Syariah

Akad Musaqah Atur Pembagian Tugas Petani Penggarap dan Pemilik Lahan

Sab, 23 November 2019 | 19:00 WIB

Saat akad musaqah sudah disepakati berdua antara petani penggarap dan pemilik kebun, maka dalam pada itu langsung berlaku hak dan kewajiban petani penggarap atas lahan yang sudah diserahkan. Hak dan kewajiban yang dimaksud di sini, adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan masalah pembagian tugas pekerjaan terkait pengolahan lahan.

Terkait masalah pembagian pekerjaan, umumnya para ulama dari kalangan mazhab 4, memilah pekerjaan itu menjadi dua, yaitu pekerjaan yang bersifat mempengaruhi terhadap hasil panen secara langsung dan pekerjaan yang tidak secara jelas mempengaruhi hasil panen.

Terkait dengan sifat hasil kerja, para ulama juga kadang memilahnya menjadi dua, yaitu permanen dan tidak permanen. Masing-masing klasifikasi ini didasarkan pada kebiasaan urf yang berlaku di masyarakat.

Nah, dalam tulisan kali ini, kita akan uraikan tentang rincian pembagian tugas itu menurut versi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Mengingat banyaknya kupasan tentang hal itu, maka dalam tulisan ini, penulis akan sajikan secara ringkas, sementara kitab rujukannya, para pembaca bisa langsung membuka masing-masing referensi yang sudah diikutsertakan oleh penulis.

Mazhab Hanafi
Kalangan Hanafiyah memperkenalkan adanya dua batasan umum mengenai pembagian tugas antara petani penggarap (‘Amil) dengan pemilik kebun, antara lain sebagai berikut:

Pertama, semua pekerjaan yang berhubungan dengan tanaman sebelum diproduksinya buah, termasuk di dalamnya adalah memberikan irigasi pada tanaman, mengawinkannya (talqih), menjaga dan merawatnya, semuanya adalah tanggung jawab ‘amil untuk mengerjakannya. Adapun ketika buah sudah siap petik, maka tanggung jawab penjagaan dan perawatan tanaman beralih menjadi tanggung jawab berdua, antara petani penggarap dan pemilik kebun.

Pendapat ini diambil dengan mendasarkan diri pada riwayat yang secara zhahir menyebutkan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab itu. Oleh karenanya, menurut Mazhab Hanafi, pemilik kebun tidak boleh menetapkan syarat dalam akad musaqah, bahwa tugas memetik merupakan tanggung jawab petani penggarap.

Alasan yang dipergunakan adalah, bahwa keberadaan mensyaratkannya pemilik kebun ke ‘amil dalam memetik tanaman, adalah tidak sesuai dengan ‘urf yang berlaku dan dikuatkan oleh riwayat. (Hasyiyah Ibn Abidin, juz V, halaman 185).

Kedua, segala pekerjaan yang tidak memiliki manfaat langsung terhadap tanaman dan dilakukan di kebun, setelah berjalannya akad, adalah tanggung jawab ‘amil seorang dan tidak boleh dikaitkan dengan pemilik. Pensyaratan pemilik terhadap petani penggarap dengan hal-hal yang sedemikian ini tidak menyebabkan rusaknya akad.

Lain halnya bila yang disyaratkan adalah hal yang kelihatan ada manfaatannya langsung dengan tanaman, yaitu proses menanam, mencari sari untuk mengawinkan tanaman,  pengobatan, pemupukan dan lain sebagainya, maka pensyaratan pemilik kepada amil agar semua pekerjaan itu dilakukan oleh amil dapat merusak akad.

Mazhab Maliki
Kalangan Malikiyah umumnya mengembalikan pola pembagian tugas ini kepada ‘urf (tradisi) yang berlaku di mana keduanya tinggal. Mereka menyatakan bahwa segala tindakan yang berkaitan dengan upaya menghasilkan buah secara urf adalah menjadi kewajiban amil, meski tindakan itu dilakukan setelah buah bisa dipetik. Tidak ada ketentuan harus memerinci pekerjaan, seluruhnya dikembalikan pada urf yang berlaku manakala urf tersebut secara jelas diketahui secara bersama-sama oleh pemilik dan amil.

Lain halnya bila masyarakat tempat kedua pihak ini berada, tidak ada ‘urf yang dapat dijadikan acuan, maka menjelaskan duduk rincian tugas dan pekerjaan masing-masing pihak adalah menjadi tanggung jawab mereka berdua. (Mawahibul Jalil, juz V, halaman 375).

Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan oleh kalangan Malikiyah menyerupai pendekatan yang dilakukan oleh Hanafiyah, antara lain sebagai berikut: Pertama, pekerjaan yang tidak ada hubungannya secara langsng dengan produksi buah dan tidak ada kaitannya dengan upaya menjaga sehatnya tanaman, maka bukan merupakan tanggung jawab petani penggarap. Contoh lainnya adalah tugas membikin pagar kebun, atau memperbaiki saluran irigasi. Kecuali kalau tugas semacam ini hanya seperlunya, dan tidak berat bagi petani penggarap untuk melakukannya. Namun, jika sampai membuat saluran air, atau memagari keliling kebun, maka itu adalah tanggung jawab pemilik kebun itu sendiri. (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 319).

Kedua, semua pekerjaan yang berhubungan dengan upaya menghasilkan buah, namun hasil pekerjaannya kelak bersifat permanen, contohnya menggali sumur atau membangun saluran irigasi, atau membangun tempat penyimpanan hasil panen, maka semua pekerjaan ini tidak boleh dimasukkan atau dikaitkan dengan akad yang sudah berjalan. Pemilik kebun juga tidak boleh menetapkan syarat keharusan bagi petani penggarap untuk menyediakannya, kecuali jika petani tersebut diikat dengan akad ijarah yang lepas dari akad musaqah yang sudah berjalan. (Al-Qawaninul Fiqhiyyah, halaman 184).

Namun agaknya Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid memiliki pandangan lain. Ia meyatakan bahwa “pekerjaan apa pun, asalkan memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi sehatnya tanaman dan hasil panen,” bisa dicakupkan dalam bagian syarat akad musaqah, tidak dengan akad terpisah dan berdiri sendiri,” (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 317-318).

Ketiga, semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan upaya produksi buah, dan tidak bersifat permanen, maka pekerjaan ini merupakan tanggung jawab dari amil sebagai kelaziman dari akad yang sudah dibangun. Contohnya adalah pekerjaan menyiangi tanaman, membuat lubang tempat pupuk, dan lain sebagainya. Sifat hasil dari pekerjaan ini tidak bersifat permanen dan hanya berlangsung insidental (ketika diperlukan).

Kupasan mengenai pembagian tugas antara pemilik dan amil dalam akad musaqah versi kedua ulama mazhab lainnya, insya Allah akan disajikan pada tulisan mendatang. Akhirnya semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita mengenai akad muamalah dalam dunia pertanian. Wallahu ‘alam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur