Bahtsul Masail

Shalat Jum’at di Perkantoran

Kam, 2 Oktober 2014 | 22:01 WIB

Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Pembaca sekalian yang kami hormati. Pembahasan kali ini akan menanggapi pertanyaan kedua dari saudara kita Muchamad Wajihuddin dari kota Bogor. Adapun isi pertanyaannya adalah, “Apakah sah shalat Jum’at yang diadakan di gedung perkantoran <>dimana jama’ahnya adalah para pekerja yang bukan mukimin di wilayah seputaran tempat dilaksanakan shalat Jumat?”

Saudara Wajihuddin yang mudah-mudahan selalu dalam naungan ridha Allah. Shalat Jum’at merupakan salah satu ibadah yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang beriman melalui sebuah firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Jumu’ah ayat 9. Kewajiban tersebut kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw tertuju kepada selain para budak, kaum perempuan, anak-anak yang belum baligh, orang yang sedang sakit dan dipandang sebagai uzur, serta orang yang sedang dalam bepergian dengan jarak yang telah memenuhi radius rukhshah (boleh tidak jum’atan).

Setelah melakukan analisa yang cukup mendalam mengenai dalil-dalil yang terkait dengan shalat Jum’at baik dari Al-Qur’an maupun hadist, mayoritas ulama’ Syafii’yyah berpandangan bahwa termasuk syarat sah pelaksanaan khutbah Jum’at berikut shalatnya harus diikuti oleh minimal 40 orang ahli Jum’at (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan shalat Jum’at/mustauthin).

Saudara penanya yang kami hormati. Permasalahan yang anda sampaikan ini sebenarnya pernah dibahas dalam musyawarah nasional alim ulama pada tahun 1997 di Lombok dengan keputusan bahwa Shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut:

1. Tidak sah, menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah. Sementara Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh al-Muzanni memandang sah bila jumlah jama’ah itu diikuti mustauthin minimal 4 orang.

2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak. Adapun rujukan yang digunakan antara lain:  Risalah Bulugh al-Umniyah fi Fatawa al-Nawazil al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali al-Maliki:

بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ

Artinya: Bahkan guruku, al-Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya berkata: “Sungguh Imam Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jum’at pula. Salah satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab al-Talkhish dan dihikayatkan al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab.

Dalam Al-Muhadzdzabyang disusun oleh Abu Ishaq al-Syairazi:

 مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ

Artinya: Di antara syarat jumlah jamaah tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak.

Apakah shalat Jum’at itu sah dengan jamaah terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Shalat Jum’at dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jum’at, sehingga shalat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.”

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Zuhaili:

وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ

Artinya: Dan jumlah minimal jamaah Jum’at menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat al-Ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga.

Dari uraian ini ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini: Pertama, mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah yang menganggap jum’atan tersebut tidak sah dengan konsekuensi karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jum’at oleh penduduk setempat.

Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim imam Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4 orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut shalat Jum’at di perkantoran.

Ketiga, mengikuti pendapat imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat,rukun dan hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi.

Mudah-mudahan jawaban ini dapat membuka cakrawala kita mengenai keberagaman dalam menjalankan perintah agama. Amin. Wallahu a’lam. (Maftukhan)