Syariah

Bertahan di Era Disrupsi Teknologi

Sen, 17 Juni 2019 | 06:00 WIB

Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan disrupsi? Disrupsi merupakan suatu kondisi gangguan pasca-adanya perubahan yang mendasar sebagai akibat kemajuan zaman. Dulu kita mengenal yang namanya taxi Bluebird, Angguna, atau taxi lain. Mereka menerima order dengan jalan tatap muka langsung atau perusahaan tempat penyedianya dikontak oleh konsumen. 

Seiring hadirnya telepon pintar, proses pemesanan taxi menjadi berubah. Orang tidak lagi mencari tempat mangkalnya taxi atau ojek. Mereka lebih memilih memanfaatkan aplikasi GoJek, Grab, Uber atau semacamnya untuk melakukan pemesanan via online. Dampaknya, terjadi gangguan pada level konsumen taxi argo semacam Bluebird dan sejenisnya. Konsumen mereka menurun drastis. Jika tidak disikapi secara bijak, maka keberadaan taxi Bluebird dan taxi argo lainnya kelak hanya akan tinggal nama saja. Inilah gambaran dari disrupsi itu, yang merupakan risiko perkembangan teknologi. 

Dunia perbankan hari ini juga mengalami hal yang sama. Perkembangan fintech (financial technology) dan teknologi digital lainnya memungkinkan masyarakat bertransaksi dengan tidak lagi memanfaatkan peran perbankan. Mau membayar tiket kereta, tiket pesawat, atau bahkan hal yang bersifat harian, seperti kebutuhan konsumsi PDAM, listrik, dan tagihan-tagihan lain, masyarakat cenderung lari ke fintech. Dompet digital (e-wallet) menjadi suatu alternatif di masa mendatang bagi masyarakat untuk kebutuhan membuka rekening atau investasi. Dalam hal ini, perbankan mengalami sebuah masa, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, yaitu masa disrupsi. 

Pertelevisian dan dunia periklanan kelak juga akan mengalami hal yang sama. Jika sebelumnya pengiklan lebih memilih media TV nasional, di kemudian hari tren ini akan beralih ke dunia digital. Mereka lebih memilih Youtube, website, atau platform online lainnya untuk memasarkan dan mengiklankan produknya. Dunia TV dalam kondisi semacam ini juga bisa disebut sedang mengalami disrupsi. 

Apakah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Tim keuangan dan profesional pun juga bisa mengalami terdisrupsi manakala tidak mengembangkan keterampilan. Bahkan lembaga pendidikan atau pondok pesantren pun juga bisa terdisrupsi. Banyak kajian yang semula harus dilakukan dengan tatap muka, dapat beralih ke kajian via streaming di media-media sosial. Inilah ciri dari masa disrupsi. 

Masa disrupsi adalah masa lompatan dan perlu upaya penyelarasan dengan bijak. Tanpa upaya menyelaraskan, maka jangan heran bila kelak ada banyak lembaga keuangan, lembaga pendidikan, atau bahkan pondok pesantren, hanya tinggal nama. 

Penyelarasan utamanya harus dilakukan terhadap dampak kecerdasan artifisial (kecerdasan buatan), otomatisasi robot dan teknologi lainnya. E-money adalah merupakan bagian dari fakta terbaru. Penggunaan cryptocurrency (mata uang kripto) yang berbasis sandi (kriptografi) lambat laun akan dialami juga oleh masyarakat. 

Perlu diketahui bahwa Pemerintah pada tahun 2017 sudah mencanangkan sebuah hari pengurangan penggunaan mata uang konvensional. Pemerintah lewat Menteri Keuangan sudah mulai memberi warning kepada staf kementerian agar mulai merambah dunia sistem pembayaran non-tunai berbasis uang digital dan dompet digital (e-wallet). 

Perlu diketahui bahwa telah hadir sebuah laporan hasil penelitian yang dirilis oleh Chartered Institute of Management Accountants (CIMA). Riset ini mengabarkan bahwa mayoritas (lebih dari 50%) pemimpin keuangan global harus melakukan perubahan sikap secara signifikan selama tiga tahun ke depan terhitung sejak awal 2019 ini. Rekomendasi ini disampaikan dengan menimbang peran teknologi baru yang semakin bermunculan dan kelak dapat mengambil alih peran dan tugas-tugas tradisional. Keuntungan yang dijanjikan oleh pemanfaatan teknologi baru ini adalah bisnis menjadi lebih fokus pada penguatan dan penciptaan nilai melalui otomatisasi tugas yang berulang. Keahlian dalam bidang-bidang semacam analisis data keuangan, manajemen risiko, dan model bisnis, suatu saat bisa tergantikan oleh peran otomatisasi ini. Akibatnya, tindakan pengambilan keputusan akan berlangsung cepat. 

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh CIMA ini juga dilaporkan bahwa 61% profesional bidang keuangan yang disurvey berharap lebih dari 20% tugas keuangan agar diotomatisasi. Dari kesekian responden, 55% dari kalangan profesional ini mengaku sudah membaca peluang untuk menuju langkah otomatisasi itu. Itu artinya, beberapa bidang pekerjaan yang sebelumnya ditangani oleh personal dengan skill tradisional, ke depan akan digantikan oleh mesin otomatisasi itu. Dengan kata lain, personal skill tradisional tersebut sedang dalam posisi disrupsi. 

Coba bayangkan! Bank BCA dan Bank Mandiri saat ini sudah merilis program pembukaan rekening via Fintech. Berbekal smartphone, calon nasabah yang menghendaki pembukaan rekening, tidak lagi perlu antre dan datang ke bank untuk melakukan pembukaan itu. Mereka cukup mengakses smartphone, membuka situs Bank Mandiri atau BCA, lalu mengikuti prosedur pembukaan rekening, dan berbekal telekonferensi mereka melakukan dialog dengan petugas customer service masing-masing bank. Dalam hitungan menit, dengan cara itu, mereka sudah langsung bisa membuka rekening. 

Mereka hanya perlu datang ke kantor cabang bank terdekat apabila membutuhkan ATM. Berangkat dari fakta ini, kira-kira posisi apa yang sedang terdisrupsi? Ya, tepat. Jawabnya adalah posisi petugas bank yang menangani pembukaan rekening. Bagaimana agar mereka tetap bertahan dalam posisinya sebagai petugas perbankan? Sudah barang tentu, mereka harus mulai memikirkan skill dan keterampilan yang dimilikinya untuk beradaptasi dengan risiko kemajuan zaman. Bagaimana dengan anda? Wallahu a'lam bi al-shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua