Bahtsul Masail

Hukum Pembebasan Tanah Rakyat dengan Harga di Bawah Standar

Sel, 20 April 2021 | 12:45 WIB

Hukum Pembebasan Tanah Rakyat dengan Harga di Bawah Standar

Pembebasan tanah dengan harga di bawah standar dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak tergolong perbuatan zalim.

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, pembebasan tanah mayasrakat sering kali dibayar dengan harga di bawah standar. Pada beberapa kasus masyarakat diminta pindah paksa dan dibayar dengan harga yang murah baik oleh pemerintah maupun perusahaan yang didampingi aparat. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hamba Allah/Bekasi)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pembebasan lahan masyarakat secara paksa untuk satu kepentingan tertentu baik pemerintah atau perusahaan swasta kerap memicu konflik. Hal ini umumnya melibatkan aparat sebagai pelapis transaksi paksa tersebut.


Masalah ini pernah diangkat dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama tentang Masail Diniyah Waqi’iyyah pada 17-20 November 1997 M di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.


Para kiai saat itu berkesimpulan bahwa pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak tergolong perbuatan zalim karena termasuk bai’ul mukrah (jual-beli paksa) yang hukumnya haram serta tidak sah.


Penanggung jawab atas jual beli paksa dan harga beli yang tidak sepadan itu, kata forum tersebut, adalah semua pejabat instansi pemerintah yang terkait. Sedangkan hukum keuntungan tersebut haram. Bila dimanfaatkan untuk membangun sarana ibadah, hukumnya juga tetap haram.


Para kiai pada forum tersebut mengutip pandangan Syekh Abu Zakaria Al-Anshari dalam Kitab Fathul Wahhab sebagai berikut:


فَلاَ يَصِحُّ عَقْدُ مُكْرَهٍ فِيْ مَالِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ لِعَدَمِ رِضَاهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ


Artinya, “Tidak sah akad seseorang yang dipaksakan dalam hartanya tanpa hak karena tidak ada kerelaannya sesuai dengan firman Allah SWT, ‘Kecuali harta-harta itu adalah harta perniagaan yang keluar dari persetujuan dari kalian,’ (Surat An-Nisa’ ayat 29).” (Abu Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab pada At-Tajrid li Naf’il ‘Abid, [Mesir, Musthafa Al-Halabi: 1950 M], jilid II, halaman 174).


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)