Syariah

Data Pribadi Bocor di Tangan Penyedia Layanan Digital, Bagaimana Hukum Islam Memandang?

Jum, 9 September 2022 | 21:45 WIB

Data Pribadi Bocor di Tangan Penyedia Layanan Digital, Bagaimana Hukum Islam Memandang?

Kasus kebocoran data pribadi masih menjadi masalah yang membuat waswas banyak orang.

Fenomena kebocoran data pribadi seolah menjadi masalah yang tak kunjung usai di Indonesia. Akun yang dibuat warga di sejumlah platform digital nyatanya masih saja terjadi, baik platform itu milik negara maupun perusahaan swasta. Apa sesungguhnya tanggung jawab para penyedia layanan digital tersebut atas data pribadi orang-orang yang mempercayakan privasinya kepada mereka? Bagamana hukum Islam melihat ini?

 

Akun (account) secara bahasa artinya adalah rekening. Membaca istilah rekening, kita mungkin langsung terpikirkan dengan rekening bank dan rekening listrik. Ya, akun memang memiliki fungsi yang sama dengan rekening bank.

 

Dengan akun, seseorang bisa melakukan transaksi dengan pihak lain. Karenanya, rekening juga menyimpan informasi seputar data pribadi dan transaksi pribadi. Alhasil, rekening adalah instrumen (wasilah). Selaku wasilah, rekening/akun adalah harta disebabkan karena status manfaat yang dimilikinya.

 

المَنفَعَةُ…..كُل ما يُنْتَفَعُ بِهِ

 

Artinya: “Jasa itu adalah …. segala hal yang bisa diambil manfaatnya” (Majmu’atu al-Muallifin, al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Kuwat: Dar al-Salasil, 1427 H, juz 39: 101).

 

Secara fiqih dan menurut pengertian umum yang sering dipakai, yang dimaksud dengan manfaat (jasa) adalah:

 

والمَنفَعَةُ فِي الاِصْطِلاَحِ هِيَ: الفائِدَةُ الَّتِي تَحْصُل بِاسْتِعْمال العَيْنِ فَكَما أنَّ المَنفَعَةَ تُسْتَحْصَل مِنَ الدّارِ بِسُكْناها تُسْتَحْصَل مِنَ الدّابَّةِ بِرُكُوبِها

 

Artinya: “Secara istilah, yang dimaksud dengan manfaat adalah faedah yang timbul akibat penggunaan barang (‘ain).” (Majmu’atu al-Muallifin, al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Kuwat: Dar al-Salasil, 1427 H, juz 39: 101).

 

Namun, Syekh Sya’rawi (w. 1418 H) memberi penegasan lebih lanjut bahwa yang dinamakan manfaat itu tidak harus timbul akibat pemanfaatan fisik semata, melainkan lebih umum lagi. Manfaat yang timbul akibat pemanfaatan material fisik atau nonfisik ini secara umum dilabelinya sebagai rezeki.

ما هو الرزق؟ الرزق عند القوم: هو كل ما ينتفع به؛ فكل شيء تنتفع به هو رزق

 

Artinya: “Apa itu rezeki? Rezeki menurut masyarakat pada umumnya adalah segala bentuk pengambilan manfaat. Karenanya, segala sesuatu yang bisa diambil manfaatnya maka ia adalah rezeki” (Syekh Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, Kairo: Mathabi’ Akhbar al-Yaum, tt., juz 2: 900).

Mengacu pada penjelasan Syekh Sya’rawi (w. 1418 H) ini maka akun dalam dunia teknologi digital, dapat disebut sebagai rezeki. Dan jika data yang melandasi akun itu bisa dihadirkan dalam bentuk fisik, maka akun bisa disebut juga sebagai harta manfaat/jasa alias aset, lebih spesifik dari rezeki.

 

Apakah Provider Berhak atas Data Pribadi Penggunanya?

Kedudukan data pribadi di balik sebuah akun di tangan penyedia layanan (provider) adalah harta amanah milik pihak lain. Artinya, status provider adalah penjaga amanah (al-khazin) dan ia bukan pemilik.

 

Terkait kedudukan al-khazin, Rasulullah saw menggambarkan sebagai berikut:

 

الخازِنُ الأمِينُ الَّذِي يُؤَدِّي ما أُمِرَ بِهِ طَيِّبَة نَفْسه أحَد المُتَصَدِّقَيْنِ

 

Artinya: “Penjaga yang amanah adalah pihak yang menunaikan sesuatu sesuai dengan apa yang diperintahkan padanya dengan baiknya jiwa dan muncul dari salah satu pihak yang saling percaya” (al-Qasthalany, Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, Kairo: Mathba’at al-Kubra al-Amiriyyah, tt., juz 4: 126).

 

Berangkat dari sini, selanjutnya apabila terjadi kebocoran data pribadi, maka hal itu senantiasa dikaitkan dengan kasus penyalahgunaan amanah oleh pihak penjaga harta amanah.

 

Bagaimana kedudukan data pribadi itu dipandang dari sisi provider?

Berikut ini adalah penjelasan dari para ulama yang dinukil oleh Imam al-Qasthalani saat mensyarahi hadits di atas.

 

Pertama, menurut Imam Al-Safaqasi, data pribadi adalah harta pemilik akun. Pihak provider tidak ikut memilikinya. Oleh karena itu, pihak provider tidak berhak untuk menjualnya atau membocorkannya.

بأن الخازن لا شيء له في المال وإنما هو أجير

 

Artinya: “Sesungguhnya al-Khazin tidak memiliki sesuatu apapun terhadap harta yang dijaga. Ia hanya seorang yang disewa.” (al-Qasthalany, Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, Kairo: Mathba’at al-Kubra al-Amiriyyah, tt., juz 4: 126).

 

Kedua, menurut al-Kurmani, provider hanya bertugas sebagai pihak yang diupah oleh pemilik akun. Dia hanya berhak atas jasa penjagaannya dan tidak berhak atas aset berupa data pribadi pengguna, sehingga terlarang membocorkannya atau mengeksposnya.

 

وقال الكرماني: أشار إلى أن خازن مال الغير كالأجير لصاحب المال

 

Artinya: “Imam al-Kurmani berkata: Hadits itu memberi isyarat bahwa pihak yang menjaga harta pihak lain berposisi sebagai pihak yang disewa oleh pemilik harta” (al-Qasthalani, Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, Kairo: Mathba’at al-Kubra al-Amiriyyah, tt., juz 4: 126)

 

Ketiga, menurut perspektif Ibnu Bathal, tugas provider adalah menjaga dengan sebaik-baiknya data pribadi konsumennya. Ia tidak menanggung ganti rugi atas kebocoran data yang terjadi bila hal itu bukan karena keteledoran yang dilakukannya.

 

من استؤجر على شيء فهو أمين فيه ولا ضمان عليه فيه إن لم يفرط

 

Artinya: “Seseorang yang disewa untuk sesuatu hal berstatus sebagai penerima amanah dalam hal itu. Ia tidak menanggung ganti rugi (atas suatu kerugian) selama tidak melakukan keteledoran” (al-Qasthalani, Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, Kairo: Mathba’at al-Kubra al-Amiriyyah, tt., juz 4: 126).

 

Keempat, menurut az-Zarkasi, seseorang yang mengetahui ada aplikasi digital ilegal, tetapi nekad menggunakannya, sehingga datanya terekspos di dunia maya akibat penggunaannya itu, maka secara umum pihak provider tidak bertanggung jawab atas kebocoran data tersebut. Dengan kata lain, itu risiko dari pengguna itu sendiri.

 

سقوط الضمان ليس منوطًا بالأمانة وإنما هو منوط بالائتمان حتى لو ائتمنه فوجده خائنًا لم يكن عليه ضمان والمسوق في الحديث هو من اتصف في الواقع بالأمانة فأنّى يؤخذ منه ما قاله فتأمله انتهى

 

Artinya: “Gugurnya ganti rugi bukan manath (alasan dasar) dari amanah. Ganti rugi merupakan manath dari kesanggupan menjalankan amanah. Jadi, andaikata ada seseorang yang dipercaya untuk menjalankan suatu amanah padahal ia ia ditemukan orang yang suka khianat (baca: ilegal) atas amanah, maka pihak yang menerima kepercayaan itu tidak wajib ganti rugi (sebab watak asli dari yang diberi amanah). Adapun yang dikehendaki oleh hadits di atas adalah orang yang memiliki ciri khas asli sebagai bisa diiberi amanah, sehingga kata-katanya menarik untuk dipegang oleh pihak pemberi amanah. Dari sini, anda harus mencermatinya” (al-Qasthalany, Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhary, Kairo: Mathba’at al-Kubra al-Amiriyyah, tt., Juz 4, hallaman 126)

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim