Syariah

Antara Akad Sewa Jasa dan Akad Sayembara, Ada Akad Lomba

Sel, 26 Januari 2021 | 16:30 WIB

Antara Akad Sewa Jasa dan Akad Sayembara, Ada Akad Lomba

Penting sekali kita mengetahui batasan-batasan mengenai perbedaan antara ketiga hal ini, yaitu ijarah, ju’alah, dan produk baru akad tersebut.

Beberapa waktu yang lalu, kita pernah berbicara bahwa ju’alah (sayembara) merupakan cabang dari akad ijarah (sewa jasa), namun dengan objek merupakan pihak yang melakukan pekerjaan (maj’ul ‘anhu) menempati derajat pihak yang diberi imbalan dan terdiri dari orang yang tidak dapat ditentukan (ghairu mu’ayyan/majhul). Artinya, semua pihak bisa ikut asalkan memenuhi kriteria pelaku dan target pekerjaan yang disampaikan oleh pemberi pekerjaan (ja’il).

 

Berangkat dari sini, lantas muncul pertanyaan-pertanyaan baru, yaitu:

  1. Bagaimana bila pelaku yang disewa itu merupakan pihak tertentu?
  2. Bagaimana bila target pekerjaan itu adalah urusan menang atau kalah?
  3. Bagaimana bila objek yang dikerjakan itu adalah bersifat adu prestasi dalam memanah, berkuda dan berenang?

 

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan ini, kemudian timbul pertanyaan pamungkas yang baru, yaitu: apakah akad ini masih bisa dikelompokkan sebagai akad ijarah dan sayembara? Apa bedanya?

 

Penting sekali kita mengetahui batasan-batasan mengenai perbedaan antara ketiga hal ini, yaitu ijarah, ju’alah, dan produk baru akad tersebut. Mengapa, karena banyak kasus baru yang hampir serupa (baca: bisa diqiyaskan) dan menghendaki putusan hukumnya. Di sini kita berharap bisa memahaminya dan kelak kita bisa menjalani suatu aktifitas yang dibenarkan oleh syariat agama kita, yakni Islam.

 

Tertentu atau Tidak Tertentunya Pihak yang Diberi Pekerjaan

Sifat tertentunya pihak yang diberi pekerjaan/diberi upah, yang dilengkapi dengan durasi kontrak pekerjaan dan job/pekerjaan tertentu yang jelas dan terukur adalah merupakan ciri dari akad ijarah (sewa jasa).

 

Adapun sifat tidak tentunya pihak yang diberi pekerjaan, baik disertai durasi kontrak pekerjaan atau tidak, namun berakhirnya pekerjaan itu bersifat terukur berkorelasi dengan sudah terpenuhi atau tidaknya pekerjaan, maka akad yang mewadahi bidang pekerjaan semacam ini adalah termasuk akad ju’alah atau ju’alah.

 

Misalnya, dalam kasus sayembara carikan hewanku yang hilang, kalau ketemu, saya kasih kamu bonus sekian dan sekian, maka akad seperti ini adalah termasuk akad ju’alah.

 

Pihak pemberi pekerjaan (ja’il) adalah saya. Pihak yang diberi pekerjaan adalah anda atau orang yang mendengarkan ucapan saya baik secara langsung atau tidak langsung. Alhasil, pelakunya bukan orang yang bersifat ditentukan. Batas waktu pekrjaan itu jelas, yaitu sampai ditemukannya barang yang hilang.

 

Objek yang dicari adalah barang yang hilang sehingga bersifat ditentukan. Besara ju’lu juga jelas, sebagai buah/relasi dengan akad ijarah, mengingat ju’alah adalah cabang dari ijarah, sehingga ju’lu (imbalan) menempati derajatnya ujrah (upah). Alhasil, besaran ju’lu wajib memenuhi kriteria ujrah juga, yakni bersifat harus ma’luman (diketahui).

 

Dalam kasus lain, carikan aku utangan sebesar 100, nanti kamu saya kasih upah sebesar 10, akad semacam ini sifatnya juga memenuhi kriteria ijarah dan sekaligus ju’alah.

 

Akad di atas, disebut memenuhi kriteria ijarah, jika pekerjaan mencarikan hutang itu, hanya dibatasi sebesar 100. Oleh karenanya, pihak yang mampu mencari uang sebesar 100 tersebut, ia mendapatkan hak untuk mendapatkan 10.

 

Lain halnya bila besaran itu tidak dibatasi dengan 100. Misalnya, untuk setiap per 100-nya, maka ia akan mendapatkan 10%-nya, maka dalam kondisi seperti ini, akad yang berlaku adalah termasuk jenis akad ju’alah. Pihak yang mencarikan utangan, bisa terdiri atas satu orang atau lebih. Terserah pemberi pekerjaan, mahu membatasi kategori peserta atau tidak. Asalkan peserta itu mampu memenuhi target dan bermanfaat bagi pemberi pekerjaan (ja’il), maka akadnya adalah ju’alah.

 

 

Akad Serupa tapi Tak Sama

Akad ju’alah meniscayakan pesertanya bisa terdiri dari lebih dari satu, dan tidak ditentukan. Karena bisa terdiri lebih dari satu pelaku, maka ada kemungkinan dalam upaya memenuhi kriteria sayembara itu, pihak yang diberi pekerjaan harus berpacu dengan yang lain. Masing-masing, targetnya adalah sama. Hanya soal waktu saja, yang kadang bisa cepat atau bisa lambat. Tidak ada ketentuan di dalamnya, apakah pihak yang melakukan termasuk terlatih atau tidak terlatih. Yang terpenting adalah pihak yang diberi pekerjaan, bersifat “tahu” (ma’lum) dengan objek sayembara (ju’alah).

 

Nah, bagaimana apabila pihak yang diberi pekerjaan itu terdiri dari satu atau lebih dari satu dengan kriterianya ditentukan. Misalkan:

  1. Orang yang ikut, harus merupakan orang yang sudah terlatih.
  2. Waktu pelaksanaannya ditentukan. Alhasil, di luar waktu itu, maka tidak berlaku hak mendapatkan ganti jerih payah (’iwadl)
  3. Jarak yang ditempuh, bersifat terukur.
  4. Cara memenangkan pekerjaan, bersifat ditentukan
  5. Basis kriterianya, siapa yang mencapai target duluan/finish (ghayah), maka dia yang berhak atas hadiah
  6. Pihak yang memberi pekerjaan atau wakilnya, atau pihak yang diberi idzin olehnya, bersifat harus terlibat di dalam pekerjaan itu.

 

Kriteria semacam ini sudah barang tentu, sama sekali berbeda dengan akad ju’alah yang bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus susah payah berlatih mendapatkan. Di dalam ju’alah, pihak yang memberi pekerjaan bisa terlibat langsung di dalam pekerjaan, atau sama sekali tidak terlibat. Sama halnya dengan akad ijarah, yaitu pihak yang memberi pekerjaan, bisa terlibat dan atau tidak terlibat langsung di dalam pekerjaan. Alhasil, tidak ada beda antara pemberi dan yang diberi pekerjaan.

 

Lain halnya dengan kritria akad yang barusan kita sodorkan, pihak yang memberi pekerjaan, atau wakilnya, atau orang yang diberi idzin, wajib langsung terlibat di dalam pekerjaan.

 

Perbedaan lain dengan akad ijarah adalah pihak yang disewa/diupah dalam akad ijarah, sifatnya adalah tertentu, dan masing-masing pihak bisa ditetapkan upahnya. Tidak ada batasan target dalam akad ijarah, yang penting pokok bekerja dalam waktu yang sudah ditentukan maka ia berhak atas upah. Nah, termasuk akad apakah yang barusan kita sodorkan kriterianya itu?

 

Akad Musabaqah (Perlombaan)

Karena basisnya adalah ketepatan, kecepatan dan ketangkasan/keterampilan, yang semua itu hanya bisa didapat melalui latihan dan kebiasaan, maka akad semacam ini kemudian dikelompokkan dalam ruang tersendiri oleh para fuqaha. Akadnya disebut dengan istilah akad musabaqah.

 

Karena secara khusus, akad ini adalah serupa dengan akad ijarah, maka aplikasi akad ini juga diqiyaskan dengan akad ijarah. Alhasil, ada penyewa (musta’jir), ada yang disewa (ajir), ada objek sewa (ma’jur bih) dan ada kriteria pemenuhan pekerjaan (ma’jur lah).

 

Penyewanya adalah orang yang butuh untuk menguji ketepatan, kecepatan, dan ketangkasan yang dimilikinya dalam melakukan pekerjaan. Pihak yang disewa adalah orang yang memenuhi kriteria sama dengan penyewa. Upah sewa, dibatasi oleh ketentuan, apabila pihak yang disewa bisa mengalahkan penyewa dalam adu ketepatan, kecepatan dan ketangkasan tersebut, maka ia berhak untuk upah jerih payahnya. Upah ini kemudian dikenal dengan istilah hadiah (‘iwadl).

 

Yang penting untuk dicatat adalah bahwa pihak yang disewa, hanya dibutuhkan pekerjaannya. Sementara pihak penyewa harus menggajinya. Gaji yang bisa diserahkan oleh penyewa apabila pihak yang disewa memenuhi syarat mengalahkan ini adalah ibarat akad jual beli dengan syarat (bai’ bi syarthin). Namun, karena musabaqah adalah berangkat dari rumpun akad ijarah, maka akad ini juga bisa disebut sebagai ijarah bi syarthin, yaitu ijarah dengan syarath.

 

Musabaqah dengan Peserta Banyak serta Ketentuan Hadiahnya

Batas minimal akad musabaqah adalah bahwa ada pihak penyewa dan yang disewa. Bagi pihak penyewa, maka dia harus mengeluarkan iwadl (upah) yang kedudukannya menempati maqam ujrah (upah/gaji). Namun, gaji itu dibatasi dengan syarath bisa mengalahkan. Alhasil, pihak lawannya berlaku sebagai pihak yang tidak mengeluarkan upah (‘iwadl). Permasalahannya adalah bagaimana bila pesertanya terdiri dari beberapa orang. Siapa yang berhak untuk tidak mengeluarkan ‘iwadl (hadiah/upah/biaya pendaftaran?

 

Di sini, timbul tanda tanya besar di kalangan fuqaha’. Mengapa? Sebab, jika ‘iwadl (biaya pendaftaran/biaya yang disediakan untuk upah) itu diambil dari seluruh peserta lomba, maka lantas apa bedanya antara pihak yang menyewa dan yang disewa?

 

Ketiadaan pihak yang berlaku sebagai penyewa dan yang disewa, sementara objek akadnya adalah berupa ketepatan, kecepatan dan ketangkasan, maka menjadikan akad itu seolah berlaku sebagai transaksi gharar (tidak pasti dan untung-untungan). Mengapa? Sebab, ketepatan itu sifatnya adalah relatif. Demikian halnya dengan kecepatan dan ketangkasan. Dua-duanya adalah bersifat relatif. Ada kalanya tepat, adakalanya tidak. Adakalanya cepat, adakalanya lebih lambat. Alhasil, sifatnya adalah untung-untungan (gharar), hampir menyerupai dengan istilah bai’ munabadzah atau muhaqalah, yaitu praktik transaksi jual beli secara untung-untungan. Barang yang terkena lemparan, maka barang itu menjadi terbeli.

 

Akad munabadzah, dan muhaqalah ini, jika terdiri dari satu peserta, maka bisa dishahihkan dengan jalan khiyar. Namun, bagaimana dengan banyak peserta? Alhasil, muncul yang diistilahkan dengan irtikabu al-ghurur (berlipatgandanya ketidakpastian. Irtikabu al-ghurur, melahirkan adanya banyak pihak yang berlaku sebagai dirugikan sebab kehilangan hartanya/yughram (irtikabu al-dlurur). Namun, di satu sisi, syariat secara sah membolehkan adanya musabaqah.

 

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan inilah, maka kemudian lahir rumusan, bahwa harus ada salah satu pihak yang menempati maqamnya pihak yang disewa (ajir). Hal ini berangkat dari ketentuan, bahwa minimal akad musabaqah adalah pihak yang disewa, tidak dipungut biaya pendaftaran.

 

Alhasil, semua iwadl yang dikumpulkan dari seluruh peserta adalah seolah menempati maqamnya upah yang disiapkan oleh pihak penyewa, untuk pihak yang disewa, apabila pihak yang disewa itu mampu mengalahkan pihak yang penyewanya.

 

Kedudukan pihak yang disewa dan tidak dipungut biaya ini, selanjutnya dsebut sebagai muhallil, yaitu pihak yang direkrut dalam rangka menjadi penghalal atas ‘iwadl yang diperoleh dari seluruh peserta, minus muhallil. Alhasil, pihak ini yang berperan selaku penghilang illat gharar dalam perlombaan.

 

Nah, sudah jelas bukan, bedanya akad ijarah, ju’alah dan musabaqah? Tiga-tiganya, asalnya adalah dari rumpun akad ijarah. Dan ijarah merupakan rumpun dari akad jual beli. Alhasil, berbagai ketentuan yang berlaku dalam transaksi jual beli juga berlaku dalam musabaqah, yaitu tidak boleh adanya illat gharar, ghabn, jahalah, dan dlarar.

 

Persoaan yang sebelumnya pernah disampaikan oleh penulis: jadi ketika anda ditawari promo: “beli 2, maka gratis 1”, maka 1 itu termasuk buah relasi dari akad ijarah, ju’alah, ataukah musabaqah? Pertanyaannya kok jadi berkembang, ya? Mari terus belajar dan mengkaji fiqih muamalah! Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim