Syariah

Halalkah Pihak Marketplace Memanfaatkan Akun dan Dana Pelapak atau Konsumen?

Rab, 6 Januari 2021 | 23:00 WIB

Halalkah Pihak Marketplace Memanfaatkan Akun dan Dana Pelapak atau Konsumen?

Jika yang dititipkan pelapak itu berupa uang, maka uang yang wajib dikembalikan kepada penitip adalah uang itu sendiri, tidak boleh berganti.

Kita masih berbicara dalam konteks marketplace. Artinya, apa yang akan kita bicarakan juga berkaitan erat dengan akad jual beli salam sehingga meniscayakan adanya gharar yang sudah direduksi. Sedikit atau banyak gharar itu terjadi, yang jelas, efek dari gharar adalah pasti adanya kerugian.

 

Sedikit kita fokuskan masalah pada relasi akad wadi’ah (titip) pada marketplace. Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui, objek apa saja yang memakai akad wadi’ah ini pada marketplace?

 

Di antara kesekian objek yang sering dibahasakan dengan bahasa titip pada marketplace, misalnya, adalah titip lapak, titip dagangan, titip uang untuk diserahkan kepada pelapak, atau titip harta manfaat semacam Koin Shopee, dan sejenisnya yang disimpan dalam saldo deposit. Semua objek ini, sering diungkapkan dengan menggunakan istilah “titip”.

 

Terlepas dari apakah hal-hal di atas tepat atau tidak disebut sebagai berelasi dengan akad wadi’ah, itu tidak akan banyak kita bahas. Hanya saja, penulis perlu menyampaikan mengenai sedikit analisis ciri-ciri suatu objek direlasikan dengan wadi’ah dan sekaligus tanggung jawab ganti rugi akibat tindakan malprestasi.

 

Analisis Akad Wadi’ah pada Marketplace

Akad wadiah sering dimaknai sebagai akad titip barang. Dalam akad ini, maka batasan utama dalam syara’ (dlabith al-syar’i) yang harus dipatuhi dalam akad titip, adalah pihak yang dititipi (wadi’) sudah pasti tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa seizin pihak penitip.

 

Jika nekad menggunakan/memanfaatkan barang titipan, maka perhitungannya adalah merujuk ke akad ijarah, sebab “seolah” pihak yang dititipi telah melakukan akad “sewa pakai” terhadap barang yang dititipkan (muda’).

 

Oleh karena pemakaian tanpa izin itu sama dengan istilah ghashab, maka besaran upahnya (ujrah) yang secara tidak langsung merupakan bagian dari skema ganti rugi (dlaman) dalam syara’ - adalah harus ditetapkan berdasarkan konsepsi pengupahan sewa yang umum berlaku di “wilayah” tempat menitipkan.

 

Bolehkah pihak marketplace menetapkan besaran ganti rugi (dlaman) secara sepihak? Jawabnya, secara umum adalah tidak boleh, sebab ‘urf-nya pihak marketplace bisa jadi berbeda dengan ‘urf-nya pelapak. Misalnya, ‘urf pendiri Bukalapak atau Shopee, bisa jadi berbeda dengan ‘urf-nya pelapak yang tinggal di Sidoarjo, Surabaya, atau Medan.

 

Seumpama menggashab (memanfaatkan tanpa hak) mobil titipan, maka besaran ujrah yang harus dikeluarkan oleh pihak penerima titipan, adalah sebesar ongkos sewa mobil yang berlaku di wilayah mobil itu dititipkan. Jika satu harinya adalah 350 ribu rupiah, maka pengghashab harus mengeluarkan biaya sebesar 350 ribu itu untuk membayar ganti rugi (dlaman) penggunaan tanpa izin.

 

Jika yang dititipkan itu berupa uang, maka uang yang wajib dikembalikan kepada penitip adalah uang itu sendiri, tidak boleh berganti. Jika fisik uangnya berganti, maka uang titipan itu berubah statusnya menjadi utang secara hukum (qardlu hukmy).

 

Bagaimana bila uang itu dijamin kembalinya?

 

Jawabnya, jika uang titipan itu diizinkan penggunaannya oleh pihak yang dititipi, maka uang yang baru yang dipergunakan untuk mengganti uang lama yang sudah digunakan, adalah seolah berlaku sebagai “fisik baru” yang bisa disifati dan dibeli dengan “fisik uang yang lama”.

 

Alhasil, status uang yang baru, berlaku sebagai harta yang bisa disifati dan dijamin penuaiannya (syaiin maushuf fi al-dzimmah). Akadnya bisa masuk rumpun akad jual beli salam karena adanya izin.

 

Meski demikian, karena objek titipan (muda’ bih) adalah uang, maka tetap dinamakan sebagai qardl (utang). Secara jual beli, objek barangnya bisa disebut juga sebagai qardl syaiin maushuf fi al-dzimmah (utang sesuatu yang bisa disifati dan dijamin). Batasan (dlabith) yang perlu dicatat, adalah uang yang dititipkan (muda’ bih) sebagai yang diizinkan penggunaannya oleh penitip (mudi’) untuk pihak yang dititipi (wadi’).

 

Jika penggunaan uang tersebut dilakukan tanpa seizin pemilik, maka menurut kaidah ashal yang berlaku atas barang amanah, adalah pemakaian semacam itu adalah masuk dalam rumpun perilaku ghashab. Akibat dari perilaku ini, adalah wajibnya pihak yang menggashab (ghashib) membayar ganti rugi (dlaman) sebesar uang yang telah dighashab.

 

Bagaimana bila maksud dari penggunaan tanpa izin itu dimaknai sebagai penggelapan/pencucian uang? Secara khusus penggelapan/pencucian uang adalah ditujukan untuk “maksud” mengambil hak kepemilikan harta orang lain secara tidak sah yang ditandai dengan adanya rekayasa pengelabuan. Alhasil, sangat berlainan dengan ghashab, yang mana ada niatan pelaku ghashab untuk mengembalikan barang.

 

Pengelabuan, penggelapan, pencucian uang, adalah masuk dalam wilayah ‘uqubah (pidana) disebabkan kesengajaannya untuk menguasai. Bila hal itu terjadi pada suatu platform, maka kewajiban yang berlaku bagi pelakunya, adalah mengembalikan harta yang terambil secara tidak sah tersebut kepada pemilik asalnya. Bila tidak, maka tuntutan hukumnya (pidana), tidak bisa hilang sampai akhirnya terjadi pengembalian.

 

Bagaimana bila penggunaannya diketahui secara pasti bahwa penitip pasti mengizinkan?

 

Akad titip (wadiah) yang disertai dengan kemafhuman penggunaan harta uang tanpa perlu lafadh izin kepada pemiliknya, sering disebut juga sebagai wadi’ah ma’a al-dlamman, atau wadi’ah yad al-dlammanah.

 

Akad ini dinyatakan sebagai sah, sebab keberadaan unsur pasti diridhainya tersebut (‘ulima ridlahu). Batasannya (dlabith) dari akad ini adalah wajib adanya kesanggupan ganti rugi (dlamman) bagi penggunanya.

 

Alhasil, kesimpulan kecil yang bisa kita tarik dari akad wadiah berupa uang adalah: akad titip uang yang disertai kebolehan penggunaan oleh pihak yang dititipi, bisa dibaca sebagai akad: qardlu hukmy, bai’ salam, bai’ muajjal, bai’ al-taqshith, wadi’ah yad al-dlamman.

 

Jadi, ada 5 pembacaan, dan masing-masing memiliki risiko yang sama, yaitu kembali berupa uang yang jumlahnya adalah sama (tamatsul), dengan satuan mata uang yang sama.

 

Risiko Akad Wadiah berdasar Objek Titipan

Dari kedua contoh objek titipan di atas, ada dua risiko yang berbeda terkait dengan barang titipan, antara lain:

 

Pertama, untuk objek titipan berupa barang fisik selain uang, maka penggunaan oleh pihak yang dititipi (wadi’) mensyaratkan adanya upah (ujrah) yang umum berlaku di wilayah setempat (ujrah ‘urfy). Ujrah semacam ini masyhur disebut sebagai ujrah mitsil.

 

Kedua, titipan berupa uang tidak boleh memungut ujrah, melainkan harus mengembalikan fisik uang sejumlah uang yang digunakan.

 

Imbas Risiko Wadi’ah pada Marketplace

Sebenarnya, kita belum berbicara mengenai bagaimana bila titipan itu berupa hewan yang secara tidak langsung membutuhkan adanya nafaqah (makan dan pemeliharaan).

 

Namun, secara garis besar, risiko dari adanya akad titipan (wadi’ah), adalah adanya pihak yang dititipi (wadi’) menjadi terikat oleh 4 kewajiban dasar, yaitu:

  1. Ia wajib menjaga barang yang dititipkan kepadanya dalam tempat penyimpanan yang semestinya, sesuai jenis barang yang dititipkan (khirzin mitslin). Bila tidak, maka bila terjadi kerusakan pada barang, maka pihak yang dititipi wajib menanggung ganti rugi (dlaman).
  2. Ia wajib menjaga barang yang dititipkan sesuai dengan jenis barang tersebut membutuhkannya. Jika berupa sepeda motor atau mobil, maka harus dipanasi setiap hari. Jika berupa hewan ternak, maka harus dirawat. Karena alasan inilah maka boleh dalam akad wadiah barang untuk memungut ujrah (upah). Bagaimana dengan titip uang? Maka dalam hal ini dikembalikan pada batasan akad titip sebagai ghayah (puncak batasan), yaitu wajibnya kembali fisik barang yang dititipkan kepada pemilik itu lagi. Jika bisa kembali berupa “fisik” uang itu lagi, maka - dalam timbangan peneliti - hukumnya adalah boleh memungut ujrah (upah) sebab adanya box penyimpan. Alhasil, akadnya adalah menjadi wadi’ah amanah. Namun, jika tidak bisa kembali berupa “fisik” uang itu lagi, maka tidak boleh memungut ujrah (upah), sebab upah itu nanti bisa menjadi bias dengan manfaat utang. Alhasil, upah itu menjadi riba qardli karena relasi akad utangnya.
  3. Kerusakan pada barang yang dititipkan yang tidak diakibatkan oleh adanya unsur melampaui batas oleh pihak yang dititipi, maka tidak berlaku adanya ganti rugi. Ganti rugi hanya berlaku bila terjadi tindakan melampaui batas oleh pihak yang dtitipi.
  4. Pihak yang dititipi wajib mengembalikan barang yang dititipkan sebagaimana asallnya ke pemilik, bila pihak pemilik memintanya.

 

Konklusi

Alhasil, setidaknya dengan penjelasan ini, para pembaca sudah mulai bisa untuk menganalisis, kira-kira, bila akun Anda rusak yang diakibatkan oleh perilaku marketplace/atau suatu platform e-commerce, maka ada tanggung jawab kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak marketplace (secara fiqih). Mengapa? Sebab, akun merupakan bagian dari harta manfaat. Anda buat di marketplace tertentu, itu adalah bagian dari akad titip Anda terhadap data pribadi Anda, harta Anda, saluran resmi untuk menghubungi anda, dan lain sebagainya. Tidak berfungsinya akun, secara tidak langsung telah merugikan Anda, bukan?

 

Ini hanya contoh kasus kecil. Bagaimana bila Anda menitipkan harta manfaat berupa mata uang digital, yang lalu mata uang tersebut menjadi tidak bisa digunakan—bukan akibat kadaluwarsa (habis masa kontrak) dengan marketplace? Sudah barang tentu, Anda harus melakukan klaim kerugian. Pihak marketplace sendiri juga harus menyediakan saluran resmi untuk pengajuan klaim tersebut, sebab itu bagian dari relasi akad dlaman (tanggung jawab terhadap klaim kerugian). Bila tidak, maka keuntungan yang diperolehnya menjadi indikasi menabrak larangan melakukan niaga tanpa berpenjamin. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim