Bahtsul Masail

Kapan Jamaah Shalat Dipersilakan Membuat Shaf Baru?

Ahad, 15 September 2019 | 13:15 WIB

Kapan Jamaah Shalat Dipersilakan Membuat Shaf Baru?

Kesempurnaan barisan shalat merupakan bagian dari kesempurnaan shalat berjamaah.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Kami ingin menanyakan tentang dua hal yang berkaitan dengan barisan shaf pada shalat jamaah. Pertama, sebatas mana suatu barisan dianggap sempurna sehingga diperbolehkan membuat barisan baru? Kedua,  mana yang lebih diprioritaskan, antara memenuhi masjid atau menempati shaf awal yang menyamping ke kanan dan ke kiri masjid (serambi masjid)? (lyntssholihah****@gmail.com)

Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, semoga Anda selalu dalam lindungan Allah subhanahu wa ta’ala.
 
Tidak diragukan lagi bahwa menyempurnakan shaf merupakan salah satu anjuran dalam melaksanakan shalat berjamaah. Rasulullah dalam salah satu haditsnya pernah bersabda:
 
أَتِمُّوْا الصُّفُوْفَ فَإِنِّيْ أَرَاكُمْ خَلْفَ ظَهْرِيْ
 
“Sempurnakanlah barisan (shalat jamaah), sesungguhnya aku dapat melihat kalian di belakang punggungku” (HR Muslim).
 
Terkait hadits di atas, Al-Munawi menjelaskan dalam kitabnya, Faid al-Qadir:
 
 (أتموا) أيها المصلون ندبا مؤكدا (الصفوف) – أكملوها الأول بالأول فلا يشرع في الصف الثاني حتى يتم الأول ولا يقف في صف حتى يتم ما قبله فإن وجد في صف أمامه فرجة اخترق الصف الذي يليه فما فوقه إليها لتقصيرهم بتركها
 
“Sempurnakanlah shaf-shaf kalian wahai orang-orang yang shalat. Sempurnakanlah shaf pertama dengan shaf yang mendekatinya. Maka tidak diperbolehkan melaksanakan (shalat) di shaf kedua sampai sempurna shaf yang pertama. Dan tidak diperkenankan berdiri pada suatu barisan sampai ia menyempurnakan shaf sebelumnya. Jika masih menemukan tempat yang renggang pada shaf di depannya, maka orang yang menempati shaf di dekatnya harus menempati tempat yang renggang tersebut, sebab ia dianggap ceroboh karena tidak menempati shaf di depannya” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, juz 1, hal. 189) 
 
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa shaf dianggap sempurna ketika dalam barisan shaf sudah tidak ditemukan lagi celah yang dapat ditempati untuk shalat, sebab jika masih ditemukan celah dan seseorang terburu-buru membuat barisan baru, maka ia dianggap ceroboh karena tidak menyempurnakan terlebih dahulu shaf yang ada di depannya. 
 
Namun, ketentuan ini rupanya dibatasi selama seseorang menempati barisan di belakang shaf yang masih kosong bukan karena faktor uzur. Jika terdapat kendala yang menuntut seseorang tidak menempati shaf kosong di depannya, maka ia tidak termasuk menyalahi kesunnahan menyempurnakan shaf. Misalnya shaf di depan terkena panas matahari atau terdapat tetesan air hujan, maka dalam keadaan demikian tidak makruh baginya menempati shaf yang ada di belakang. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:
 
إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ –
(الحر) أي ونحو المطر قوله: (فلا كراهة إلخ) أي فلا تفوتهم الفضيلة 
 
“Jika para jamaah mengakhirkan shaf shalatnya karena uzur, seperti melaksanakan shalat pada musim panas di Masjidil Haram, maka hal demikian tidak dihukumi makruh dan tidak dianggap ceroboh. Sama halnya dengan alasan terkena air hujan atau hal-hal semacamnya. Ketidakmakruhan ini memastikan tidak hilangnya keutamaan shalat jamaah,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 8, hal. 157)
 
Dalam himpunan fatwanya, Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa hal-hal lain yang memperbolehkan seseorang untuk tidak menempati shaf yang ada di depannya adalah ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan hilangnya khusyu’ atau berkurangnya kehusyu’an shalat manakala menempati shaf tersebut. Jika demikian, justru lebih baik ia pilih adalah menempati shaf di belakangnya, sehingga tidak ada gangguan yang dapat mengurangi kekhusyu’an shalatnya di shaf tersebut. Berikut penjelasannya:
 
وَسُئِلَ رضي اللَّهُ عنه عَمَّنْ صلى في الصَّفِّ الْأَوَّلِ ولم يُمْكِنْهُ التَّجَافِي في الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ أو حَصَلَ رِيحٌ كَرِيهٌ أو رُؤْيَةُ من يَكْرَهُهُ أو نَظَرُ ما يُلْهِيه فَهَلْ يَكُونُ الصَّفُّ الثَّانِي أو غَيْرُهُ إذَا خَلَا عن ذلك أَفْضَلُ أو لَا فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ مُقْتَضَى قَوْلِهِمْ الْمُحَافَظَةُ على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذَاتِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى من الْمُحَافَظَةِ على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا أَنَّ الصَّفَّ الثَّانِيَ أو غَيْرَهُ إذَا خَلَا عَمَّا ذُكِرَ في السُّؤَالِ أو نَحْوِهِ يَكُونُ أَفْضَلَ من الصَّفِّ الْأَوَّلِ وهو ظَاهِرٌ حَيْثُ حَصَلَ له من نَحْوِ الزَّحْمَةِ وَرُؤْيَةِ ما ذَكَرَ ما يَسْلُبُ خُشُوعَهُ أو يُنْقِصُهُ 
 
“Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang melaksanakan shalat di shaf awal, tidak dapat melipat tubuhnya pada saat ruku’ dan sujud, atau ia akan mencium bau yang tidak sedap, atau ia akan melihat orang yang ia benci, atau ia akan melihat benda yang dapat mengganggu (pikirannya). Apakah dalam keadaan demikian menempati shaf kedua atau shaf yang lain ketika sepi dari hal-hal di atas dianggap lebih baik atau tidak? Ibnu Hajar menjawab, ‘Berdasarkan tuntutan redaksi para ulama yang menjelaskan bahwa ‘menjaga keutamaan (fadhilah) yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah lebih utama daripada menjaga keutamaan yang berhubungan dengan tempat ibadah’. Redaksi tersebut memastikan bahwa shaf kedua atau shaf yang lain, ketika tidak terdapat hal-hal yang disebutkan dalam soal, maka dinilai lebih utama daripada menempati shaf awal. Hal ini sangatlah jelas selama hal-hal di atas akan menyebabkan hilangnya khusyu’ atau mengurangi kekhusyu’an dalam shalat” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 181)
 
Dengan demikian, pertanyaan pertama dapat dijawab bahwa suatu shaf dianggap sempurna ketika sudah tidak ada celah dalam shaf tersebut yang dapat ditempati oleh seseorang untuk melaksanakan shalat. Maka seseorang boleh membuat shaf tersendiri ketika shaf di depannya sudah tidak mungkin lagi ia tempati atau ketika  shaf di depannya masih dapat ditempati tapi terdapat uzur atau hal-hal yang mengurangi kekhusyuan ibadahnya. Jika kendala-kendala itu ada, baru ia dipersilakan membuat barisan tersendiri.
 
Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua, secara tegas dijelaskan dalam kitab ‘Umdah al-Mufti wa al-Mustafti berikut ini:
 
وصرح اصحابنا بان الصف الاول هو الذي يلي الامام وان طال وخرج عن المسجد فهو افضل من الصف الثاني وان قرب من الامام.
 
“Para ashab kami (murid Imam As-Syafi’i) menegaskan bahwa shaf awal adalah barisan yang mengiringi imam, meskipun panjang dan sampai keluar masjid. Shaf awal ini lebih utama dibandingkan menempati shaf kedua, meskipun dekat dengan imam” (Jamaluddin Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Ahdal,‘Umdah al-Mufti wa al-Mustafti, juz 1, hal. 132)
 
Sehingga hal yang lebih diprioritaskan bagi para jamaah adalah menempati shaf awal meskipun berada di serambi masjid atau bahkan keluar dari bangunan masjid daripada menempati bagian dalam masjid meskipun lebih dekat dengan jarak imam shalat. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember