Syariah

Bolehkah Jual Beli Uang Pecahan Rp75 Ribu?

Sen, 24 Agustus 2020 | 07:30 WIB

Bolehkah Jual Beli Uang Pecahan Rp75 Ribu?

Mata uang pecahan kertas 75 ribuan yang diterbitkan pemerintah nyatanya tak hanya sebagai alat tukar tapi juga komoditas yang diperjualbelikan. (Ilustrasi: bi.go.id)

Pada peringatan hari ulang tahun Indonesia yang ke-75, Bank Indonesia secara resmi menerbitkan uang  kertas pecahan dengan satuan 75 ribu rupiah, dalam edisi khusus (commemorative money). Maksud dari edisi khusus ini adalah bahwa mata uang tersebut tersedia dalam jumlah terbatas dan sengaja diterbitkan karena dianggap ada momen besar berskala nasional dan atau internasional yang diperingati.

 

Termasuk dalam konteks Indonesia, usia 75 tahun kemerdekaan ini dianggap sebagai momen spesial, sehingga memperingatinya merupakan bagian dari rasa syukur atas lepasnya nikmat berupa kemerdekaan itu. Dalam sejarah Islam, hal yang sama juga sering dilakukan. Kita sering mendengar istilah Tahun Gajah, yakni tahun saat tentara Abrahah yang mengendarai gajah menyerang kota Makkah dalam rangka hendak menghancurkan Ka’bah, namun dibalas secara kontan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan mengirimkan serombongan burung Ababil.

 

Kita juga sering mendengar istilah ‘Am al-Huzn (tahun dukacita), yang merupakan momen Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang  diliputi oleh kedukaan sebab beberapa peristiwa yang menerpa beliau dan generasi awal para sahabat di awal dakwah, yaitu: (1) beliau dan kaum muslimin sedang diboikot oleh kaum kafir Quraisy, (2) paman beliau (Abu Thalib) yang senantiasa melindungi beliau wafat di  tahun itu, dan (3) istri beliau tercinta (Sayyidah Khadijah) juga wafat.

 

Nah, penerbitan mata uang pecahan kertas (UPK) 75 ribuan itu, kiranya juga dimaksudkan menandai peristiwa yang kurang lebih sama maksudnya dengan hal-hal di atas, antara lain: (1) Indonesia sedang dilanda wabah Pandemi Covid-19 hingga menyebabkan terjadinya penurunan Gross Domestic Product (GDP) selama dua kuartal berturut-turut hingga mencapai minus 5%, yang berakibat pada ancaman resesi, (2) Indonesia sedang dalam situasi New Normal dalam rangka bertahan dari Covid-19 dan sekaligus menjaga perekonomian agar tetap melaju normal, dan (3) Indonesia sudah memasuki usia 75 tahun kemerdekaan.

 

Sudah 75 tahun merdeka, namun ketika diterpa Covid-19 selama dua kuartal, ternyata masih ada gejolak dalam ekonomi rumah tangganya, mengindikasikan bahwa perjuangan di bidang ekonomi masih jauh dari tujuan. Untuk itulah, maka dibutuhkan langkah taktis berupa modal persatuan (gotong royong) guna bangkit dari keterpurukan. Inilah momen yang penting untuk ditandai itu sehingga diputuskan penandaannya lewat UPK. Alhasil, UPK 75 ribu rupiah ini seolah sebagai prasasti, sehingga masuk dalam ranah “barang antik” (komoditas).

 

Masalahnya adalah komoditas ini adalah berupa uang, yang notabene berfungsi sebagai (a) alat tukar, (b) alat ukur nilai pertukaran, dan (c) alat pembayaran ganti rugi kerusakan. Dalam pengertian khusus, uang dalam bentuk commemorative money ini, tidak diterbitkan secara rutin sehingga berbeda dengan uang yang secara rutin dipergunakan sebagai media tukar. Artinya, commemorative money tidak diedarkan dalam jumlah yang banyak.

 

Berdasarkan situs resmi BI, uang ini bisa dipesan secara elektronik dengan batasan kepemilikan 1 KTP 1 uang commemorative. Dengan demikian, 1 WNI, hanya bisa memiliki 1 UPK 75 ribu.

 

Dan karena kepemilikan KTP hanya bisa dimiliki oleh penduduk dengan usia tertentu, maka dari kisaran 270 juta jiwa penduduk Indonesia, kurang lebih separuhnya saja yang bisa memesan uang tersebut, secara online lewat situs resmi BI, yaitu www.pintar.bi.go.id. Jika dari separuh penduduk itu hanya ada dalam kisaran 1%-nya saja yang peduli terhadap keberadaan UPK 75 ribu rupiah, maka hanya ada 1, 34 juta lembar UPK saja yang akan beredar. Alhasil, UPK tersebut tersedia dalam jumlah terbatas (limited edition /antik).

 

Persoalan fiqihnya: bolehkah mata uang antik tersebut dijualbelikan?

Misalnya, seperti yang beredar di sejumlah marketplace (Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak) baru-baru ini, sebuah akun menawarkan 1 lembar UPK 75 ribu ini dengan harga 1.375.000 rupiah.

 

Untuk menjawab permasalahan tersebut, kita bisa memandangnya dari dua kacamata. Pertama, UPK 75 ribu rupiah merupakan alat tukar resmi negara dan merupakan mata uang utama setelah mata UPK 100 ribu rupiah. Kedua, UPK 75 ribu rupiah merupakan barang antik dan menjadi bernilai di tangan para kolektor barang antik.

 

Kedua sudut pandang ini berangkat dari kaidah asal, sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullah yang menyatakan bahwa:

 

Pertama, uang merupakan ibarat hakim yang diciptakan dengan tujuan sebagai wasilah jual beli.

 

فَخَلَقَ الله تَعَالى الدَّنَانِيْرُ وَالدَّرَاهِمَ حَاكِمَيْنِ وَمُتَوَسِطِيْنَ بَيْنَ سَائِرِ الْأَمْوَالِ حَتَّى تَقدرُ الْأَمْوَالِ بِهِمَا

 

“Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta sehingga dengan keduanya semua harta bisa diukur” (Ihya Ulumuddin li al-Ghazali, juz 4, halaman 91).

 

Kedua, uang berfungsi sebagai unit penyimpan kekayaan

 

لأنهما عزيزان في أنفسهما ولا غرض في أعيانهما ونسبتهما إلى سائر الأحوال نسبة واحدة فمن ملكهما فكأنه ملك كل شيء لا كمن ملك ثوباً فإنه لم يملك إلا الثوب فلو احتاج إلى طعام ربما لم يرغب صاحب الطعام في الثوب لأن غرضه في دابة مثلاً فاحتيج إلى شيء وهو في صورته كأنه ليس بشيء وهو فى معناه

 

“Karena dinar dan dirham, keduanya dibutuhkan dari sisi dzatnya (fungsinya) dan bukan ditujukan dari sisi fisiknya (bahannya) sehingga kedudukan keduanya terhadap segala sesuatu adalah menduduki peran satu. Siapapun yang memilikinya, maka dia seolah memiliki segala sesuatu. Berbeda dengan orang yang memiliki baju, maka ia tidak memiliki sesuatu melainkan hanya baju saja. Jika suatu ketika dia butuh pada makanan, maka bisa jadi penjual makanan tidak membutuhkan baju yang hendak ditukar sebagai harganya. Bisa jadi yang dibutuhkan penjual adalah kendaraan (misalnya). Oleh karenanya, ia butuh untuk memiliki kendaraan itu berupa sesuatu yang lain yang bisa menyatakan cerminan dari harga kendaraan itu, sehingga seolah kedudukan barang cerminan tersebut bukan menempati barang. Inilah makna dari uang.” (Ihya Ulumuddin li al-Ghazali, Juz 4, halaman 91)

 

Ketiga, mendudukkan uang sebagai komoditas adalah sebuah tindakan kufur nikmat dan menahan peredarannya adalah sebuah kezaliman

 

وفيهما أيضاً حكم يطول ذكرها فكل من عمل فيهما عملاً لا يليق بالحكم بل يخالف الغرض المقصود بالحكم فقد كفر نعمة الله تعالى فِيهِمَا فَإِذَنْ مَنْ كَنَزَهُمَا فَقَدْ ظَلَمَهُمَا وَأَبْطَلَ الحكمة فيهما وكان كمن حبس حاكم المسلمين في سجن يمتنع عليه الحكم بسببه لأنه إذا كنز فقد ضيع الحكم ولا يحصل الغرض المقصود به

 

“Dan di dalam dinar dan dirham terdapat beberapa hikmah yang  lain yang bisa ditarik. Maka barang siapa yang menggunakan dinar-dirham dengan suatu penggunaan yang tidak sesuai dengan hikmah diciptakannya, bahkan bertentangan dengan hikmah diciptakannya tersebut, maka dia telah berlaku mengkufuri nikmat Allah ta’ala atas diciptakannya kedua mata ang itu. Oleh karenanya pula, barang siapa menyimpan keduanya, maka seolah telah berbuat zalim atasnya dan membatalkan hikmah penciptaannya. Ia seolah telah berlaku memenjarakan hakim orang-orang muslim dan bertindak seolah menghalangi lahirnya hukum dari hakim itu. Sama halnya dengan uang, sikap menahan peredarannya, adalah menyerupai tindakan menyia-nyiakan hikmah yang lahir darinya, sehingga tujuan dasar diciptakannya menjadi tidak berlaku” (Ihya Ulumuddin li al-Ghazali, Juz 4, halaman 91).

 

Jika menyimak dari keterangan Imam Al-Ghazali ini, maka kedudukan dari commemorative money, pada dasarnya bisa dipandang sebagai 2, yaitu:

 

  1. Commemorative money adalah tidak menempati derajat uang 

Alasannya, sebab uang diciptakan dengan tujuan dasar yaitu sebagai wasilah pertukaran dan berlaku umum sebagai media pertukaran. Oleh karenanya, jika memang diterbitkan sebagai media tukar, semestinya uang itu juga diedarkan tanpa adanya batasan (limited edition) sehingga mengharuskan warga yang ingin memilikinya harus melakukan pemesanan terlebih dulu.

 

Dalam fiqih Syafiiyah, setiap barang yang  bisa dipesan (salam), menandakan barang tersebut adalah menduduki derajat ‘urudl (komoditas). Oleh karenanya, barang itu menduduki maqam komoditas. Dan setiap komoditas adalah bisa dijualbelikan. Dengan demikian, hukum pertukaran UPK 75 ribu dengan uang senilai 1.375 ribu rupiah (misalnya), adalah diperbolehkan, sebab pertukaran itu bukan termasuk pertukaran barang ribawi.

 

  1. Commemorative money adalah menempati derajat  uang 

Penetapan oleh Menteri Keuangan dan Gubernur BI bahwa UPK 75 ribu rupiah merupakan dari mata uang resmi negara yang  diedarkan dan berfungsi sebagai alat tukar, maka dapat berbuntut pada 2 hukum secara fiqih, yaitu:

 

  1. Tindakan pemerintah yang menyatakan bahwa UPK 75 ribu sebagai limited edition dan berlaku sebagai alat tukar, adalah merupakan bagian dari salah satu bentuk kufur nikmat sebab illat kanzun (penahanan). Semestinya, uang itu diedarkan secara umum ke masyarakat, tanpa melalui akad pemesanan (salam) lewat BI, dan sejenisnya, sebab penahanannya dari peredaran secara umum, secara tidak langsung menerjang terhadap hikmah uang sebagai alat tukar.
  2. Jika UPK 75 ribu rupiah didudukkan derajatnya sebagai uang dan menempati derajat uang kertas utama (awraq al-maliyah), maka menjadikan UPK tersebut merupakanbarang ribawi. Setiap pertukaran barang ribawi yang sejenis, dan terdiri atas sama-sama uang kertasnya, maka wajib berlaku ketentuan, yaitu: wajibnya sama nilai (tamatsul), diketahui waktu penyerahannya (hulul), dan bisa diserahterimakan (taqabudl). Oleh karenanya, menjual uang 75 ribu rupiah dengan harga 1.375 ribu rupiah, adalah termasuk kategori riba fadhli,  sehingga haram.

 

Berangkat  dari beberapa illat yang melatarbelakangi terbitnya uang commemorative money di atas, maka dalam hemat penulis, UPK 75 ribu rupiah adalah bukan barang ribawi dengan alasan:

 

  1. Uang itu bisa dimiliki dengan cara dipesan, oleh karenanya ia diciptakan dengan gharadl (tujuan) yang lebih kuat sebagai ‘urudl (komoditas), dan bukan sebagai media tukar.
  2. Jumlah  peredarannya terbatas, dengan disekat oleh momen sehingga masyarakat butuh usaha (kulfah) untuk mendapatkannya. Setiap barang yang diperoleh dengan usaha, mendudukkan barang itu menempati  derajat urudl atau barang jasa, sehingga berhak atas ujrah (upah) atau ‘iwadl (ganti jerih payah) atas jasa mendapatkannya.
     

Wallahu a’lam bish shawab

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur