Syariah

Hikmah dan Syarat Sah Akad Mudharabah

Sel, 17 September 2019 | 23:00 WIB

Hikmah dan Syarat Sah Akad Mudharabah

Karena semangat dasar mudharabah adalah tolong menolong, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar transaksi berlangsung adil. (Ilustrasi: money.it)

Dasar hukum disyariatkannya akad mudhârabah adalah nash Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyâs (analogi). Sebagaimana diketahui bahwa mudhârabah juga diqiyaskan dengan akad musâqah (Jawa: ngedok sawah); yakni ketika seluruh hasil panenan hakikatnya adalah milik pemodal. Petani penggarap hanya menerima bagian dengan persentase tertentu setelah semua hasil panenan ada di tangan pemodal. Maka dalam hal ini, al-Kasâni menyampaikan sebuah hikmah dengan disyariatkannya mudhârabah, yaitu:
 
فالمضاربة قيست على المساقاة لحاجة الناس إليها، لأن الناس بين غني وفقير، والإنسان قد يكون له مال، لكنه لا يهتدي إلى أوجه التصرف والتجارة به، وهناك من لا مال له، لكنه مهتد في التصرفات، فكان في تشريع هذا العقد تحقيق للحاجتين، والله تعالى ما شرع العقود إلا لمصالح العباد ودفع حوائجهم
 
Artinya: "mudhârabah dianalogikan dengan akad musâqah (ngedok sawah), karena manusia itu adakalanya kaya dan ada kalanya fakir. Kadang ada yang memiliki harta tapi tidak mengetahui bagaimana caranya mengelola atau meniagakan. Di sisi lain ada orang yang tidak punya harta namun cakap dalam mengelolanya. Oleh karenanya, pensyariatan akad mudhârabah ini secara tidak langsung memberi penegasan kebolehan relasi antara dua pihak yang saling membutuhkan tersebut. Allah ﷻ tidak akan pernah menetapkan aturan suatu syariat manakala tidak dijumpai adanya maslahah bagi hambanya dan sekaligus kemanfaatan bagi pemenuhan kebutuhan mereka" (al-Kasâni, Badâi'u al-Shanâi' fi Tartîbi al-Syarâi', Beirut: Dâr al-Fikr, 2019: 8/6).
 
Al-Zuhaili menyampaikan hikmah disyariatkannya akad mudhârabah ini, yaitu:
 
تمكين الناس من تنمية الأموال وتحقيق التعاون بينهم، وضم الخبرات والمهارات إلى رؤوس الأموال لتحقيق أطيب الثمرات.
 
Artinya: "(Dengan akad ini], manusia memungkinkan upaya mengembangkan hartanya sekaligus penegasan terhadap disyariatkannya tolong-menolong di antara sesama. Melalui pengumpulan informasi dan wacana usaha yang dilanjut dengan pengumpulan modal bersama merupakan penegasan terhadap upaya mendapatkan buah usaha yang lebih baik." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Beirut: Dâru al-Fikr, tt.: 5/570)
 
Karena mudhârabah hakikatnya adalah ta'âwun (tolong menolong) dalam hal permodalan dan bagi hasil, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad mudhârabah. Syarat itu mencakup rukunnya yang berjumlah 5, yaitu: syarat yang berlaku atas pemilik modal, pengelola, jenis usaha, ketetapan bagi hasil dan shighat akad.
 
Syarat Sah Mudhârabah
 
Jika dilihat dari rukun yang harus dipenuhi, maka syarat sah dari akad mudhârabah harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
 
1. Mudhârabah merupakan akad yang dilaksanakan oleh dua pihak atau lebih pemodal dengan pihak pengelola modal (mudharib) yang terlibat dalam menjalin akad.
 
2. Akad mudhârabah didahului oleh serah terima modal dari pemodal (rabbul mal) dan kerja dari pihak lain selaku pengelola (mudharib).
 
3. Ada nisbah bagi hasil yang disepakati oleh dua atau lebih pihak yang bertransaksi 
 
Ketiga syarat di atas merupakan syarat umum bagi sahnya mudharabah. Adapun untuk syarat khusus, maka syarat ini bersifat mengikat terhadap tiap rukun akad
PertamaSyarat Khusus Berkaitan dengan Modal
 
Para fuqaha’ sepakat bahwa syarat khusus yang berlaku atas modal mudharabah ada empat, yaitu: 
 
1. Jika modal yang diserahkan itu berupa nuqud (cash yang terdiri atas emas, perak, atau sejumlah uang) maka harus ditentukan jenis nuqud yang disepakati. Apabila rupiah, maka modal itu harus diukur berdasarkan rupiah. Jika dinyatakan dalam bentuk dolar, maka seluruh modal dan aset yang ada harus bisa diketahui nilainya menurut angka dolar. 
 
2. Jika modal itu diketahui besarannya oleh masing-masing pihak yang terlibat. Pengejawantahan dari diksi “diketahui” ini, mencakup ukuran, takaran atau satuan yang dipergunakan. Tidak boleh mencampurkan antara rupiah dan dolar, atau emas dengan uang. Seluruhnya harus diketahui secara ma’lum, tanpa adanya unsur nilai kemungkinan (taksiran lain)
 
3. Jika modal yang diserahkan adalah berupa barang wujud dan bukan dalam bentuk utang
 
4. Wajib ditentukan waktu serah terimanya modal dari pemodal ke pengelola (mudharib). Makna dari syarat keempat ini adalah, bahwa penyerahan modal tidak harus seketika di dalam majelis, melainkan boleh dikucurkan kepada mudharib secara bertahap. 
 
KeduaSyarat Khusus Berkaitan dengan Keuntungan
 
Para fuqaha’ mensyaratkan beberapa ketentuan terkait dengan penyaluran keuntungan (ribhun) dari usaha sejak awal transaksi, yaitu: 
 
1. Jika bagian masing-masing pihak (pemodal dan pengelola) ditentukan secara maklum oleh keduanya di majelis akad. Misalnya, untuk pemodal, akan mendapatkan persentase keuntungan sebesar 70 persen, dan sisanya dimiliki pengelola. Ketetapan rasio ini harus disepakati saat berlangsung transaksi.
 
2. Nisbah bagi hasil dari keduanya harus bisa dihitung secara pasti oleh keduanya. 
 
3. Keuntungan yang dibagi adalah keuntungan dari hasil usaha yang dijalankan, bukan keuntungan yang diperoleh dari jalur lain di luar akad
 
Menilik dari keterangan ini, maka akad mudharabah tidak sah hukumnya bila pihak pengelola sudah ditetapkan bagiannya dalam jumlah tertentu atas pengelolaannya, karena ia bukan seseorang yang berlaku sebagai pihak yang disewa, melainkan pihak pengelola. Misalnya: pihak pengelola akan menerima nisbah bagi hasil sebesar 10 juta setiap bulannya atau 100 juta karena kerja yang dilakukan. Penetapan seperti ini termasuk sama saja mendudukkan pengelola sebagai pihak yang digaji dalam akad ijarah (sewa jasa), dan bukan sebagai mudharib dari suatu modal sehingga berhak menerima nisbah bagi hasil. 
 
Ketiga, Syarat Khusus yang Berlaku atas ‘Amal (Kerja Mengelola)
 
Para fuqaha’ berpendapat bahwa ‘amal (kerja dalam rangka mengelola modal) merupakan salah satu rukun mudharabah. Oleh karena itu, maka bentuk pekerjaan ini harus bisa diklasifikasi dan ditetapkan batasannya.
 
1. Mengerjakan dan mengelola modal merupakan beban wajib seorang pengelola dan bukan tanggungan dari pihak pemodal. Ikut campurnya pemodal dalam kerja pengelolaan modal oleh pihak pengelola dipandang oleh mayoritas ulama sebagai pembatal bagi syarat sah akad, kecuali ulama mazhab Hanbali yang membolehkan. 
 
2. Ketidakbolehan ikut campur pemodal terhadap usaha yang dilakukan oleh pengelola adalah dalam rangka menghindari peluang bagi pemodal untuk mempersempit ruang gerak dan kerja dari pihak yang dimodali. 
 
3. Sementara itu para ulama dari kalangan mazhab Hanbali menetapkan kebolehan itu namun dengan syarat pihak pemodal mematuhi deskripsi kerja yang harus diperankan masing-masing. Dengan kata lain, apabila pihak pemodal turut serta dalam kerja pengelolaan, maka dia berperan selaku pihak yang digaji (karyawan), sementara hak penuh pengelolaan adalah tetap berada di tangan pemodal. 
 
Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur