Syariah

Cashback bagi Konsumen Paylater, Apakah Buah dari Relasi Utang?

Sab, 9 Januari 2021 | 16:00 WIB

Cashback bagi Konsumen Paylater, Apakah Buah dari Relasi Utang?

Cashback memiliki kaitan dengan belanja yang uangnya berasal utang lewat paylater

Paylater merupakan aplikasi kartu kredit online, sebagaimana yang pernah penulis bahas beberapa waktu yang lalu. Penulis menyertakan ada 4 klasifikasi hukum yang berlaku atas paylater ini. Pembaca bisa menyimaknya pada tulisan terdahulu berjudul Kartu Kredit Online atau paylater menurut Hukum Islam. Solusi yang ditawarkan ditulisan ini adalah mengambil solusi tengah-tengah, yaitu jika dalam kondisi terdesak maka boleh saja menggunakan paylater dengan niat keluar dari perselisihan pendapat yang berlaku atas hukum paylater.

 

Permasalahan lain yang timbul akibat penggunaan paylater, sebagaimana beberapa pesan yang masuk ke dalam akun media sosial penulis, adalah, bagaimana dengan cashback yang didapatkan dari penggunaan paylater ini? Bukankah paylater itu basisnya akad utang? Sementara cashback itu memiliki kaitan dengan belanja yang uangnya juga berasal utang lewat paylater?

 

Dalam hal ini, penulis akan coba mengurainya berdasar pendekatan fiqih. Tujuannya, supaya kita tidak salah dalam menempatkan hukum terkait dengan paylater dan cashback ini.

 

Sifat Umum Paylater dan Cashback

Ada beberapa sifat umum paylater dan cashback yang dikenal oleh masyarakat, yaitu:

  1. Cashback diberikan kepada konsumen karena relasi belanja di suatu marketplace.
  2. Paylater adalah kartu kredit online
  3. Penggunaan paylater hanya berlaku untuk melakukan perbelanjaan di marketplace penerbitmya, atau di tempat yang menjalin kerja sama pemasaran dengan marketplace penerbit paylater
  4. Saat belanja terjadi, ada dua relasi yang berlangsung dan berlaku bagi konsumen paylater, yaitu (a) ada tipe paylater yang menggambarkan relasi antara konsumen dan pelapak, misalnya Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak, dan (b) ada paylater yang mengesankan relasinya berlaku antara konsumen paylater dengan marketplace. Misalnya Traveloka.

 

Gambaran lebih lanjut terhadap empat indikator di atas dalam transaksi paylater, adalah sebagaimana tertuang dalam ilustrasi berikut ini:

 

Ilustrasi pertama:

Seolah telah berlaku dialog antara pihak marketplace penerbit paylater dengan konsumen paylater sebagai berikut: “Kamu saya berikan utang sebesar 1 juta rupiah, silakan pergunakan belanja di marketplace kami. Dari situ saya akan mendapatkan keuntungan dari aksi belanjamu. Dan kamu juga tetap mendapat hakmu sebagai pihak yang berbelanja, sebagaimana orang lain yang berbelanja di lapak kami. Jikapun ada promo cashback, dan kamu mendapatkan voucher cashback, maka kamu juga tetap mendapat hakmu.”

 

Alhasil, sekilas jika kita perhatikan ilustrasi dalam dialog di atas, kita menangkap bahwa seolah telah terjadi prakktik bai’ tawarruq, di mana seseorang membutuhkan barang, lalu diberi uang agar membeli barang, dan ternyata membelinya juga di tempat pihak yang memberi utang. Jadi, berangkat dari sini, pihak yang memberi utang mendapat leluasa dalam mengambil keuntungan lewat transaksi jual beli yang telah dilakukan oleh konsumen.

 

Ilustrasi kedua:

Ada ilustrasi berbeda, yaitu terjadi pada kasus paylater yang mana pihak marketplace berperan selaku dlamin al-dain fi a-dzimmah, yaitu penjamin utang konsumen untuk barang yang dibeli lewat akad salam.

 

Ilustrasi dari dialog itu adalah sebagai berikut: “Kamu mau berbelanja apa saja? Tunjukkan daftarnya kemari, biar kami uruskan dan kirimkan barangnya ke alamatmu. Selanjutnya kamu beli barang-barang tersebut ke kami. Semua hak-hak belanja yang berupa cashback, semuanya tetap menjadi milik kamu. Saya hanya mengambil keuntungan karena telah menjadi wakilmu. Upah yang saya minta adalah 10% untuk tiap-tiap 1 juta.

 

Analisis Tipe Paylater dan Pengaruhnya pada Transaksi Konsumen

Dua kasus di atas mewakili tipe paylater yang beredar selama ini dalam dunia daring. Alhasil, karena perbedaan tipe ini, maka berbeda pula dalam pembacaannya (istiqra’ hukumnya). Selengkapnya, simak ulasan per kasus berikut!

 

Kasus Paylater Pertama

Berangkat dari dialog pertama, seolah telah terjadi akad bai’ tawarruq. Untuk bai’ tawarruq, para fuqaha dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, sepakat bahwa akad tawarruq adalah dibolehkan. Namun, menurut kalangan Syafiiyah, akad tawarruq merupakan bagian dari hilah muharramah (rekayasa akad) dalam menghindari utang menarik kemanfaatan.

 

Akan tetapi, benarkah bahwa telah terjadi bai’ tawarruq, maka kita perlu melihat rincian akad sebagamana hal ini merupakan ciri utama dari para fuqaha’ kalangan Syafi’iyah.

 

Sebuah catatan, bahwa selagi memungkinkan untuk bisa memerinci adanya dua akad yang seolah tergabung menjadi satu itu (akad murakkab) dilakukan, maka perincian akad (tafriq al-shafqah), menempati derajat yang penting dalam mazhab Syafii. Bisanya akad ganda itu dirinci, dan dipisahkan antara satu sama lain sehingga berdiri bebas (mustaqil), maka akad itu bukan termasuk akad ganda yang dilarang.

 

Batasan (dlabith) suatu akad disebut saling lepas dari akad lain (mustaqil), adalah bila terjadi penguasaan sempurna yang ditandai dengan perbuatan (qabdlu bi al-fi’li) dalam setiap akadnya. Dengan adanya penguasaan ini, maka segala risiko berkaitan dengan penggunaan harta, menjadi tanggung jawab individu pengguna masing-masing.

 

Kasus Paylater Kedua

Adapun dalam ilustrasi sebagaimana dalam dialog kedua, sekilas tergambar bahwa pihak yang terlibat dalam transaksi secara langsung adalah marketplace dengan konsumen.

 

Akad yang berlaku adalah akad wakalah. Pihak marketplace berlaku sebagai pemberi utangan (muqridl) kepada konsumen, dan sekaligus bertindak sebagai wakil (wakil amin). Selaku wakil, maka pihak marketplace juga berperan selaku penjamin (dlamin) bagi ditunaikannya harga oleh konsumen. Tiga peran yang dimainkan sekaligus oleh pihak marketplace.

 

Selanjutnya marketplace bertugas mengirim barang yang dibutuhkan oleh konsumen, dan ia mendapat ujrah untuk transaksinya sebesar 10%, untuk volume belanja per jutanya. Nah, ujrah yang ditetapkan berdasar akad ju’alah inilah yang bermasalah. Mengapa? Sebab seolah berlaku sebagai utang menarik kemanfaatan.

 

Keterkaitan Cashback terhadap Paylater serta Efek Hukumnya

Untuk menemukan adakah relasi antara cashback dengan paylater, maka kita perlu melakukan klalsifikasi berbekal 2 uraian kasus di atas. Mengapa? Sebab kedua kasus paylater di atas memiliki model yang berbeda antara satu sama lain

 

Cashback pada Kasus Paylater Pertama

Jika diteliti lebih jauh, pada kasus 1, relasi yang terjalin adalah relasi antara konsumen dan platform penerbit paylater. Lewat relasi ini, memang tidak diragukan lagi adalah dikukuhkan (mustahkam) sebagai relasi akad utang antara muqridl (pihak yang mengutangi) dan qaridl (pihak yang berutang). Riba terjadi, bila pihak qaridl (konsumen) disyaratkan memberikan manfaat kepada muqridl (marketplace).

 

Sementara itu, cashback diberikan oleh pihak marketplace selaku muqridl (pihak yang mengutangi) kepada konsumen (qaridl). Berangkat dari sini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cashback tidak bisa disebut sebagai manfaatnya utang. Mengapa? Sebab menselisihi kaidah riba itu sendiri sebagai jara manfaatan li al-muqridl (memberikan kemanfaatan utang kepada pihak yang mengutangi) .

 

Saat pihak konsumen telah mendapatkan uang yang akan digunakan untuk berbelanja, ia selanjutnya melakukan aksi belanja ke lapak (penjual) yang terdapat di dalam marketplace. Dari aksi belanja ini, ia mendapatkan cashback.

 

Bisanya konsumen membelanjakan harta utangan lewat paylater ini menjadi indikasi (madhinnah) bahwa telah terjadi penguasaan (qabdlu bi al-fi’li) atas harta yang diutangkan kepadanya.

 

Alhasil, cashback yang didapatkan olehnya dari mendapatkan Voucher tersebut, merupakan imbas langsung dari promo belanja, sehingga benar-benar terpisah dari akad utang sebelumnya, yakni lewat paylater.

 

Akibat keterpisahan akad antara paylater dengan cashback ini, maka masing-masing akad berdiri sendiri-sendiri (mustaqil), dan tidak saling menegasikan atau bertentangan.

 

Sebagai bukti penguat (murajjih), adalah ketika konsumen berbelanja tanpa menggunakan paylater, ia juga mendapatkan cashback dari aksi belanja. Alhasil, berlaku kaidah: “al-ma’rufu ‘urfan ka al-masyruthi syarthan” (sesuatu yang sudah rutin dilakukan, dapat berlaku sebagai syarat bagi sesuatu yang tekait).

 

cashback sudah dikenal (ma’ruf) sebagai akibat relasi belanja (urf) dan bukan sebagai akibat relasi utang. Dengan demkian untuk kasus pertama, status hukum cashback ditengarai sebagai bukan manfaat utang, sebab sudah ma’ruf (umum dikenal) sebagai relasi belanjanya.

 

Jadi, jika seseorang berbelanja, maka ia dapat cashback. Ketiadaan belanja, tidak mendapat cashback. Alhasil, cashback bukan termasuk bagian dari syarat dari manfaat utang (paylater) yang diberikan kepada muqridl sehingga tidak berstatus sebagai riba al-qardli.

 

Cashback pada Kasus Paylater Kedua

Di dalam kasus kedua, relasi itu sama sekali berbeda dengan kasus pertama. Relasi yang terjadi antara marketplace (muqridl) dengan konsumen (qaridl) merupakan relasi yang bersifat langsung.

Alhasil, antara belanjanya konsumen, dengan mengutanginya marketplace kepada konsumen, menjadi akad yang tidak bisa dipisahkan. Akad ganda yang terjadi adalah seolah berlaku sebagai dua akad yang terpisah, padahal ujungnya hanyalah satu akad.

 

Jadi, di dalam akad kedua itu seolah berlaku akad bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang) yang dilarang oleh syara’. Ujrah dan ju’lu, seolah berlaku sebagai ribhun atau laba.

 

Jika diumpamakan bahwa utang itu terjadi sebesar 1 juta rupiah, namun sampainya kepada konsumen juga sebesar 1 juta rupiah, ditambah dengan ujrah atau ju’lu sebesar 200 ribu (misalnya), maka akad sebagaimana rangkaian ini seolah bisa dibaca sebagai akad utang 1 juta rupiah, kemudian dibeli oleh konsumen dengan utang sebesar 1.2 juta rupiah. Walhasil, telah terjadi riba qardli.

 

Jadi, apakah cashback memiliki korelasi dengan paylater?

 

Berdasarkan hasil kajian terhadap 2 kasus di atas, kita dapat mengetahui bahwa tidak ada relasi antara cashback dengan akad utang lewat aplikasi paylater. Baik pada kasus pertama maupun kasus kedua. Cashback merupakan sama-sama lahir dari buah relasi akad belanja.

 

Dengan demikian, unsur keharaman transaksi paylater sebagaimana tergambar pada kasus kedua, adalah semata karena alasan adanya illat riba. Riba terjadi karena pihak marketplace berlaku sebagai pihak yang mengambil keuntungan lewat jual beli barang pesanan sebelum diterimanya barang tersebut oleh konsumen (qabdlu bi al-fi'li). Keuntungan itu diatasnamakan sebagai ujrah lewat akad jualah (volume penjualan).

 

Ketiadaan riba menjadikannya boleh dipraktikkan. Caranya: barangnya harus diserahkan dulu kepada konsumen. Selanjutnya pihak konsumen memberikam upah bagi marketplace atas jasanya selaku makelar atau wakil dari konsumen paylater.

 

Istilah lain yang tepat untuk menggambarkam kasus kedua, adalah illat riba timbul disebabkan oleh transaksi jual beli utang dengan utang. Keberadaan utang konsumen di awal, dengan utang konsumen saat diterimanya barang, menjadi berbeda. Perbedaan ini seolah mengisyaratkan telah terjadi praktik jual beli antara “nominal utang lama” dengan “nominal utang baru”. Akad yang memiliki pola semacam ini merupakan yang haram disebabkan memenuhi kaidah riba qardli atau juga riba al-yad, yaitu riba sebab jual beli tempo. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim