Syariah

Agar Terhindar dari Riba, Apa Jenis Akad untuk Obligasi Syariah?

Kam, 15 Maret 2018 | 08:45 WIB

Istilah lain dari obligasi syariah adalah syuquq. Syuquq merupakan bentuk plural dari syuq yang berarti pasar. Dengan demikian arti dari syuquq adalah kumpulan efek yang berbasis pasar. Menurut istilah kajian fiqih transaksi, syuquq ini merupakan lembaran surat berharga yang berisi pernyataan pengakuan utang perusahaan kepada pemegangnya. Bagaimana ia bisa dimasukkan sebagai efek yang berbasis pasar, yang artinya ia bisa diperjualbelikan? Simak ulasan berikut ini!

Pada tulisan terdahulu telah dijelaskan bahwa agar perusahaan dalam ekspansi usahanya mendapatkan pembiayaan, maka salah satu alternatif yang dimilikinya adalah ia dapat menerbitkan obligasi (surat pernyataan utang). Selanjutnya, surat pernyataan utang ditawarkan kepada khalayak umum melalui mekanisme pelelangan. Karena di dalam obligasi ada nisbah bagi hasil atau imbal jasa yang ditawarkan ke pemegangnya, maka ia bisa disebut barang manfaat. Karena memiliki manfaat inilah, maka obligasi masuk dalam kategori aset (mâl). Hal ini sebagaimana syarat suatu barang dapat disebut sebagai harta, sehingga boleh diperjualbelikan, manakala ia memiliki aspek manfaat. 

Karena obligasi adalah sebuah surat pernyataan utang dari perusahaan syariah kepada pemegangnya dan mensyaratkan harus ada imbal jasa kepada pemegangnya, serta anti terhadap konsep kerugian sehingga uangnya tidak kembali, maka akad apakah yang bisa dipakai oleh perusahaan penerbit obligasi tersebut agar ia tidak terjebak di dalam konsep riba? Persoalan inilah yang hendak ditekankan dalam tulisan kali ini. 

Apabila di dalam obligasi dicantumkan besaran pendapatan yang harus diterima oleh pemegang obligasi, misalnya adalah suku bunga sebesar 2,5% dari modal yang ada, maka tak urung bahwa obligasi jenis ini adalah masuk tataran barang ribawi. Syariat kita tidak menghendaki konsep imbal yang ditentukan besarannya di muka. Dengan demikian, maka konsep imbal jasa yang ditentukan di belakang hanya memungkinkan dalam bentuk bagi hasil (revenue sharing). Dalam syariat kita, konsep revenue sharing hanya ada pada akad mudlarabah. Dengan demikian, maka konsep bagi hasil yang bisa diadopsi oleh obligasi adalah obligasi mudlarabah, sehingga pihak pemegang obligasi berhak mendapatkan bagi hasil keuntungan perusahaan. 

Dengan demikian, jika kita ringkas, maka ketentuan dalam obligasi mudlarabah memiliki penjelasan sebagai berikut:

1. Obligasi mudlarabah diterapkan mengikuti prinsip mudlarabah.

2. Pihak emiten berperan selaku penerbit obligasi sekaligus sebagai mudlarib.

3. Ada jenis usaha yang diketahui secara bersama baik antara emiten dengan investor.

4. Tata cara bagi hasil disepakati bersama oleh kedua belah pihak–emiten dan investor

5. Emiten berkewajiban mengembalikan uang yang diberikan oleh investor karena status pernyataan utang tersebut.

Berangkat dari ketentuan nomor 5 ini, apabila setelah jatuh tempo, perusahaan penerbit obligasi (emiten) tidak bisa mengembalikan uang dari pemegang obligasi, maka pihak emiten bisa melakukan konversi obligasi menjadi saham perusahaan. Ketika konversi ini terjadi, maka prinsip obligasi mudlarabah berubah menjadi prinsip musyarakah musahamah sehingga investor posisinya berubah dari selaku shâhibul mâl (pemilik aset) menjadi syarik (peserta musyarakah). 

Hal yang perlu dicatat adalah ketika konversi hendak dilakukan, maka antara emiten dan pemegang obligasi harus melakukan akad perjanjian yang baru sebagaimana pernah dijelaskan dalam akad musyarakah mutanaqishah muntahiyah bit tamlik
6. Investor menerima bagi hasil bukan dari deviden (sisa hasil usaha / laba bersih), melainkan diperoleh dari seluruh total hasil usaha (laba kotor) yang menggunakan dana dari investor.

7. Dana dari investor (shâhibul mâl ) seluruhnya 100% digunakan untuk membiayai proyek yang disepakati

Jika demikian, apa bedanya dengan musyarakah musahamah

Di dalam musyarakah musahamah, konsep yang diterapkan adalah konsep profit and loss sharing (bagi untung-rugi), sementara dalam akad mudlarabah, konsep yang diterapkan adalah konsep revenue sharing (bagi hasil). Di dalam musyarakah mensyaratkan pencampuran modal, sementara di dalam mudlarabah, tidak mensyaratkan adanya penyampuran modal. Kita harus menggaris bawahi konsep ini agar ke belakang tidak membuat kita terjebak dalam kerancuan dalam memahaminya. 

Sebenarnya, dalam syariat agama kita ada juga konsep imbal jasa yang ditentukan di depan. Nama dari akad ini adalah akad ijarah (sewa-menyewa). Jika akad ini diterapkan dalam bentuk obligasi, maka pihak pemegang saham berhak mendapatkan ujrah (upah) berupa hasil sewa. 

Yang jadi persoalan adalah, bagaimana mungkin obligasi bisa disewakan sementara ia masih berupa surat pernyataan utang dari perusahaan penerbit (emiten) untuk mewujudkan barang? Barang belum ada, akan tetapi sudah diambil sewa. Padahal, jika kita menyewakan mobil misalnya, maka mobilnya harus ada dan tidak boleh tidak. Mobil sendiri juga diketahui manfaatnya oleh orang yang menyewa sehingga orang yang menyewakan berhak mendapatkan hasil sewanya. Namun dalam obligasi, keberadaan barang yang berupa mobil ini masih belum wujud. Apakah boleh menyewakan barang yang belum berwujud? Apalagi dalam obligasi, pihak pemegang obligasi syariah adalah berperan selaku pihak yang menyewakan, sementara ia hanya menyetorkan barang berupa nilai mata uang sejumlah lembar obligasi yang dibeli. Inilah dilematika obligasi jika diwujudkan dalam akad ijarah tersebut. Mungkinkah ada solusinya, padahal keuangan dari hasil lelang obligasi tersebut sangat dibutuhkan oleh perusahaan syariah untuk kepentingan ekspansi usahanya?


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur

Baca tulisan berikutnya: Obligasi Syariah dengan Akad Sewa-Menyewa (Ijarah)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua