebagai rukun khutbah.

Ulama yang memanggap shalawat nabi sebagai rukun khutbah Jumat adalah Mazhab Syafi’i dan mayoritas Mazhab Hanbali. Sebagaimana kita tahu, penduduk Indonesia bermazhab Syafi’i yang tentu ingat akan lima rukun khutbah Jumat, termasuk shalawat nabi. Sedangkan Mazhab Hanbali mewajibkan shalawat nabi dalam khutbah Jumat karena asma Allah disebut dalam khutbah sebagaimana keterangan ulama mazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah berikut ini:

وَالصَّلَاةُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ } . وَإِذَا وَجَبَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى ، وَجَبَ ذِكْرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رُوِيَ فِي تَفْسِيرِ قَوْله تَعَالَى : { أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ } { وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ } قَالَ : لَا أُذْكَرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي 

Artinya, “(Khutbah disyaratkan)…membaca shalawat nabi karena Rasulullah bersabda, ‘Setiap sesuatu yang tidak diawali dengan tahmid maka ia terputus.’ Karena wajib menyebut asma Allah, maka dalam khutbah seorang khotib wajib menyebut nama nabi sesuai tafsir Surat Al-Insyirah, ‘Bukankah telah kami lapangkan dadamu dan kami angkat sebutanmu?’ lalu Allah mengatakan, ‘Tiada Aku disebut kecuali kau disebut bersama-Ku,’ ” (Syekh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 1997 M/1417 H], cetakan ketiga, juz III, halaman 173-174).

Karena khutbah Jumat adalah tempat di mana asma Allah disebut dan dipuji, maka di situ pula shalawat nabi wajib dilafalkan seperti azan dan tasyahud. Tetapi mungkin juga shalawat nabi tidak wajib karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menyebutkan dalam khutbahnya. (Ibnu Qudamah, 1997 M/1417 H: 174).

Adapun ulama yang tidak memasukkan shalawat nabi sebagai rukun khutbah adalah mazhab Hanafi dan mayoritas mazhab Maliki. Bagi mazhab Hanafi, khutbah Jumat cukup berisi lafal zikir sebagaimana perintah umum Surat Al-Jumuah ayat 9, tanpa menyebut shalawat nabi secara spesifik. Ada baiknya kita simak keterangan Syekh Ibnu Abidin, ulama terkemuka mazhab Hanafi berikut ini: 

قَوْلُهُ : وَكَفَتْ تَحْمِيدَةٌ إلَخْ ) شُرُوعٌ فِي رُكْنِ الْخُطْبَةِ بَعْدَ بَيَانِ شُرُوطِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَأْمُورَ بِهِ فِي آيَةِ - { فَاسْعَوْا } - مُطْلَقُ الذِّكْرِ الشَّامِلِ لِلْقَلِيلِ ، وَالْكَثِيرُ الْمَأْثُورُ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكُونُ بَيَانًا لِعَدَمِ الْإِجْمَالِ فِي لَفْظِ الذِّكْرِ ( قَوْلُهُ مَعَ الْكَرَاهَةِ ) ظَاهِرُ الْقُهُسْتَانِيِّ أَنَّهَا تَنْزِيهِيَّةٌ تَأَمَّلْ

Artinya, “(Perkataan “[khutbah] cukup dengan membaca tahmid, tahlil, atau tasbih”) masuk penjelasan rukun khutbah setelah penjelasan syaratnya. Pasalnya, perintah yang terkandung pada ‘fas‘au ila dzikrillah’ (Surat Al-Jumuah ayat 9) hanya semata zikir baik sedikit maupun banyak. Sedangkan riwayat dari Rasulullah perihal ini tidak menjadi penjelas ketiadaan keumuman pada lafal ‘dzikr,’ (meski makruh) secara harfiah perkataan Al-Quhustani bahwa ini terbilang makruh tanzih,” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ala Durril Mukhtar, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 2003 M/1423 H], juz III, halaman 20).

Khutbah sekurangnya berlangsung selama pembacaan tiga ayat, menurut Al-Karkhi. Ada lagi yang bilang, minimal durasi khutbah berlangsung “selama pembacaan tasyahhud mulai, ‘at-tahiyyatu lillahi’ hingga ‘abduhu wa rasuluh’ dengan niat khutbah Jumat. (Ibnu Abidin, 2003 M/1423 H: 20).

Adapun shalawat nabi dalam khutbah Jumat bersifat sunnah, bukan rukun, menurut Mazhab Maliki. Ada pandangan minoritas Mazhab Maliki yang menyebut shalawat nabi sebagai rukun. Tetapi pandangan ini merupakan pendapat pinggiran di kalangan Mazhab Maliki.

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ مُسْتَحَبَّةٌ كَالْقِرَاءَةِ فِيهَا وَالِابْتِدَاءِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ

Artinya, “Shalawat Nabi SAW (dalam khutbah) merupakan sunnah sebagaimana bacaan di dalamnya dan pengawalan dengan ‘alhamdu lillah,’” (Syekh Ali As-Sha’idi Al-Adawi, Hasyiyatul ‘Adawi, [Kairo, Al-Madani: 1987 M/1407 H], juz II, halaman 150).

Khutbah Jumat dinilai sah hanya samata membaca Al-Qur’an yang mencakup peringatan dan kabar gembiran seperti Surat Qaf. Tetapi sebagian ulama mengatakan sekurang-kurangnya khutbah berisi tahmid dan shalawat nabi. Tetapi pandangan ini bertentangan dengan yang masyhur. Pandangan ini lemah. Menurut pendapat muktamad, keduanya hanya sunnah. (Al-Adawi, Kairo: 150).

Lalu bagaimana dengan kasus khutbah Jumat tanpa pembacaan shalawat nabi? Kami menyarankan para khotib dan imam–siapa pun dia–yang ingin mendemonstrasikan pandangan mazhab lain di luar Mazhab Syafi’i yang menjadi pegangan mayoritas Muslim di Indonesia ketika praktik sebaiknya menginformasikan lebih awal kepada pengurus masjid dan jamaah Jumat agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)