Syariah

Hukum Hadiah Lomba Ketepatan Memanah, Menembak, atau Bowling

Sen, 2 November 2020 | 16:44 WIB

Hukum Hadiah Lomba Ketepatan Memanah, Menembak, atau Bowling

Legalitas perlombaan lempar panah atau semacamnya wajib menjauhi 3 karakteristik: judi, undi nasib, undi panah.

Yang dimaksud dengan adu ketepatan dalam tulisan ini adalah beradu dalam ketangkasan membidik sasaran dengan panah, atau perlombaan sejenis lainnya seperti menembak dan bowling. Di dalam Islam, prinsip mengenai lomba adu ketepatan ini digambarkan oleh syariat dalam wujud perlombaan memanah (al-ramyu). Sudah banyak dalil sharih yang menjelaskan mengenai kebolehan praktik al-ramyu ini, sehingga penulis tidak lagi perlu menyampaikannya.

 

Adu ketepatan lempar panah dan cabang sejenisnya baru dilarang bila mengandung unsur al-maisiru (judi), al-anshab (undi nasib), atau al-azlam (undi nasib dengan panah). Umumnya, dalam teks fiqih, ketiga konsep terakhir ini dikemas dalam satu istilah yaitu gharar (ketidakpastian), sebagai lawan dari sifat kepastian (ma’lum).

 

Nah, karena di dalam tulisan sebelumnya sudah disampaikan bahwa ‘iwadl (hadiah) dalam sebuah perlombaan merupakan cabang dari jual beli (bai’) dan sewa jasa (ijarah), maka syarat kepastian (ma’lum) ini merupakan yang wajib ada. Dengan demikian pula, karakteristik gharar (spekulatif) dan perjudian juga meniscayakan untuk ditiadakan dari lomba tersebut.

 

Dasar utama wajibnya meniadakan unsur-unsur tersebut adalah perintah Allah subhanahu wata’ala:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, undi nasib, lempar panah, merupakan yang najis dan termasuk bagian dari perbuatan setan. Maka jauhilah supaya kalian menjadi orang yang beruntung.” (QS al-Maidah [5]: 90).

 

Dalam ayat ini perintah menjauhi disampaikan secara tegas. Alhasil, legalitas perlombaan lempar panah wajib menjauhi 3 karakteristik dari praktik di atas, yaitu: judi, undi nasib, undi panah.

 

Ciri khas dari judi, dalam suatu aktivitas sama-sama melempar panah ke suatu sasaran (gharadl), adalah:

 

  1. Semua peserta menyodorkan harta yang dikumpulkan menjadi satu
  2. Sifat memilikinya harta ini tidak pasti. Bila akad ijarah (sewa-menyewa) menghendaki adanya kepastian siapa pihak penyewa dan siapa yang disewa, dalam perjudian, semua berperan selaku penyewa antara satu sama lain. Tandanya, semua menyerahkan harga sewa (iwadl) ke bandar.
  3. Ketentuan pemenang dalam judi menggunakan lempar panah adalah ditetapkan melalui pola pelemparan ke sasaran secara spekulatif. Alhasil, ada lebih dari satu tindakan gharar (spekulatif), yaitu (a) gharar dalam melempar dan (b) gharar dalam ‘iwadl.

 

Agar perlombaan lempar panah ini tidak sama dengan judi maka masing-masing unsur gharar ini mesti dihilangkan. Tata cara penghilangan ini, selanjutnya dikenal sebagai syarat sah lomba panahan, antara lain sebagai berikut:

 

  1. Pihak peserta lomba merupakan seorang yang terlatih dengan baik (atlet). Keberadaan sifat terlatih ini untuk menghilangkan asumsi terjadinya praktik gharar pada pelaku, yakni sebagai orang yang melakukan lemparan secara spekulatif.
  2. Jarak sasaran antara peserta satu dengan peserta lainnya harus sama. Syarat ini untuk menghindari terjadinya praktik kecurangan (ghabn) sebagaimana ini merupakan karakteristik dari judi (‘udwanan).
  3. Situasi yang melingkupi perlombaan harus netral dan semata-mata merupakan perlombaan adu ketepatan membidik sasaran. Bahkan, seandainya ada faktor eksternal yang mengganggu jalannya perlombaan, maka lemparan (pembidikan) harus diulang kembali. Contoh faktor luar ini adalah gangguan embusan angin.
  4. Jenis busur panah (qaus) dan anak panah (sahmun) harus standar. Namun, dalam konteks ini, ada salah satu ulama yang meng-ihtimal-kan. Maksud dari ihtimal ini, adalah bahwa untuk jenis busur tertentu, asalkan dibuat untuk karakteristik bidikan yang sama (semisal, untuk karakteristik bidikan jarak 100 meter), maka masih diperbolehkan jika memang sama peruntukannya, sebab ada faedah pada manfaat jihad, yaitu uji bagus-bagusan produk busur. Mungkin, kalau dalam era modern sekarang adalah uji bagus-bagusan produk kaliber senapan.
  5. Syarat cara melempar atau memanah atau membidik juga wajib ditetapkan, misalnya: sifat bidikan spontan (mubadarah), bidikan mengincar, jumlah anak panah untuk tiap kali bidikan, dan sejenisnya. Sebab, adakalanya cara membidik dilakukan dengan 3 anak panah sekaligus, atau bahkan 10 anak panah sekaligus. Berapa masing-masing yang paling banyak tepat sasaran, dan sejenisnya, harus ditentukan sejak awal. Jika tidak, dikhawatirkan menyerupai undi nasib (anshab) atau azlam (ramalan nasib).
  6. Semua peserta perlombaan harus mengetahui bagaimana kategori lomba ini diperlombakan.

 

Alhasil, jika mencermati syarat tersebut maka unsur pelaku judi yang bersifat sebagai personal yang melakukan spekulasi (untung-untungan) saja menjadi terkecualikan, sebab tidak masuk dalam kriteria perlombaan.

 

Bukankah dalam judi ada pihak yang terlatih juga?

 

Pertanyaan ini memang ada benarnya. Bahkan satu-satunya pintu masuk yang memungkinkan seorang penjudi masuk adalah kriteria terlatih, sehingga menyerupai ajang perlombaan. Seorang penjudi yang kerap melakukan perjudian, maka dia akan menjadi terlatih untuk melakukan spekulasi. Dan ini sudah banyak dipahami oleh semua orang.

 

Untuk itu agar benar-benar berbeda dari praktik perjudian, maka diberlakukanlah syarat ‘iwadl yang mana polanya menyerupai praktik musabaqah (perlombaan adu cepat) sebagaimana yang telah kita bahas terdahulu, yaitu:

 

  1. Hadiah (‘iwadl) harus berasal dari salah satu pihak yang berkompetisi. Iwadl ini dalam kedudukannya tetap dipandang sebagai relasi akad ijarah, sebagaimana praktik musabaqah dan al-ramyu ini dicabangkan.
  2. Hadiah boleh diambil dari peserta dengan syarat, adanya muhallil, yaitu pihak yang tidak dipungut biaya pendaftaran, namun ia juga berhak menang. Relasi akad yang terjadi dalam konteks ini adalah relasi akad ju’alah (sayembara/adu prestasi).
  3. Jika hadiah berasal dari pihak sponsor maka ajang perlombaan tersebut merupakan yang masuk dalam relasi akad ju’alah murni.

 

Hadiah Diperoleh dari Gabungan Biaya Pendaftaran Peserta dan Sponsor

Jika hadiah dalam sebuah perlombaan, baik lewat adu cepat (musabaqah) maupun adu ketepatan, atau adu keterampilan, diperoleh dari dana pihak ketiga (misalnya dari pemerintah, dana pribadi perseorangan Muslim, atau dari perusahaan pemberi sponsor), maka tidak diragukan lagi bahwa hadiah ini adalah sah menurut syara’. Akad perlombaan tersebut menjadi akad ju’alah.

 

Persoalannya, bagaimana bila hadiah itu diperoleh dari gabungan antara biaya pendaftaran dan sponsor? Di sini timbul kontroversi sehingga memerlukan perincian. Berikut ini, merupakan yang berhasil penulis rangkum secara garis besarnya dengan memperhatikan sejumlah pandangan ulama:

 

Pertama, umumnya pola pemberian hadiah di sini disampaikan dalam bentuk terpisah, yaitu hadiah yang diperoleh dari peserta yang dirupakan satu produk, kemudian hadiah yang diberikan oleh sponsor yang juga dirupakan satu produk. Jadi, seolah ada 2 produk terpisah.

 

Jika diperinci semacam ini, maka hadiah yang diperoleh dari biaya pendaftaran peserta, hukumnya adalah sama dengan hadiah perjudian. Lain halnya dengan hadiah yang diperoleh dari sponsor, maka hukumnya adalah sah.

 

Alasannya, harta yang dijadikan hadiah, bukan termasuk harta gabungan (mal syuyu’), melainkan harta yang bisa dipisah (mal mujawir) atau (mal mukhtalith). Alhasil, selagi harta yang bisa dipergunakan untuk hadiah itu bisa dipilah mana hadiah yang masuk kriteria judi, dan mana hadiah yang masuk kriteria sponsor, maka memerinci hukumnya sebagaimana di atas, adalah yang lebih kuat berdasarkan literasi.

 

Kedua, apabila hadiah dari sponsor itu dicampur menjadi satu dengan uang hasil pendaftaran, sehingga tidak lagi bisa dibedakan antara mana yang dari peserta dan mana yang dari perusahaan, kemudian uang itu digunakan untuk membeli hadiah, maka dalam konteks semacam ini, hadiah itu menjadi sah hukumnya.

 

Alasannya, sebab illat iwadl perjudian menjadi hilang dengan masuknya sponsor. Harta hadiah merupakan mal syuyu’ (harta bersama) yang tidak bisa dibedakan lagi mana harta sponsor dan mana harta dari pendaftaran peserta.

 

Sebagai catatan bahwa yang dimaksud sebagai pihak sponsor adalah tidak harus berupa perusahaan, melainkan juga bisa dari pemerintah, perseorangan yang tidak ikut lomba, dan lain sebagainya. Pihak pemberi sponsor umumnya hanya berlaku sebagai pemberi tambahan dana hadiah, atau bahkan yang menyediakan hadiah/doorprize.

 

Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim