Syariah

3 Sebab Wajibnya Ganti Rugi dalam Islam

Sel, 13 Agustus 2019 | 15:45 WIB

3 Sebab Wajibnya Ganti Rugi dalam Islam

Tidak setiap kerugian sah menuntut tanggung jawab orang lain. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Pada hakikatnya, latar belakang disyariatkannya penjaminan risiko (dlammân) adalah disebabkan karena tiga hal, yaitu: (1) karena adanya permusuhan (sengketa/i'tida'); (2) karena adanya unsur tindakan melampaui batas yang dibenarkan syara' (al-ta'addi), dan (3) karena ada unsur kerugian yang diderita orang lain akibat perbuatan seseorang atau sekelompok orang (dlarar).

 

Itulah sebabnya maka ketiga hal di atas merupakan syarat mutlak bagi berlakunya kewajiban dlammân. Untuk itulah, maka ketiganya dianggap sebagai rukun dari dlammán (penjaminan) dalam syariat Islam (lihat: al-ZuhailI, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 24).

 

Penjaminan dalam banyak kasus fiqih, sering dikaitkan dengan akibat perbuatan-perbuatan berikut, seperti:

 

1. Karena telah menggasab barang milik orang lain. Sudah menggasab, lalu merusakkan. Sudah barang pasti akan timbul susahnya sang pemilik barang karena dua kerugian. Kerugian berupa materii berupa rusaknya barang, dan kerugian moril karena barangnya tidak bisa dimanfaatkan lagi, atau bisa dimanfaatkan, tapi berubah fungsi, berupa tidak berjalannya barang sebagaimana normalnya.

 

2. Karena merusak barang milik orang lain dan

 

3. Menerjang norma dan nilai sosial, khususnya dalam kasus jinayat (pidana). Misalnya, karena kebijakan seseorang, maka timbul dampak merugikan pada pihak lain. Kasus seperti ini adalah masuk rumpun jinâyat.

 

Menilik dari 3 faktor di atas, maka hubungan antara permusuhan dan kerugian sehingga wajib berlaku tempuh kerugian, khususnya bila terjadi hal di luar ekspektasi atau harapan, adalah bisa dipetakan sebagai hubungan sebab akibat.

 

1. Adakalanya permusuhan itu menjadi "sebab," sementara kerugian merupakan "akibat", atau sebaliknya

 

2. Kerugian merupakan "sebab," sehingga permusuhan adalah "akibat."

 

Kedua relasi ini juga berlaku untuk sebab yang berupa "melampaui batas ketentuan / berlebih-lebihan dalam menggunakan alat." Misalnya, "sebab" penggunaan mobil yang tidak sebagaimana ketentuan, "akibatnya" mobil tidak bisa dipergunakan kembali sebagaimana mestinya. Contoh kasus: "menyewa mobil pribadi, tapi dipergunakan untuk mengangkat pasir."

 

Normalnya, mobil pribadi dipergunakan untuk tumpangan keluarga dan manusia. Jika kemudian digunakan untuk mengangkut pasir, maka ia sudah dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Efeknya, terjadi perubahan fungsi mobil dari mobil pribadi, menjadi mobil angkut pasir. Pihak penyewa dalam hal ini tidak bisa beralasan bahwa mobil itu telah disewanya. Meskipun kasus sewa barang, bisa menjadikan seseorang memanfaatkan barang tertentu, namun karena tindakan yang berlebihan di luar peruntukan, ia bisa dikenai pasal wajibnya memberikan ganti rugi.

 

Singkatnya, bahwa terkait dengan permusuhan dan melampaui batas, ada batas-batas ketetapan syariat sehingga berlaku wajibnya dlammân (jaminan/pertanggungjawaban). Syekh Wahbah al-ZuhailI menguraikan batasan tersebut sebagai berikut:

 

انحراف عن السلوك المألوف للرجل المعتاد أو أنه العمل الضار من دون حق أو جواز شرعي

 

Artinya: "terjadi perubahan perilaku abnormal pada barang menurut seseorang yang sudah terbiasa dengannya, atau telah terjadi sebuah pekerjaan yang merugikan dan dilakukan dengan tanpa haq, atau tindakan yang melampaui batas kewenangan syar'i." (al-ZuhailI, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 24).

 

Gambaran yang disampaikan oleh Syekh Wahbah di atas, terjadi bila kerugian itu timbul pada benda fisik. Kerugian benda fisik bisa diukur berdasar:

 

• Jalannya benda sudah tidak normal lagi menurut dasar pertimbangan orang yang sudah biasa dengannya

 

• Telah terjadi tindakan yang merugikan tanpa haq

 

• Melampaui batas kewenangan yang ditetapkan syara'

 

Kadangkala, yang dimaksud tindakan sesuai syara' ini sering dijadikan alibi untuk membolehkan menghancurkan apa saja benda yang tidak dibenarkan oleh syara' dalam menggunakannya. Misalnya, ada seorang non-Muslim memiliki khamr. Minum khamr adalah tidak dibenarkan oleh syariat agama kita. Menghancurkan khamr dijadikan alasan bahwa khamr adalah bertentangan dengan syara' adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Mengapa?

 

Dalam keterangan yang panjang, para fuqaha' menyebut bahwa khamr memang bukanlah harta bagi Muslim. Namun, menurut fuqaha', khamr itu tetaplah merupakan harta bagi non-Muslim. Tindakan menghancurkannya, adalah sama dengan tindakan menghancurkan harta bagi pihak lain. Tindakan seperti ini masuk rumpun melebihi batas kewenangan syariat, sehingga wajib tempuh bagi pelakunya. Jelasnya, ada ketentuan sebagai berikut dalam syariat:

 

التعدي ….هو في الغالب مادي موضوعي لاذاتي

 

Artinya: "Tindakan melampaui batas itu adalah tindakan yang bersifat (merugikan secara) moril dan tidak secara materiel." (al-ZuhailI, nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâm al-Masûliyyah al-Madâniyyah wa al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 24).

 

Khamr (arak) dari sudut dzatnya adalah barang haram. Namun, khamr dilihat dari maudlu'i-nya (kontekstualnya), ia adalah harta.

 

Kasus lain, dalam fiqih turats, disebutkan bahwa wadah emas dan perak adalah dua benda yang dilarang dalam syariat. Imam Nawawi menyampaikan bahwa menghancurkan wadah emas, merupakan tindakan yang tidak wajib dlamman.

 

Jika kita lihat konteksnya, Imam Nawawi di sini berbicara dalam konteks relasi Muslim dengan Muslim. Namun, untuk konteks relasi Muslim dan non-Muslim, beliau tetap mengacu bahwa wadah emas dan perak, keduanya adalah harta.

 

Walhasil, tindakan pembasmian sesuatu yang haram secara syariat bukan berarti terbebas dari dlamman. Tanpa hak hukum yang dibenarkan oleh pemerintah, maka dlamman (ganti rugi risiko kerusakan) adalah bagian dari yang harus dipenuhi dan masuk dalam wilayah jaminan atau ganti kerugian. Namun, hal yang sama tidak berlaku dalam relasi Muslim-Muslim. Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur