Syariah

Dalam Fiqih Muamalah, Akad Dasar Jual Beli Tidak Berorientasi ke Laba

Sel, 29 Juni 2021 | 06:15 WIB

Dalam Fiqih Muamalah, Akad Dasar Jual Beli Tidak Berorientasi ke Laba

Di dalam Islam, jual beli termasuk bagian dari akad amanah. Amanah yang dimaksud di sini adalah amanat pertukaran (mu’awadhah).

Para ulama bersepakat, bahwa akad jual beli merupakan bagian dari akad amanah. Di dalam akad amanah, meniscayakan seorang penjual memberitahukan harga kulak dan besaran keuntungan yang maklum dia ambil kepada pembelinya. Misalnya seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: “Saya membeli barang ini seharga 100 ribu rupiah. Aku jual kepadamu dengan harga Rp.110 ribu.” Dengan demikian, selisih sebesar  Rp.10 ribu adalah laba (ribhun) yang sifatnya ma’lum. 


Ta’rif Laba 

Laba dalam fiqih sering disampaikan dengan istilah ribhun. Dalam akad tijarah (akuntansi perniagaan), besaran laba diketahui dengan menjumlahkan sisi debet dikurangi dengan sisi kredit, sehingga dihasilkan saldo kas. Jadi, saldo kas yang positif, adalah termasuk laba. 


Di dalam sebuah lembaga/organisasi, laba juga dapat diketahui dengan cara yang sama ketika menghitung saldo kas tijarah, yaitu sisi debet dikurangi sisi kredit. Di dalam akad jual beli, laba diketahui dengan jalan mengurangi harga jual dengan harga kulak. Dengan mengetahui harga jual dan harga kulak, maka bisa dibandingkan selisih antara pemasukan dengan pengeluaran. Selisih itu selanjutnya dimaknai sebagai laba.


Uslub Laba

Di dalam Islam, jual beli termasuk bagian dari akad amanah. Amanah yang dimaksud di sini adalah amanat pertukaran (mu’awadhah). Ilustrasi dari sikap “amanah” itu adalah bila diserahkan A, maka yang disampaikan juga harus A. Bila harga kulaknya 100 ribu rupiah, maka penjual harus memberitahukan bahwa harga kulak adalah sebesar 100 ribu rupiah. Akad semacam inilah, yang kemudian dikenal sebagai akad amanah. 


Akad jual beli dengan praktik menjual barang secara sama antara harga kulak dengan harga jual seperti ini dikenal dengan istilah akad bai’ tauliyah. Dan akad ini merupakan inti dasar dari ajaran transaksi jual beli dalam Islam. 


Lalu Bagaimana dengan Laba? 

Menjual barang dengan harga jual sama dengan harga kulak, sudah pasti akan menghasilkan nilai impas (musawah). Impas merupakan soko guru dari akad pertukaran (mu’awadhah). Anda bisa lihat lagi, bagaimana barter barang ribawi sejenis sebagai yang ditetapkan kebolehannya. Tiga syarat dasar sebagai yang tidak boleh dilanggar adalah wajibnya tamatsul (sepadan), taqabudl (saling serah) dan hulul (tunai hingga masa hulul al-ajal). 


Kelebihan yang terjadi pada salah satu barang ribawi yang ditukar, menandakan adanya illat keharaman. Ada dua jenis illat keharaman tersebut, yaitu: 


• karena adanya praktik riba, dan 


• unsur memakan harta orang lain secara batil (zhalim). 


Sebagai ilustrasi, beras 1 kg ditukar dengan beras 1,5 kg. Kelebihan sebesar 0,5 kg ini merupakan yang haram karena memenuhi illat riba. Kelebihan ini juga bisa dibaca sebagai perilaku kedhaliman disebabkan karena kelebihan seberat 0,5 kg ini tidak memiliki padanan nilai tukar. Untuk yang 1 kg, dipandang ada nilai gantinya, yaitu 1 kg beras. Adapun yang setengah kg, tidak ada bahan yang digunakan untuk mengganti, bukan? 


Tidak sepadan semacam ini, menandakan adanya unsur menyimpang dari prinsip amanah yang merupakan soko guru akad pertukaran (barter/bai’). Penyimpangan terhadap amanah adalah yang dicegah oleh syara’ disebabkan karena menyimpan makna memakan harta orang lain secara batil.


Prinsip Pokok Pertukaran: Setiap Penguasaan Harta dari Pihak Lain, meniscayakan adanya  Ganti (‘Iwadh)


Seorang pebisnis pastilah menghendaki adanya laba dari hasil bisnisnya. Laba sering digambarkan sebagai nilai lebih dari harga kulak. Nilai ini, tidak memiliki padanan (mitsil), sebab proporsinya berada di luar harga yang asli dari jual beli amanah. Untuk itulah, maka laba dalam konteks ini sudah pasti menghendaki penetapannya sebagai yang memiliki ganti (‘iwadl) agar terhindar dari illat kelebihan pertukaran yang merupakan ciri khas dari riba al-fadlly. Lantas berdasarkan apa, laba tersebut hendak distandarkan? 


Ketika seorang pedagang mendatangkan barang, pihak pedagang sudah pasti membutuhkan biaya atau jerih payah/keringat yang harus diganti oleh pihak yang menjadi konsumennya. Selain itu, pihak pedagang juga membutuhkan tempat penyimpanan yang merupakan kelaziman untuk diganti oleh konsumen, bila terjadi transaksi bai’ amanah. Ganti dari semua biaya-biaya ini dikenal dengan istilah arsyun (tambel / ganti rugi). Dari sinilah, pihak pedagang menetapkan unit laba yang dikehendakinya. 


Sebagai biaya yang harus diganti konsumen, maka besaran biaya tersebut menghendaki kemaklumannya (diketahui nominalnya) agar sah dalam transaksi. Biaya ini selanjutnya disebut sebagai laba (ribhun). 


Dengan demikian, dalam bai’ amanah, adanya ketentuan yang mengikat dalam prosedurnya berupa kemakluman harga kulak ditambah laba yang ma’lum, pada dasarnya adalah sama dengan kewajiban pembeli dalam mengganti harga kulak barang, ditambah biaya mendatangkannya. Alhasil, laba memiliki nilai nominal pengganti (‘iwadh) sehingga tidak lagi dipandang sebagai usaha memakan harta orang lain secara batil. 


Berangkat dari bagaimana laba itu ditetapkan dalam bai’ amanah, maka dari itu pula kita tidak heran jika kemudian bai’ amanah itu dibagi menjadi 4 praktik, yaitu:


Pertama, bai’ amanah adalah mengikuti akad tauliyah. Akad tauliyah dicirikan oleh keberadaan harga kulak sama dengan harga jual. Dan ini merupakan soko guru dari bai’ amanah itu sendiri. 


Kedua, bai’ amanah dilakukan dengan akad murabahah. Akad murabahah dicirikan oleh harga jual terdiri atas komponen harga kulak ditambah laba yang maklum. Laba yang maklum merupakan istilah lain dari ujrah/biaya yang maklum. Perhatikan penjelasan di atas kembali. 


Ketiga, bai’ amanah dilakukan dengan akad khasarah. Akad khasarah dicirikan oleh harga jual lebih rendah dari harga kulak. Contoh, “Pesawat handphone ini dulu aku beli seharga 2,4 juta. Karena sudah aku gunakan selama 3 bulan, aku jual ke kamu dengan harga 2 juta saja.” Penurunan harga sebesar 400 ribu, merupakan arsyun (ganti rugi) yang d. iberikan kepada pembeli disebabkan pesawat handphone yang dijual sudah pernah dipakai. Seolah, 400 ribu ini juga bisa disebut sebagai biaya sewa handphone oleh penjual. 


Keempat, bai amanah dilakukan dengan akad wadli’ah. Ciri utama dari bai’ wadli’ah ini adalah : a) harga jual terkadang sama dengan harga kulak, atau bisa juga b) harganya lebih rendah dari harga kulak. Akad ini sering digunakan untuk keperluan pelaksanaan program cuci gudang/banting harga. Jika harganya sama antara kulak dengan jual, maka disebut akad bai’ musawah/bai’ tauliyah. Jika harga jual lebih rendah dari harga mendatangkan, maka bisa masuk komponen bai’ khasarah. Wallahu a’lam bish shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim