Syariah

Beberapa Kasus Legalisasi Judi oleh Pemerintah di Indonesia

Ahad, 1 November 2020 | 15:30 WIB

Beberapa Kasus Legalisasi Judi oleh Pemerintah di Indonesia

Dalam sejarah, sejumlah praktik perjudian di Tanah Air pernah mendapat legitimasi Negara dengan nama "sumbangan", "asuransi", atau semacamnya.

Dalam sebuah sesi program wawancara Kick Andy yang disiarkan Metro TV, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ditanya mengenai alasannya membubarkan Kementerian Sosial (saat itu bernama Departemen Sosial) di era yang beliau memimpin. Yang penulis ingat waktu itu, alasan beliau adalah karena kementerian tersebut merupakan kementerian terkorup.

 

Lalu Andy F Noya sang tuan rumah acara tersebut bertanya, “Bukankah untuk menangkap tikus, tidak perlu sampai membakar lumbungnya?”

 

Jawab beliau sederhana: “Memang. (Pembakaran itu dilakukan) sebab tikusnya sudah menguasai lumbung,” jawab Gus Dur disambut tepukan dan tawa dari penonton.

 

Demikianlah kesederhanaan beliau dalam berargumentasi. Gus Dur hendak meyakinkan bahwa setiap kebijakan yang ia terapkan bukanlah untuk mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ketika ia membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dalam bulan pertama menjabat sebagai presiden, itu karena kala itu ada persoalan akut menjangkiti kedua institusi negara tersebut yang nyaris tak bisa diselamatkan.

 

Sejarah pun perlahan menguak fakta-fakta itu. Di saat Kementerian Sosial dikomandani oleh Bachtiar Chamzah, maka dimulailah lagi sebuah program pelegalan judi nasional, yang menyerupai praktik SDSB yang sebelumnya telah dibubarkan. Namun, pelegalan judi di tahun 2003 ini diatasnamakan asuransi.

 

Jika dalam waktu 7 hari setelah penyerahan sebuah harta, orang tersebut tidak meninggal, maka uangnya masuk ke dalam dana bantuan sosial. Namun, jika selama 7 hari itu terjadi persoalan yang fatal berupa kematian pemilik asuransi, maka di situ pihak korban dapat memperoleh biaya santunan yang jumlahnya luar biasa besarnya.

 

Tak pelak lagi, program ini mendapat tentangan dari para ulama di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu model pelegalan judi secara nasional kembali. Dan akhirnya, program itu dinyatakan ditutup dan dibatalkan pada kisaran Nopember 2003, setelah sebelumnya dicanangkan pada kisaran Maret 2003. Padahal, pihak penyelenggara yang merupakan perusahaan swasta sudah siap melakukannya.

 

Pertanyaannya, mengapa Kementerian Sosial waktu itu nekad menerapkan program judi berselubung asuransi itu? Kiranya, apa yang dimaksudkan oleh Gus Dur secara tidak langsung adalah benar, bahwa kementerian tersebut sudah dikuasai oleh mental judi (kala itu).

 

Kita bersyukur, saat ini, sudah banyak kebijakan yang menopang pada dilarangnya judi. Namun, sayangnya belum sampai ke akar rumputnya dan belum sanggup menindak tegas inisiator dan pelakunya. Buktinya, lagi-lagi banyak platform judi dan money game masih marak beredar. Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih sekadar menyampaikan pengumuman waspada investasi.

 

 

Sementara itu, pihak Kepolisian Negara baru bisa bertindak setelah adanya laporan korban. Itu pun tidak bisa menyelesaikan masalah seluruhnya, yaitu kembalinya dana korban.

 

Coba sekarang Anda cari data, berapa kembalian dana korban kasus MeMiles, First Travel, dan sejenisnya? Bisa kembali sebesar 10% saja sudah untung, demikian lansir salah satu media nasional. Padahal, proses penyitaan seharusnya bisa dilakukan. Karena bagaimanapun, setiap kerugian masyarakat adalah wajib mendapatkan ganti rugi. Dalam bentuk apa? Minimal adalah dalam bentuk kembalinya dana.

 

Regulasi tentang Perjudian

Jika menilik sejarahnya, sebenarnya Indonesia sudah melarang segala bentuk perjudian dengan bekal UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Berdasarkan UU ini, secara tegas dinyatakan bahwa segala bentuk perjudian adalah dihapus karena bertentangan dengan agama dan moral Pancasila.

 

Namun, legalitas ini ternyata dapat disiasati dengan dalih undian berhadiah. Praktiknya menjual kupon undian dan diundi setelah 1 bulan sekali. Pihak penyelenggaranya ada yang dalam bentuk yayasan, yang dikenal dengan istilah Yayasan Rehabilitasi Sosial.

 

Di sisi yang lain, ada pemerintah daerah yang membuat program serupa dengan pemerintah pusat. Salah satu yang paling fenomenal dan hingga sekarang, gaungnya pun masih sayup-sayup terdengar, adalah Nasional Lotere (Nalo) yang diselenggarakan oleh Pemerintah DKI Jakarta di era Gubernur Ali Sadikin. Dasar yang digunakan oleh Ali Sadikin adalah UU Nomor 11 Tahun 1957 tentang Tanggung Jawab Pemerintah Daerah terhadap Daerahnya Sendiri.

 

Sejatinya Undang-Undang ini berhubungan erat dengan program Otonomi Daerah sebagaimana dewasa ini kita kenal. Namun, ternyata UU tersebut dipergunakan oleh Pemerintah DKI kala itu untuk melegalkan perjudian, yaitu Nalo. Dalam praktiknya, Nalo menjangkau peserta di luar wilayah DKI Jakarta.

 

Karena penerapan Pemerintah DKI ini, secara tidak langsung era Pemerintahan Presiden Soekarno sebagai yang tertuduh telah melegalkan perjudian. Padahal itu tidak terjadi. Yang ada, Presiden Soekarno justru pernah menerbitkan sebuah Surat Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa Lotere Buntut dan musik ngak-ngik-ngok sebagai yang dilarang, sebab merusak mental bangsa.

 

Namun, langkah Presiden Soekarno ini tidak mendapat sambutan kelanjutan oleh pemerintahan sesudahnya (Presiden Soeharto). Bahkan, meski sudah ada UU Nomor 7 Tahun 1974 yang menyatakan terlarangnya judi, pada zaman Orde Baru judi justru malah dilegalkan.

 

Alhasil, terjadi tabrakan antara kebijakan pemerintah dengan amanat UU yang saat itu juga diteken dan ditandatangani Presiden Soeharto. Apa buktinya?

 

Yayasan Rehabilitasi Sosial (YRS) sebagai penyelenggara undian berhadiah kala itu memang sempat ditutup. Namun, ternyata tahun 1978, yayasan itu bangkit lagi dan beralih nama menjadi Badan Usaha Undian Harapan dengan programnya yang fenomenal hingga sekarang, yaitu SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) atau Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB).

 

Pada kisaran tahun 1979, diluncurkan sebuah program Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) dengan identitas penyelenggaranya adalah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS).

 

Saking enaknya mendapatkan pemasukan dari masyarakat, pemerintah Orba kemudian menerbitkan program judi lainnya, yang dikenal sebagai Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan). Ladang subur bagi Porkas ini adalah sepakbola. Praktiknya dilakukan dengan menebak skor olahraga, yaitu menang - kalah - seri.

 

Untuk keperluan canggihnya program judi nasional kala itu, lagi-lagi Presiden Soeharto sampai mengirimkan Menteri Sosial agar melakukan studi banding praktik judi Lotere ke Inggris yang polanya kurang lebih sama dengan Porkas dan SDSB itu. Hasilnya terbit kebijakan judi nasional berupa Porkas di tahun 1985.

 

Anda yang sekolah di kisaran tahun ini, pasti masih ingat adanya pungutan Porkas ke peserta didik, bukan? Termasuk penulis sendiri, pernah ditarik iuran itu.

 

Aturan penyelenggaraannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang Undian dan diperkuat lagi oleh Keputusan Mensos Nomor BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985. Genap sudah judi nasional dilegalkan.

 

Bedanya dari program sebelumnya, SDSB setelah terbitnya aturan Mensos ini, berubah menjadi hitungan-hitungan yang rumit. Karena mendapat tentangan dengan gencar oleh umat Islam kala itu, maka pada tahun 1987, Porkas dinyatakan ditutup. Namun, tutupnya ini ternyata bukan tutup total, melainkan berganti nama menjadi KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah).

 

Puncak gelombang protes muncul di tahun 1993 yang membuahkan ditutupnya SDSB dan Porkas. Namun, apakah ini benar-benar ditutup? Ternyata tidak. Masih banyak riak-riak judi totohan gelap (togel) yang hingga kini pun masih dapat kita temui. Prinsipnya masih sama dengan SDSB dan KSOB. Sampai kemudian di tahun 2003, kementerian ini hendak bangkit lagi dengan program undian berhadiahh yang baru lagi.

 

Begitulah liku-liku legalitas perjudian di Indonesia. Jadi, jika kemudian ada pihak yang baru-baru ini menganjurkan dibukanya kembali program pelegalan judi dalam rangka bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat Covid-19, maka bisa ditelusuri bahwa orang tersebut pasti bagian dari era yang dianakemaskan oleh rezim terdahulu yang tercatat melegalkan judi akbar di kancah nasional.

 

Siapa dia? Silakan Anda cari sendiri! Hanya sampai di sini saja tanggung jawab penulis untuk menyampaikan informasi dan edukasi ke masyarakat tentang bahaya judi.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim.