Bahtsul Masail

Ini Sikap Kita saat Menemukan Harta di Jalan

Jum, 26 Januari 2018 | 12:02 WIB

Ini Sikap Kita saat Menemukan Harta di Jalan

(via tribratanewsbantul.com)

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya ingin penjelasan berkaitan dengan menemukan emas atau perak di jalan. Apabila menemukan harta (emas atau uang) di jalan secara tiba-tiba, apakah boleh disedekahkan atau ada solusi yang lebih baik bila tak menemukan siapa pemiliknya? Demikian pertanyaan saya. Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu alaikum wr. wb. (Hamba Allah)

Jawaban
Assalamu alaikum wr. wb.
Penanya yang dirahmati Allah, semoga kita semua senantiasa mendapatkan taufik dan inayah-Nya. Status emas atau perak, uang atau benda berharga lainnya yang ditemukan di jalan sebagaimana yang dikemukakan penanya di atas adalah harta luqathah (temuan).

Dalam istilah fikih, luqathah didefinisikan dengan barang yang ditemukan di tempat terbuka (bukan di tempat terjaga) di mana pihak penemu barang tidak mengetahui pemiliknya. Syekh Ahmad bin Umar As-Syathiri menegaskan:

وَشَرْعًا مَا وُجِدَ مِنْ حَقٍّ مُحْتَرَمٍ غَيْرَ مُحْرَزٍ لَا يَعْرِفُ الْوَاجِدُ مُسْتَحِقَّهُ

Artinya, “Menurut syara’, luqathah adalah barang yang ditemukan berupa hak yang dimuliakan di tempat yang tidak terjaga di mana penemu barang tidak mengetahui orang yang berhak atas barang tersebut,” (Lihat Syekh Ahmad bin Umar As-Syathiri, Al-Yaqutun Nafis, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan ketiga, 2011 M, halaman 505).

Dalam komentarnya atas kitab di atas, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri mengatakan:

فَلَوْ كَانَ شَخْصٌ يَمْشِيْ فِي الطَّرِيْقِ فَوَجَدَ مَثَلًا حَقِيْبَةً مَرْمِيَّةً عَلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ وَبِدَاخِلِهَا نُقُوْدٌ أَوْ وَجَدَ إِنَاءً أَوْ كِتَابًا وَصَاحِبُهُ غَيْرُ مَعْرُوْفٍ فَهَذَا الْعَيْنُ الْمَوْجُوْدَةُ تُسَمَّى لُقَطَةً لِأَنَّ لَاقِطَهَا لَا يَعْرِفُ مَالِكَهَا.

Artinya, “Apabila seseorang berjalan di jalan kemudian menemukan tas yang tergeletak di tepi jalan dan di dalamnya terdapat emas, atau ia menemukan bejana atau buku, sementara pemiliknya tidak diketahui, maka barang yang ditemukan ini disebut dengan luqathah, sebab penemu barang tersebut tidak mengetahui pemiliknya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarah Al-Yaqutun Nafis, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan ketiga, 2011 M, halaman 505).

Mengenai hukumnya, wajib bagi pihak penemu yang mengambilnya untuk mengetahui ciri-ciri barang tersebut dan menjaganya di tempat yang aman sampai ditemukan pemiliknya. Setelah mengetahui ciri-cirinya, ia wajib mengumumkannya selama setahun. Tempat pengumuman bisa dilakukan di manapun seperti masjid, pasar atau tempat-tempat ramai lainnya. Atau dapat juga dishare melalui media sosial.

Selanjutnya, bila ditemukan pemiliknya, ia wajib menyerahkan kepadanya. Namun, bila setelah satu tahun diumumkan tidak kunjung ditemukan pemiliknya, pihak penemu emas atau perak tersebut diperkenankan untuk memilih di antara dua opsi.

Pertama, memilikinya dengan shighat pengambilalihan hak milik seperti “Saya memiliki emas/ perak ini.” Setelah diucapkan shighat, secara otomatis barang tersebut menjadi hak penuh penemu. Ia boleh menggunakannya secara pribadi atau disedekahkan.

Kedua, tetap menyimpannya sampai ditemukan pemiliknya. Opsi kedua ini bila penemu barang tidak menghendaki untuk memiliki barang yang ia temukan. Dalam teknik penyimpanan atau penjagaan, terdapat perbedaan di antara ulama. Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari dan Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Syarh At-Tahrir, barang tersebut dijual dan uang penjualannya disimpan. Sedangkan menurut Syekh Ibnu Qasim Al-Ubbadi, Syekh Khatib As-Syarbini, dan Syekh Ibrahim Al-Baijuri, barang tersebut tidak dijual, namun disimpan sebagaimana kondisi semula.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

لَوِ الْتَقَطَ شَيْئًا لَا يُخْشَى فَسَادُهُ كَنَقْدٍ وَنُحَاسٍ بِعِمَارَةٍ أَوْ مَفَازَةٍ عَرَّفَهُ سَنَةً فِيْ الْأَسْوَاقِ وَأَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ فَإِنْ ظَهَرَ مَالِكُهُ وَإِلَّا تَمَلَّكَهُ بِلَفْظِ تَمَلَّكْتُ وَإِنْ شَاءَ بَاعَهُ وَحِفَظَ ثَمَنَهُ

Artinya, “Apabila seseorang menemukan barang yang tidak rentan rusak seperti emas atau perak dan tembaga, di keramaian atau di hutan, maka ia wajib mengumumkannya selama satu tahun di pasar-pasar dan pintu-pintu masjid. Bila kemudian jelas pemiliknya, maka wajib dikembalikan. Bila tidak, maka ia dapat memiliknya dengan lafazh ‘Saya memiliki.’ Bisa juga dengan menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan benda tersebut,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, Al-Haramain, tanpa keterangan tahun, juz III, halaman 250).

Mengomentari pendapat Syekh Zainuddin Al-Malibari di atas, Syekh Abu Bakar bin Syatha mengatakan:

قَوْلُهُ وَإِنْ شَاءَ بَاعَهُ وَحِفَظَ ثَمَنَهُ) مِثْلُهُ فِيْ شَرْحِ التَّحْرِيْرِ. وَالَّذِيْ صَرَّحَ بِهِ سم وَالْخَطِيْبُ عَلَى أَبِيْ شُجَاعٍ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ، بَلْ هُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ تَمَلُّكِهِ وَبَيْنَ حِفْظِهِ عَلَى الدَّوَامِ، وَصَرَّحَ بِهِ الْبَاجُوْرِيُّ أَيْضًا.

Artinya, “Ungkapan Syekh Zainuddin, bisa juga dengan menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan benda tersebut, pendapat ini senada dengan keterangan dalam Syarah At-Tahrir karya Syekh Zakariya Al-Anshari). Sedangkan pendapat yang ditegaskan Syekh Ibnu Qasim dan Al-Khatib Al-Syarbini atas matan Abu Syuja’, bahwa barang tersebut tidak dijual, namun penemu diperkenankan memilih antara memilikinya dan menjaganya untuk selamanya. Pendapat ini juga ditegaskan Syekh Al-Bajuri,” (Lihat Syekh Abu Bakar bin Syatha, I’anatut Thalibin, Surabaya, Al-Haramain, tanpa keterangan tahun, juz III, halaman 250).

Kami menyarankan emas atau perak yang ditemukan sebagaimana yang disampaikan penanya tidak diperkenankan langsung disedekahkan. Namun temuan itu harus terlebih dahulu diumumkan selama satu tahun, setelah itu boleh untuk dimiliki dengan shighat pengambilan hak alih kepemilikan. Dalam titik ini, pihak penemu memiliki hak penuh atas barang tersebut, termasuk menyedekahkannya.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat dipahami dengan baik. Kami terbuka untuk menerima kritik dan saran.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, 
Wassalamu alaikum wr. wb.



(M Mubasysyarum Bih)