Syariah

Fiqih Trading: Perihal Time Frame atau Durasi Waktu Kontrak

Kam, 24 Juni 2021 | 15:00 WIB

Fiqih Trading: Perihal Time Frame atau Durasi Waktu Kontrak

Karena trading meniscayakan adanya pembelian aset, kemudian harus dijual kembali ke pasaran di waktu mendatang dalam durasi kontrak tertentu untuk mendapatkan laba, maka trading pada dasarnya adalah bagian dari akad tijarah.

Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam teks fiqih turats, tujuan (muqtadla al-aqdi) dari seorang trader membeli produk emas, forex, atau sekuritas (auraq al-maliyyah) secara daring adalah untuk dijual lagi di waktu mendatang.

 

Waktu yang tepat untuk menjual lagi pun tidak bisa dibatasi, sebab tujuan utama dari terjadinya akad jual beli adalah kepemilikan selamanya. Pembatasan terhadap waktu penjualan, menjadikan pembelian suatu aset tidak bisa disebut sebagai akad jual beli murni (bai’ mahdli).

 

والبَيعُ لغةً مُقابلةُ شيءٍ بشيء، فدخل ما ليس بمال كخمر؛ وأما شرعا فأحسن ما قيل في تعريفه: أنه تمليك عين مالية بمعاوضة بإذن شرعي، أو تمليك منفعة مباحة على التأبيد بثمن مالي

 

"Bai’ secara bahasa adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu. (Dengan pemaknaan ini) maka masuk di dalamnya pertukaran sesuatu yang tidak masuk dalam kategori harta, misalnya khamr. Adapun secara syara’, maka yang paling bagus untuk pendefinisian jual beli, adalah suatu usaha memiliki aset hartawi melalui jalan pertukaran yang diidzinkan syara’, atau usaha memiliki suatu manfaat mubah, secara selamanya melalui pertukaran dengan harga yang bersifat hartawi” (Muhammad Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib).

 

Dari sini timbul permasalahan cabang, yaitu bagaimana bila akad pertukaran itu meniscayakan dibatasi oleh durasi waktu/lama kontrak? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para fuqaha’.

 

Penyerahan uang kepada pihak lain tanpa disertai adanya pertukaran namun dibatasi oleh waktu kontrak (hulul al-ajal), adalah ciri utama dari akad utang. Misalnya, saya menyerahkan uang kepada Anda, untuk dikembalikan pada 2 hari setelahnya, maka akad penyerahan ini termasuk akad utang (qardl).

 

Durasi 2 hari yang terjadi antara waktu penyerahan dan waktu kembalinya uang disebut durasi jatuh tempo utang (hulul al-ajal). Dalam akad modern, istilah hulul al-ajal ini dikenal dengan istilah time frame (TF).

 

Akad sebagaimana tergambar di atas ini sah, dengan catatan uang yang dikembalikan tersebut besarannya sama dengan saat uang itu diserahkan. Jika besarannya tidak sama, misalnya lebih besar dari saat menyerahkan, maka ada 4 kemungkinan akad, yaitu:

  1. Sebagai qardlu jara naf’an (utang menarik kemanfaatan) sehingga masuk kategori riba. Riba terjadi apabila syarat kelebihan tersebut ditetapkan besarannya di muka
  2. Sebagai hibbatu al-tsawab, dan boleh, dengan catatan pengembalian lebih tersebut tidak disyaratkan di muka
  3. Sebagai akad wadli’ah, apabila jumlah uang yang dikembalikan lebih kecil dari uang yang diserahkan. Syarat sah dari akad ini adalah apabila pengembalian lebih kecil tersebut ditetapkan oleh pihak yang memberi utang (muqridl).
  4. Secara dhahir termasuk memenuhi riba al-qardli, apabila pengembalian terjadi lebih kecil dari uang yang diserahkan di awal tersebut dan pihak yang memberi utang tidak menetapkan syarat pengembaliannya dan tidak rela. Risikonya, uang yang tersisa, adalah masih menjadi tanggungan pengembalian dari qaridl.

 

Pertukaran Harga dan Barang dengan Batasan Waktu Kontrak (Time Frame)

Permasalahan di atas, terjadi manakala penyerahan uang kepada pihak lain tidak disertai dengan adanya wasilah berupa barang. Bagaimana bila durasi kontrak itu ditetapkan dengan disertai adanya wasilah berupa barang?

 

Berdasarkan bisa atau tidaknya uang yang diserahkan itu kembali, maka ada 2 pandangan:

 

Pertama, Penyerahan uang kepada pihak lain yang disertai dengan wasilah berupa barang yang ditukarkan, merupakan inti utama dari akad jual beli. Barang yang dibeli adalah sah menjadi hak milik pembeli (trader). Apabila kepemilikan barang tersebut dibatasi oleh waktu, sehingga saat jatuh tempo yang ditetapkan maka barang tersebut harus diserahkan lagi kepada pemilik asalnya, tanpa adanya penyerahan uang kembali kepada pembeli yang durasi kepemilikannya sudah habis, maka akad semacam ini pada dasarnya adalah akad sewa manfaat (ijarah).

 

Misalnya, saya membeli mobil, dan setelah 2 hari mobil itu harus saya kembalikan lagi ke “pemilik asalnya”, maka pada dasarnya akad semacam ini adalah termasuk akad sewa. Saya menyewa manfaat mobil tersebut selama 2 hari. Tamliku al-manfaat (usaha memiliki manfaat) dengan dibatasi oleh waktu, adalah ciri khas akad ijarah. Ciri dasarnya, uang yang diserahkan oleh pembeli pertama, tidak kembali kepadanya lagi. Hanya barangnya saja yang kembali.

 

Kedua, akad ijarah sebagaimana kasus di atas ini, akan berubah menjadi akad gadai (rahn), apabila penyerahan barang yang sudah dibeli, disertai keharusan pengembalian uang kepada pihak yang pernah membelinya.

 

Misalnya, dalam kasus di atas, pihak pemilik barang, menyerahkan kembali uang yang pernah ia terima dari saya, ke saya lagi - selaku pihak yang pernah membeli barang miliknya. Syarat sah (dlabith) berlakunya akad ini adalah uang yang diserahkan kembali kepada saya, harus berjumlah sama dengan uang di mana saya menyerahkan uang tersebut di awal, yaitu waktu sebelum saya membawa barang. Jika terjadi kelebihan, maka termasuk riba qardli, sebagaimana ketentuan yang sudah disampaikan dalam akad qardl di atas.

 

Derivasi Akad Gadai

Akad gadai, ditengarai dengan barang yang dibeli (barang gadai), kembali kepada pemilik asalnya. Uang yang diserahkan pembeli kepada penjual, jumlahnya harus sama dengan uang yang diserahkan kembali oleh penjual kepada pembeli. Time Frame (TF) penyerahan kepemilikan, diketahui sebagai kemakluman. Barang gadai bisa dilelang, bila pada saat jatuh tempo, pihak yang berutang tidak bisa melunasi utangnya. Status barang adalah sebagai watsaiq (jaminan kepercayaan).

 

Persoalannya, ketika barang yang dibeli harus dijual kembali oleh pihak pembeli ke pasar saat batas waktu jatuh tempo yang ditetapkan (Time Frame) dan sifat penjualan barang, dilakukan ke pasar secara otomatis (ijbary).

 

Pembeli barang tersebut, terdiri dari trader lain yang bukan trader awal selaku pemilik barang sebelumnya.

 

Dengan mencermati kasus terakhir, maka takyif fiqih dari akad di atas dapat diuraikan rinciannya sebagai berikut:

  1. Kepemilikan barang (sil’ah) adalah sah menjadi milik pembeli pertama
  2. Adanya kesepakatan yang terjadi antara penjual pertama dan pembeli pertama untuk melepaskan barang di pasaran saat waktu ke depan yang disepakati (Time Frame/TF), adalah termasuk akad muwa’adah (saling janji). Akad ini merupakan fondasi dari future contract (kontrak berjangka).
  3. Pada dasarnya akad muwa’adah adalah bagian dari akad bai’ bi al-wa’di (jual beli yang disertai dengan janji).
  4. Ditilik dari asal ketentuan akad jual beli, akad bai’ bi al-wa’di adalah tidak boleh karena bersifat memperlemah status kepemilikan pembeli terhadap barang, sebab hak pembeli adalah hurriyatu al-tasharruf (bebas menjual barang yang dimilikinya kapan saja ia mau dan di waktu ia ingin melakukan)
  5. Adanya ikatan harus menjual di waktu tertentu ke pasar, menandakan pihak pembeli terikat untuk tidak menasarufkannya selama beberapa waktu yang telah ditetapkan sehingga bertentangan dengan karakteristik hurriyatu al-tasharruf.
  6. Pelepasan sil’ah secara paksa setelah waktu kontrak kepemilikan telah habis, menandakan ada pihak lain yang mengintervensi kepemilikan orang lain (al-tadakhul fi milkiyyati al-ghair).
  7. Intervensi orang lain (selain pemerintah) terhadap hak milik orang selainnya, adalah termasuk tindakan kedhaliman (pelanggaran hak), kecuali diizinkan oleh pemiliknya, atau menjadi wakil pemilik.
  8. Penjualan hak milik orang lain secara paksa setelah jatuh tempo yang disepakati, adalah boleh dengan catatan:
  1. Jika ada kesepakatan akad gadai dan terjadi penundaan pelunasan utang gadai oleh pihak yang mengajukan gadai. Dalam trading, jika akad jual beli efek itu diserupakan dengan akad gadai, maka kedudukan pihak trader adalah selaku yang berperan sebagai pegadaian. Sementara itu, pihak emiten adalah selaku pihak yang berutang. Alhasil, menempatkan trading ke dalam akad ini justru menjadikan skema trading adalah menjadi rahn yang fasad karena harga pelelangan tidak mukafaah (setara) dengan harga beli di awal.
  2. Pihak pemilik barang adalah orang yang muflis (bangkrut) sehingga dicegah (hajr) dari penasarufan hartanya
  3. Pihak yang menjual adalah pihak yang diizinkan oleh pemilik barang, atau menjadi wakil dari pemilik barang. Dalam trading, pihak trader adalah bertindak selaku pemilik barang. Pihak broker adalah pihak yang berlaku sebagai wakil pemilik barang (wakalah) atau bertindak selaku pihak yang diizinkan oleh pemilik barang (samsarah)
  4. Jika yang menjual adalah pihak “pembeli pertama” itu sendiri tanpa wakil, maka akad ini dinamakan dengan akad bai’ tawarruq, yang sah menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, pola ini jelas tidak memungkinkan diterapkan dalam trading, disebabkan adanya broker yang terikat kontrak dengan trader.
  5. Jika yang menjual adalah pihak “penjual pertama”, maka dinamakan akad penyertaan modal sehingga masuk dalam rumpun akad qiradl, mudlarabah atau bai’ murabahah dengan catatan bahwa pihak “penjual pertama” adalah pihak yang bergerak dalam unit pengembangan harta (tamwil). Akad ini juga tidak mungkin dilakukan dalam trading disebabkan posisi broker di atas yang terikat kontrak dengan trader.
  6. Jika penjualan dilakukan oleh pihak wakil atau orang yang diidzinkan menjual dan membelikannya (misalnya: broker), maka akad tersebut adalah akad bai’ mubah. Akad ini yang paling memungkinkan untuk bisa diterapkan di dalam trading, seiring keterikatan kontrak
  7. Sebagai catatan, bahwa saat terjadi pelelangan efek pada batas waktu kadaluwarsa (TF), barang ada di bawah kekuasaan tasharruf trader.

 

  1. Mensyaratkan kepada pihak lain untuk menggunakan uang yang sudah diserahkan saat terjadi kriteria tertentu, atau terjadi kondisi tertentu adalah termasuk rumpun akad perwakilan.
  2. Pihak wakil berhak melelang barang yang sudah dibeli trader yang diwakilinya, tanpa seijin pihak muwakkil.

 

Takyif Fiqih Perjalanan Bisnis di dalam Trading

Trading merupakan akad pembelian valuta asing (valas) atau sekuritas, yang dimaksudkan untuk dijual kembali pada waktu tertentu sehingga meniscayakan adanya kontrak penjualan atau pembelian yang dilakukan oleh pemilik barang (trader) dengan wakilnya, berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan oleh trader/pemilik barang, setelah pemilik tersebut mencermati analisis pergerakan harga, yang dilakukan melalui instrumen komunikasi tertentu yang disediakan oleh pihak yang menjadi wakil.

 

Karena trading meniscayakan adanya pembelian aset, kemudian harus dijual kembali ke pasaran di waktu mendatang dalam durasi kontrak tertentu untuk mendapatkan laba, maka trading pada dasarnya adalah bagian dari akad tijarah.

 

Namun karena di dalam trading, terkandung di dalamnya perintah pemilik aset kepada wakil yang disampaikan melalui suatu media (wisathah), dengan jenis perintah berupa:

  • Untuk melakukan aksi melakukan jual atau beli aset pada waktu yang ditetapkan kriterianya oleh pemilik aset
  • Untuk menghindar dari kerugian melalui perintah stop loss pada kondisi tertentu yang ditetapkan kriterianya oleh pemilik aset
  • Untuk mengambil keputusan yang menguntungkan melalui perintah take profit pada kondisi tertentu yang ditetapkan kriterianya oleh pemilik aset
  • Instrumen komunikasi penyampaian perintah antara pemilik aset dan wakilnya adalah berbasis software otomatis yang sudah diprogram dengan standar kualifikasi tertentu oleh perusahaan broker dan sudah tersertifikasi dengan baik
  • Isi pesan perintah meniscayakan dipahami oleh broker sebab media yang digunakan untuk komunikasi adalah didesain secara khusus oleh broker dan diajarkan kepada trader lewat akun demonya
  • Sifat dari perintah adalah menyerupai bahasa pemrograman mesin ATM yang niscaya bisa dipahami oleh admin perbankan penyedia mesin.

 

Dengan memperhatikan karakteristik penyampaian pesan ini, maka secara umum, relasi antara pihak trader dengan perusahaan penerbit efek (emiten) bisa diklasifikasi sebagai berikut:

  1. Relasi trader dengan emiten penerbit sekuritas, adalah termasuk relasi akad penyertaan modal (musahamah).
  2. Relasi antara trader dengan trader lain adalah relasi akad hiwalah.
  3. Relasi antara trader dengan pedagang valas, adalah termasuk relasi akad sharf

 

Ditilik dari karakteristik mabi’ dalam trading adalah terdiri dari efek (auraq al-maliyah) atau valas yang penjualannya harus dilakukan di pasar modal (aswaq ra’si al-maliyah) sehingga bersifat terbatas pangsa pasarnya (harus melalui broker yang sama), maka:

  • Karakteristik penjualan aset secara ijbary berbasis waktu kontrak yang terbatas tersebut, adalah merupakan relasi yang menjadi sebuah keniscayaan (kelaziman)
  • Tradisi yang berjalan terus menerus dan menjadi kelaziman di suatu tempat, adalah merupakan bagian dari urf.
  • Urf adalah bagian dari yang dipertimbangkan dalam penetapan hukum dan menempati maqam syarat (al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruthi syarthan).

 

Dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas, maka penetapan durasi waktu kontrak (Time Frame) pada aktivitas perdagangan di pasar berjangka (trading) dengan menggunakan instrumen komunikasi antara trader dan wakilnya, yang mana instrumen tersebut telah tersertifikasi dan dijamin secara hukum dan peraturan yang berlaku, hukumnya adalah boleh.

 

Status hukum fiqih yang berlaku atas penetapan durasi waktu kontrak tersebut adalah:

  1. Menempati derajatnya 'urf, seiring tradisi yang berlaku sebagai kelaziman di pasar modal, dan
  2. Bila tidak mengikuti tradisi tersebut justru berakibat dlarar (kerugian), antara lain:
  1. Bagi trader, kerugian itu justru bertentangan dengan tujuan utama dari ikut serta dalam pasar modal, yaitu sebagai wahana melakukan akad tijarah
  2. Bagi perusahaan, kerugian terjadi karena tujuan dari diadakannya pasar modal adalah sebagai wahana crowdfunding (urun modal). Kemacetan aktivitas jual beli efek, adalah sama artinya dengan macetnya aliran mencari modal secara gotong royong. Ketiadaan trader dalam negeri, adalah sama saja dengan menyerahkan perusahaan kepada investor asing, sebab dalam penyertaan modal meniscayakan kepemilikan sebagian dari aset perusahaan

 

Wallahu a’lam bish-shawab

 

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim