Syariah

Akad Leasing dalam Logika Fiqih Muamalah

Rab, 22 Januari 2020 | 12:15 WIB

Akad Leasing dalam Logika Fiqih Muamalah

Gambaran sederhananya, seseorang menyewa mobil yang diakhiri dengan kepemilikan mobil oleh penyewa. Jadi, status penyewanya berubah menjadi pemilik di akhir periode sewa.

Akad satu ini memang merupakan bagian dari akad modern yang dikembangkan oleh para fuqaha’ ashriyah (fuqaha kontemporer). Menyimak dari struktur penyusun katanya, akad ini memang merupakan bagian dari akad murakkab (akad ganda yang dirangkai menjadi satu) sehingga kemudian dikenal sebagai akad ijarah al-muntahiyah bit tamlik (IMBT) begitu saja, yaitu akad ijarah (sewa jasa) yang digabung dengan akad tamlik (perpindahan kepemilikan).

Akad ijarah memiliki titik tekan pada tamlikul manfa’ah bi ‘iwadhin ma’lumin (kepemilikan manfaat dengan ganti yang diketahui). Sementara tamlik memiliki fokus pada ja’alahu malikan lil mal, yaitu menjadikan seseorang sebagai pemilik dari sebuah harta. Alhasil, akad IMBT memiliki titik tekan pada akad sewa “barang nonfisik” dari suatu “harta fisik” yang diakhiri kepemilikan “harta fisik.”

Gambaran sederhananya, seseorang menyewa mobil yang diakhiri dengan kepemilikan mobil oleh penyewa. Jadi, status penyewanya berubah menjadi pemilik di akhir periode sewa.

Jika kita menyimak sekilas, emang akad ini aneh. Mengapa penyewa bisa berubah menjadi pemilik dari barang yang disewa? Umumnya adalah setelah selesai masa sewa, maka barang otomatis kembali kepada pemiliknya, yaitu pihak yang menyewakan. Namun, dalam akad IMBT ini, barang justru berpindah status kepemilikannya kepada penyewa. Ini titik keanehan itu. Apakah syariat melegalkan akad ini?

Sudah pasti akad IMBT ini tidak akan kita temukan pada bangunan konsep lama fiqih turats. Dan jika kita hanya berhenti pada susunan akad yang membentuk IMBT ini, maka kita pasti langsung akan memutuskan bahwa IMBT adalah akad fasid (akad rusak) sehingga harus dibatalkan karena tersusun oleh dua akad yang saling bertentangan (mutanaqidh).

Mengapa? Karena ada dua tujuan akad yang saling bertentangan, yaitu akad sewa (ijarah) yang seharusnya berhenti pada kepemilikan manfaat yang dibatasi oleh waktu. Sementara tamlik merupakan akad perpindahan hak milik dan itu hanya ada pada jual beli (bai’). Penggabungan akad ijarah dan akad bai’ dipandang sebagai akad mutanaqidh sehingga bathil.

Sementara itu, dalam ranah kajian fiqih, khususnya fiqih Syafi’iyah, ada sebuah kaidah bahwa:

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني 

Artinya, "Istilah dalam akad itu ditentukan berdasarkan tujuan dan makna, bukan berdasar lafadh dan struktur yang membangunnya.”

Tujuan dari IMBT memudahkan orang untuk memiliki suatu barang yang dibutuhkan. “Kebutuhan” ini merupakan illat hukum yang dikuatkan karena banyak teks syari’ah yang karena faktor hajatun nas (hajat masyarakat) maka akad itu kemudian dibolehkan.

Sebagaimana hal ini sesuai dengan semangat meniadakan kesulitan/rasa sakit/susah (‘adamul haraj). Sebagaimana firman Allah SWT: 

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya, “Tiada dijadikan agama bagi kalian itu untuk mempersulit,” (Surat Al-Hajj ayat 78).

Berangkat dari semangat ayat di atas, maka kita perlu meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana akad IMBT ini dilaksanakan dan bukan sekadar berhenti pada susunan teks lafal dan gabungan akadnya. Hal yang perlu dicermati tentunya adalah apakah akad itu bisa diuraikan berdasar rinciannya (tafriqus shafqah).

Selagi lafal masih bisa dirinci (tafriqus shafqah), dan di dalam perinciannya tidak ada unsur mutanaqidh (saling bertentangan) atau mutanafi (saling membatalkan satu sama lain), maka akad itu masih dipandang sebagai boleh. Inilah bagian dari tugas takyif fiqih (inovasi fiqih).

Untuk memahami bisa tidaknya IMBT diperinci, maka kita perlu bercermin pada praktik akad kitabah. Dalam akad kitabah, ada seorang budak yang ingin merdeka lalu ia mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya melalui mekanisme tebusan yang diangsur/dicicil (taqsith).

Seiring tebusan itu dibayarkan oleh budak tersebut, maka secara berangsur (tandarijy), dia akan merdeka secara berangsur pula. Padahal, di tengah masa tebusan itu, seorang budak tetap memiliki kewajiban khidmah (melayani) tuannya karena belum sepenuhnya merdeka.

Seiring sebagian dari dirinya itu merdeka, maka porsi/bagian yang merdeka itu tetap dihitung sebagai yang harus diupah (ujrah) karena anggota porsi kemerdekaan itu punya hak untuk tamlik (memiliki barang). Lain halnya dengan porsi bagian yang belum merdeka, maka ia tidak memiliki hak untuk diupah.

Contoh praktis penerapannya adalah sebagai berikut: 

“Seorang budak menempuh akad kitabah dengan menebus dirinya seharga 12 juta yang dicicil selama 1 tahun (12 bulan). Setiap bulan ia dikenai cicilan sebesar 1 juta. Jika bulan pertama ia mampu mencicil sebesar 1 juta, maka itu artinya 1/12 bagian tubuhnya adalah dinyatakan merdeka. Ketika bulan kedua ia mampu mencicil sebesar 1 juta lagi, maka 2/12 (⅙) porsi bagian tubuhnya adalah merdeka.” 

“Jika suatu misal upah harian standar dari seseorang yang merdeka adalah 120 ribu setiap hari kerja, maka upah pertama pada bulan pertama budak tersebut mencicil dirinya sebesar 1 juta, ia memiliki hak ujrah senilai 1/12 x 120 ribu rupiah, sehingga total per harinya, ia mendapatkan upah sebesar 12 ribu rupiah.” 

“Pada bulan kedua setelah ia mencicil kembali sebesar 1 juta rupiah, maka ⅙ dirinya merdeka, maka ia berhak mendapat upah sebesar ⅙ x 120 ribu rupiah, yaitu sebesar 20 ribu rupiah per hari. Pada bulan ketiga, setelah ia mencicil kembali sebesar 1 juta rupiah, maka 3/12 (¼) porsi dirinya adalah merdeka, sehingga upah hariannya meningkat menjadi ¼ x 120 ribu rupiah, sama dengan 30 ribu rupiah. Demikian seterusnya, sampai genap 12 bulan.” 

“Secara tidak langsung, seiring bertambahnya cicilan dan bulan, maka pihak tuan memiliki kewajiban untuk memberi upah kepada budak mukatab dengan kecenderungan semakin meningkat. Itu artinya, si tuan juga sedang melakukan akad ijarah dengan si budak mukatab dan sekaligus juga melakukan akad jual beli dengannya.”

Ini adalah gambaran sederhana dari akad ijarah muntahiyah bit tamlik. Bedanya dengan akad kitabah hanya sedikit, yaitu budak mukatab tersebut membeli kemerdekaan dirinya sendiri sembari (akad bai’) dan sekaligus menyewakan jasa dirinya sendiri kepada tuan (akad ijarah). Dalam praktiknya, hal ini dibenarkan oleh syariat, dengan ketentuan:

1. Harga jual beli barang sudah ma’lum. Hal ini diilustrasikan dengan harga jual budak tersebut oleh tuan, yaitu sebesar 12 juta. 

2. Masa cicilan jelas, yaitu selama 12 bulan.

3. Itungan antara biaya sewa (akad ijarah) dengan biaya pokok barang (tubuh budak mukatab) (akad bai’) juga jelas dan berangsur menurun seiring tambahan cicilan. 

Inilah maksud dari tafriqus shafqah itu. Jadi tafriqus shafqah adalah:

تفريق الصفقة: هو أن يبيع ما يجوز بيعه وما لا يجوز في صفقة واحدة بثمن واحد

Artinya, "Tafriqus shafqah adalah seseorang menjual sesuatu barang yang boleh dijual bersamaan dengan barang yang tidak bisa dijual dalam rupa satu akad dengan harga yang satu.” 

Dengan mencermati pola pelaksanaan IMBT yang bisa diqiyaskan dengan akad kitabah, karena sama-sama tersusun atas akad ijarah dan akad bai’, maka dapat disimpulkan bahwa akad IMBT ini adalah legal secara syariah.

Kunci dari legalitas itu adalah justru akad ijarah yang masuk dalam bagian akad IMBT bersifat bukan mutanaqidh, melainkan justru menguatkan terhadap kemungkinan tertebusnya barang, yang dalam akad kitabah disampaikan sebagai tertebusnya diri budak mukatab hingga merdeka. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah-PW LBMNU Jawa Timur