Syariah

Fiqih Wajib Hilangnya Relasi Kemitraan Kreditur-Debitur akibat Bencana

Sen, 8 Oktober 2018 | 13:45 WIB

Fiqih Wajib Hilangnya Relasi Kemitraan Kreditur-Debitur akibat Bencana

Ilustrasi (via fsfoa.org)

Setiap individu Muslim harus memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam setiap praktik kegiatannya. Ada beberapa prinsip ekonomi Islam yang sudah digariskan oleh syara’, antara lain (1) pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh nash (Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah SAW), (2) muamalah harus dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, (3) muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan; dan (4) muamalah dilakukan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan tidak adanya usaha untuk mencari-cari kesempatan dalam kesempitan orang lain. 

Dari kesemua prinsip di atas, selanjutnya ada satu prinsip yang paling utama dari keempatnya yaitu prinsip kemaslahatan bersama. Bila di dalam kegiatan ekonomi terjadi penindasan terhadap yang lain, maka muncul ketimpangan. Beberapa bagian sudah kita kaji dalam tulisan-tulisan terhadahulu ketika membahas tentang persaingan pasar, monopoli dan ihtikar, dan sebagainya. Semua itu dilarang pada dasarnya disebabkan karena faktor kemaslahatan yang mutlak diperhatikan oleh syara’, antara lain: (1) tidak merugikan diri dan orang lain, (2) berusaha meniadakan kesulitan, dan (3) memilih penempuhan dengan jalan tahapan-tahapan, sehingga tidak harus seketika itu juga. Inilah sebabnya Islam juga membolehkan sistem jual beli secara kredit, yang mana nilai akhir harga sudah barang pasti bernilai lebih tinggi dari harga kontannya. Catatan yang mutlak diperhatikan adalah pembeli harus khiyar sebelum berpisah majelis. 

Bagaimana prinsip ini diadopsi dalam penetapan keputusan soal kredit macet karena faktor bencana? Sebagaimana kita ketahui bahwa asas kemaslahatan ini tidak hanya berlaku bagi perorangan/individu, melainkan juga bagi kelompok/masyarakat/lembaga yang menguasai hajat hidup masyarakat banyak. Sebagaimana jual beli kredit yang harganya lebih tinggi dari harga kontan, tidak melulu hanya memperhatikan kemaslahatan pembeli, melainkan juga kemaslahatan penjualnya. Inilah sebabnya dalam qaidah fiqhiyyah ada sebuah kelaziman:تصرف الإمام منوط بالمصلحة, yakni “mandat kerja imam adalah mengikut kepada terwujudnya maslahah.” Garis besarnya adalah bahwa kemaslahatan itu bergantung pada tangan pemegang kebijakan, yaitu pemimpin/imam. 

Sudah barang pasti bahwa dalam setiap kebijakan, terdapat ‘illat hukum. Tanpa keberadaan ‘illat hukum, maka kebijakan tidak bisa disebut sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan. Bahkan cenderung asal sadap, asal terap dan awur-awuran. Yang penting untung dan menyenangkan satu pihak. Apalagi dalam kondisi mendekati pemilu presiden. Kita tentu tidak berharap bahwa kemudian ajang pemutihan atau pemberlakuan ampunan debitur terimbas bencana dijadikan sebagai bagian ajang politik praktis. Sama sekali, prinsip seperti ini tidaklah bersifat populis dan egaliter (adil). Untuk itu, dalam hal penetapan kemaslahatan debitur nasabah terdampak bencana juga mutlak memperhatikan alasan kuat pertimbangan hukum. 

Berikut ini penulis sajikan tiga dasar illat utama mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan prinsip penghapusan hak penagihan kepada nasabah terimbas bencana, antara lain: 

Pertama, prestasi debitur dalam pengelolaan kredit tidak bisa terpenuhi sebagai akibat peristiwa yang bersifat membinasakan atau memusnahkan benda/obyek perkreditan. 

Alasan ini secara tidak langsung mengesampingkan sebab kelalaian tindakan yang sengaja dilakukan debitur sehingga ia bisa dikategorikan bangkrut (iflâs). Dalam konteks fiqih diserupakan dengan seseorang yang mendapatkan titipan wakil untuk menyimpan suatu barang. Kelalaian wakil dapat diputuskan manakala ia membawa barang yang dititipkan itu ke dalam sebuah perjalanan yang beresiko menyebabkan kerusakan barang yang dititipkan. Jika hal ini terjadi, maka si wakil dapat dituntut ganti rugi (أرش) atas barang yang dibawanya sehingga menyebabkan rusak. Dalam kasus piutang mudlarabah, murabahah, dan musyârakah, seorang debitur diserupakan dengan seorang yang memiliki lahan usaha yang bisa ditempati untuk mendirikan usaha. Adanya survey yang dilakukan oleh perbankan kepada calon debitur produknya, sudah barang tentu juga menimbang bukan hanya sedikitnya resiko kerugian, melainkan juga resiko kerusakan modal. Meskipun, resiko faktor kerusakan ini tidak tercantum dalam klausul nota transaksi. 

Sebuah analogi jika kerugian sekecil apapun menjadi faktor pertimbangan utama melakukan pembiayaan, maka sudah barang tentu faktor yang lebih besar harus mendapat prioritas yang lebih. Buat apa memperhatikan resiko yang kecil, sementara resiko kemusnahan tidak diperhatikan sama sekali? Adanya disyaratkan sertifikat penyerahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh pendiri badan usaha secara tidak langsung menjadi argumen pertimbangan bagi bank untuk penyaluran pembiayaannya. Buat apa repot-repot melakukan AMDAL jika sama sekali tidak berguna sebagai pendukung claim apabila terjadi sesuatu yang tak terprediksi sebelumnya? Untuk UMKM dan masyarakat kecil, keberadaan AMDAL ini secara tidak langsung sudah include di dalam survey-nya perbankan ke obyek yang hendak dibiayai lewat qardlu, mudharabah, murabahah atau musyârakah. Jadi, seharusnya sudah tanpa perlu pengajuan claim dari mereka.

Kedua, ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena ada peristiwa yang menghalangi laku debitur untuk berprestasi dan melakukan pengelolaan. 

Sebab kedua ini merupakan penolak alasan bahwa debitur telah melakukan sebuah tindakan penyalahgunaan  pembiayaan yang dikucurkan lewat produk investasi modal perbankan, seperti musyârakah, murâbahah, mudhârabah, dan akad istishna’ serta istithmar. Dalam produk musyârakah musâhamah, bagian saham pemerintah yang diinvestasikan ke jalur usaha debitur secara tidak langsung mensyaratkan menjadi bagian kewajiban kreditur perbankan untuk ikut meninggung resiko usaha. Sebagaimana kaidah dasar fiqih bahwa الخراج بالضمان (untung rugi ditanggung bersama).

Ketiga, faktor bencana merupakan faktor yang tak dapat diduga sebelum oleh debitur. 

Apabila sebuah aktivitas kegiatan yang bisa merugikan sebuah usaha bisa diduga sebelumnya oleh debitur, lalu ia tidak berusaha melakukan upaya pencegahannya, maka kerugian yang terjadi adalah mengikut claim kerugian mitranya, yaitu kreditur. Namun, dalam kondisi bencana yang tak terprediksi sehingga mengakibatkan kerugian atau musnahnya suatu moda investasi, maka seharusnya berlaku kembali kaidah untung rugi ditanggung bersama antara debitur dan kreditur berdasarkan prinsip kemitraan (syirkah). 

Inilah ketiga alasan utama pembatal kemitraan sebagaimana dimaksud dalam judul tulisan ini. Ketiga alasan utama di atas menjadi pembatal kreditur untuk melakukan fungsi penagihan utang kepada debitur disebabkan ia adalah mitra bagi debitur tersebut (musyârakah). Secara singkat maka akibat kondisi force majeure (darurat bencana) tersebut, maka terjadi 6 kondisi berikut:

1. Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur 
2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai
3. Debitur tidak wajib membayar ganti rugi 
4. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik. Maksud dari perjanjian timbal balik ini adalah apabila debitur nasabah tidak bisa memenuhi tuntutan tagihan, maka secara otomatis kreditur bank bisa menarik modal usaha yang sudah diberikan kepada debitur dalam bentuk penarikan agunan
5. Kemitraan dinyatakan gugur sebab seluruh modal hilang musnah. 
6. Bila terjadi relasi baru antara debitur dan kreditur, maka itu adalah akad baru dan bukan melanjutkan akad lama

Wallahu a’lam bish -shawâb


Muhammad Syamsudin, Penulis adalah Mantan Aktifis “Jangkar Kelud” Kabupaten Kediri, JATIM

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua