Syariah

Hubungan Pematokan Harga (Tas’ir) dan Rasio Suku Bunga Perbankan

Sel, 7 Januari 2020 | 06:30 WIB

Hubungan Pematokan Harga (Tas’ir) dan Rasio Suku Bunga Perbankan

Alasan penetapan rasio suku bunga oleh Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter terhadap sistem keuangan dilatarbelakangi oleh kemungkinan bank jejaring melakukan praktik menaikkan laba yang dipungutnya karena potensi monopoli keuangan yang dilakukannya.

Bank Indonesia merupakan bank sentral yang berkedudukan di Indonesia yang memiliki tugas utama sebagai pemegang hak otoritatif dalam dunia moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Keberadaannya wajib ada karena lalu lintas keuangan perdagangan internasional harus melalui peran lembaga ini.

Tanpa eksistensi Bank Indonesia, devisa negara sulit diselamatkan. Tanpanya, daya beli keuangan negara dapat terancam karena mudahnya mata uang asing masuk ke negara tersebut. Maka dari itulah, guna menjaga daya saing dan kekuatan mata uang suatu negara, setiap negara selalu punya bank sentral.

Tugas utama Bank Indonesia dalam negara adalah mewujudkan maslahah umum yaitu menjaga stabilitas moneter dan menjaga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan. Begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan suatu negara akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan.

Tidak stabilnya sistem keuangan dalam suatu negara dapat diakibatkan oleh banyak faktor, di antaranya: 1) akibat gejolak politik dalam negeri, 2) kepercayaan pelaku pasar, 3) kurs valuta asing, 4) suku bunga bank dan 5) persaingan usaha. Kelima faktor ini membutuhkan respon cepat oleh negara, dengan instrumennya, yakni Bank Indonesia, dengan berbekal survei yang dilakukannya.

Untuk mengendalikan situasi keuangan sebuah negara dengan cepat, Bank Indonesia memerlukan sebuah instrumen lain pengendalian (intervensi/tadakhul) yang memiliki sifat dapat mencakup seluruh elemen perbankan yang ada di bawahnya. Karena pengendalian ini berkaitan dengan jasa, maka sudah barang tentu pengendalian itu harus berkaitan langsung dengan kebijakan penetapan laba (marjin keuntungan) yang boleh diambil oleh bank jejaring atas jasa yang diberikan. Kebijakan penetapan laba jasa ini selanjutnya dinamakan dengan istilah suku bunga acuan.

Labanya telah dipatok terlebih dahulu sehingga pematokan laba ini sudah barang tentu sama dengan istilah tas’ir jabary, yaitu kebijakan pengendalian harga secara paksa oleh pemerintah atau pihak yang berwenang dan menjadi tangan kanan dari negara. Dalam istilah fiqih, tas’ir jabary ini selanjutnya dibahasakan sebagai:

هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم

Artinya, “Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan harga dirham tertentu,” (Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Anshari Ar-Rasha’[w. 894 H], Syarh Hudud Ibnu Irfah, [Beirut, Dârul Gharb Al-Islamy: 1993], juz II, halaman 356).

Syekh Zakaria Al-Anshary, dalam kitabnya Asnal Mathalib, mendefinisikan sebagai:

أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا

Artinya, “Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu,” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhatut Thalib, [Beirut, Dârul Kutub Al-Ilmiyyah: tt], juz II, halaman 38).

Sebenarnya, ditilik dari sisi sejarah, kebijakan pengendalian harga (tas’ir jabary) ini pernah ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika di Madinah. Hal ini tercermin dalam hadits yang diriwayatkan dari jalur sanad Anas bin Malik berikut ini:

غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي 

Artinya, "Suatu ketika terjadi krisis di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan harga-harga barang, ‘Andaikan tuan mau menetapkan harga barang?’ Beliau menjawab, ‘Sungguh Allah SWT Zat Yang Maha Mengendalikan, Maha Menebar Rezeki, Maha Pemberi Rizki dan Maha Penentu Harga. Sungguh aku juga berharap jika Allah SWT memperkenankanku untuk menurunkan harga dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan suatu kezaliman yang aku perbuat atas dirinya, terhadap darah dan juga hartanya,’” (HR Imam lima selain An- Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizi).

Menilik secara harfiah dari hadits di atas, dapat diketahui bahwa tas’ir itu sebenarnya juga dikehendaki oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau tidak melakukan sebab inflasi dan deflasi harga merupakan sebuah mekanisme yang berlangsung alami (sunnatullah). Oleh karena itu, suatu ketika ia akan menemui titik equilibrum (iqtishad) dengan sendirinya. Yang menentukan harga menuju titik equilibrum adalah Allah Dzat Yang Maha Penentu Harga (Al-Mus’ir), yang dalam bahasa ekonomi barang kali dapat disebut dengan istilah invisible hands (tangan tidak tampak).
 

Secara eksplisit, hadits di atas juga menyatakan bahwa intervensi terhadap harga merupakan sebuah perilaku kezaliman. Kezaliman inilah yang merupakan bibit timbulnya krisis ekonomi di masyarakat. Hal ini sebagaimana pendapat dari Imam Ibnu Qudâmah Al-Maqdisy rahimahullah:

التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً

Artinya, "Tas'ir merupakan salah satu penyebab timbulnya inflasi harga, karena tabiat para pelaku jual beli ‘jalab’ (talaqqy rukban)–makelar–biasanya, ketika sampai kepada mereka [berita harga di pasaran], maka mereka tidak akan mendatangkan dagangan mereka ke negara yang mereka benci melakukan transaksi di dalamnya sebab tidak sesuai dengan harapannya. Bagi pemilik barang, mereka melakukan penahanan barang, menimbunnya, sementara konsumen banyak yang sedang mencari barang, dan mereka tidak menemukannya di pasaran kecuali dalam jumlah minim. Akibatnya, mereka terpaksa menaikkan harga untuk mendapatkannya. Akhirnya terjadilah kenaikan harga, yang berakibat merugikan kedua pihak yang sedang bertransaksi, yakni di satu sisi, pihak pemilik barang dirugikan sebagai konsekuensi penahanan barang miliknya, dan di sisi yang lain adalah pembeli sebagai konsekuensi tertahannya ia dari mendapatkan barang yang dibutuhkan. Maka dari itulah, hukum tas’ir adalah haram,” (Ibnu  Qudâmah Al-Maqdisy, Al-Mughny Syarah Matn Al-Kharâqy,  [Kairo, Thab’ah Maktabah Al-Qâhirah: 1970], juz IV, halaman 240).
 

Adapun pada akhirnya, kebijakan tas’ir ini diperbolehkan karena kondisi adanya penindasan oleh pelaku pasar disebabkan monopoli (melalui ihtikar misalnya) yang dilakukannya. Bagaimana pun juga, tindakan monopoli itu merupakan yang bertentang dengan nushushus syari’ah disebabkan unsur ketidakadilan dan penindasan terhadap konsumen. Sementara itu, syariat mewajibkan penjagaan harta. Itu sebabnya kemudian muncul hukum kebolehan melakukan tas’ir, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily sebagai berikut:

ثم أفتى الفقهاء السبعة في المدينة بجوار تدخل الدولة لتسعير الحاجيات ووضع حد لجشع التجار، ومنع الغبن، لأنه يجب أن يكون الثمن عادلاً غير مجحف بالبائع والمشتري. وبه يتبين أن مبدأ الحرية الاقتصادية أصبح مقيداً فيما يجيزه تشريع الإسلام من نشاط اقتصادي اجتماعي للأفراد، ولايجوز للإنسان الخروج عليه كالتعامل بالربا والاحتكار ونحو ذلك

Artinya, “Para ahli fiqih Madinah telah berfatwa akan kebolehan intervensi negara dalam melakukan pematokan harga terhadap barang-barang pokok, menetapkan batasan pengendalian guna melindungi konsumen dari ketamakan para pedagang dan mencegah terjadinya kecurangan. Semua ini dilatarbelakangi oleh keharusan bahwa harga yang terbentuk di masyarakat hendaknya berlangsung equilibrum (adil), tidak menyisakan jurang pemisah (gap) antara penjual dan pembeli. Dengan landasan ini, maka menjadi jelas bahwa prinsip dasar kebebasan ekonomi adalah harus bersifat dapat dibatasi dalam bingkai  yang dibolehkan oleh syariat Islam, termasuk di dalamnya aktifitas-aktifitas individu yang mempengaruhi ekonomi masyarakat. Segala aktifitas ini tidak boleh keluar dari batas-batas syariat, sebagaimana praktik riba, monopoli dan sejenisnya,” (Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Dârul Fikr: tanpa tahun], juz VII, halaman 4998-4999).

Nah, alasan penetapan rasio suku bunga oleh Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter terhadap sistem keuangan dilatarbelakangi oleh kemungkinan bank jejaring melakukan praktik menaikkan laba yang dipungutnya karena potensi monopoli keuangan yang dilakukannya. Agar praktik itu tidak terjadi, maka dibutuhkan instrumen pengendalian seiring kebutuhan masyarakat (hajatun nas) terhadap perbankan ini sebagai yang tidak bisa dihindari (dharury). Di sisi lain, pematokan ini juga dengan tetap menjaga hak lembaga jasa perbankan untuk mendapatkan keuntungan dari jasa yang diberikan. Jadi, ada dua kutub perhatian oleh bank sentral dalam hal ini, yaitu menjaga konsumen perbankan dan sekaligus hak penyedia jasa perbankan tersebut. Wallahu a’lam bis shawab.
 
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur