Syariah

Hukum Investasi pada Reksadana Campuran

Kam, 6 Agustus 2020 | 15:00 WIB

Hukum Investasi pada Reksadana Campuran

Yang terpenting dari ikut serta dalam reksadana campuran adalah: ada atau tidak unsur maisir (spekulasi, judi), riba, gharar (penipuan), ghabn (curang), jahl (ketidaktahuan, ketidakjelasan) pada efek yang dijadikan instrumen investasi?

Sebagaimana kita ketahui bahwa reksadana pada dasarnya merupakan instrumen investasi. Sebagai instrumen, ada ruang usaha yang dimilikinya. Selama ini, berdasar ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, ruang gerak investasi reksadana dibedakan menjadi beberapa kelompok, antara lain reksadana saham, reksadana obligasi, dan reksadana pasar uang (deposito. Investasi pada tiap-tiap portofolio efek ini dikenal dengan istilah reksadana pendapatan tetap.

 

Mengapa disebut reksadana pendapatan tetap? Sebab, setiap efek yang menjadi portofolio investasi menjanjikan pendapatan yang serba tetap. Misalnya untuk deposito, ada pendapatan tetap di sana yang dipengaruhi oleh bunga atau imbal hasil, baik dari konsep ijarah maupun konsep jualah. Hukum terkait dengan deposito ini diperselisihkan oleh para ulama, dan untuk lebih amannya, kita mengikut pada ulama yang membolehkan. Alhasil, kita mengikuti pendapat yang menyatakan imbal hasil berupa pendapatan tetap (flate rate).

 

Risiko kerugian yang dihadapi lewat investasi pada “reksadana pendapatan tetap” ini cenderung low risk (risiko rendah) sehingga menjadi pilihan teraman bagi investor pemula yang takut mengalami kerugian. Masih baru punya modal, tahu-tahu bangkrut kan susahnya tu di sini. Iya bukan?

 

Akan tetapi, imbal hasil rendah semacam ini kurang memberikan tantangan bagi pihak yang berduit dan punya modal besar. Akhirnya keluar produk reksadana campuran. Di dalam reksadana campuran ini, portofolio efek yang dijadikan instrumen investasi juga merupakan gabungan dari tiga komposisi yang ada, yaitu saham, obligasi dan deposito. Ketiganya, sama-sama menjanjikan hasil yang tetap sesuai nisbah bagi hasil yang dijanjikan oleh perusahaan penerbit efek. Anda paham, bukan?

 

Ingat bahwa saham itu adalah unit penyertaan modal kepada suatu badan usaha. Jika badan usaha itu menerbitkan saham dengan janji bagi hasil 30% untuk investor dan 70% untuk pemilik, maka ada peluang mendapatkan 30% pendapatan, bukan? Sifat janji ini berlangsung tetap selama masa berlakunya efek/saham tersebut. Demikian juga dengan obligasi. Itulah sebabnya, keduanya juga disebut dengan pendapatan tetap.

 

Apakah janji bagi hasil (tahdid al-ribhi) semacam ini dibolehkan dalam syariat? Syekh Ahmad Tanthowi menyampaikan:

 

فلا بأس أن نحتاط للمالك فنحدد الربح حتى لا يتردد في المساهمة في هذه الصفقات التي تعود على العامل وعلى المجتمع بالخير

 

“Tidak apa-apa memberikan janji kepercayaan kepada pemilik modal berupa penetapan besaran keuntungan (tahdid al-ribh) supaya tidak ragu dalam keikutsertaannya andil saham atas suatu objek usaha. Meskipun janji itu pada akhirnya kembali kepada pihak pelaku usaha (sebagai kewajiban secara khusus) dan kepada komunitas usaha yang terlibat (secara umum) demi kebaikan usaha.” (Shalahuddin Sulthan, Al-Azmatu al-‘Alamiyyah wa al-Mudlarabah al-Syar’iyyah Badilan ‘Ani al-Wadai’ al-Bankiyyah wa al-Ta’minat al-Tijariyah, Makalah disampaikan dalam Forum Kajian ke-19 yang diselenggarakan oleh Majelis Eropa untuk Fatwa dan Kajian, pada Tanggal 30 Juni – 4 Juli 2009 M, halaman 46).

 

Namun, baik saham maupun obligasi cenderung bersifat fluktuatif harganya tergantung pada sentimen pasar terhadap perusahaan penerbit. Jika perusahaan bergerak dalam sektor tertentu dan dia terancam ambruk usahanya disebabkan krisis moneter atau pandemi covid (misalnya), sudah barang tentu pendapatan bagi hasilnya di akhir tahun besar kemungkinan akan merosot juga, bukan? Itu sebabnya ada aksi jual dan aksi borong. Nah, ini yang menjadikan saham dan obligasi merupakan objek investasi yang masuk kelompok berisiko tinggi (high risk). Namun, risiko tinggi ini tidak mempengaruhi soal bagi hasil dari saham. Risiko tinggi itu hanya terjadi bila saham dan obligasi itu ditradingkan. Jelas, bukan? Mengapa? Karena dalam setiap saham, berapapun harganya di pasaran, ia tetap merupakan surat berharga dengan janji nisbah bagi hasil (deviden) karena keberadaan akad syirkahnya. Bagaimana? Sudah jelas?

 

Bagi investor yang tidak peduli terhadap kondisi yang melingkupi sektor usaha, dia tidak perlu repot-repot melakukan aksi jual atau beli dalam trading. Baginya, yang penting dapat hasil (deviden) dari perusahaan yang menerbitkan efek berupa saham dan obligasi saja, sudah cukup. Tinggi atau rendah, tak jadi soal. Iya, bukan?

 

Sudah barang tentu, bagi orang yang berduit, sikap yang demikian, bukan ciri khas petulang (adventurer). Seorang petualang harus berani menempuh risiko guna mendapatkan pendapatan yang tinggi. Akhirnya, pilihannya jatuh pada melakukan kombinasi investasi. Ya di saham, ya di obligasi, dan ya di pasar uang (deposito). Apakah ini tipe anda? Mungkin sebagian adalah iya, dan sebagian yang lain tidak.

 

Tapi, usaha dengan mengambil jalur menempuh risiko tingi semacam ini juga tidak dilarang oleh syariat selagi caranya benar dan sesuai dengan syariat, bukan? Tentunya, komponen-komponen penyusun tamwil dan investasi dipenuhi, sebab kita bicara soal reksadana, yang berarti berbicara soal investasi. Syarat-syarat tersebut, adalah:

 

  1. Ada bidang usaha yang dijalankan (badan tamwil)
  2. Adanya penyerahan modal dari investor ke perusahaan
  3. Adanya bagi hasil yang diketahui
  4. Yang terpenting adalah bidang usaha itu bergerak dalam perkara yang tidak diharamkan oleh nash

 

Tanpa keberadaan empat hal ini, maka investasi itu tidak sah/rusak. Syekh Ali Jum’ah di dalam Kitabnya Al-Kalimu al-Thayyibu menyebutnya sebagai mudlarabah fasidah, atau ijarah fasidah.

 

Multiakad pada Reksadana Campuran

Investasi pada reksadana campuran hukum asalnya adalah boleh, selagi di dalam objek yang dijadikan instrumen tidak ada unsur maisir (judi), gharar (spekulatif/penipuan), ghabn (pengelabuan), dlarar (merugikan), riba (utang menarik kemanfaatan) dan unsur majhulah (ketiidaktahuan pengupahan dan lainnya). Jika terdapat illat-illat larangan ini, maka sudah pasti langsung diputus haram.

 

Mungkin yang membuat ragu sejumlah pihak, adalah satu akad investasi, namun objeknya banyak, menjadikan kesangsiannya karena dianggapnya sebagai multiakad. Multiakad ini bahasa arabnya adalah uqudu al-mujtami’ah.

 

Perlu diketahui bahwa yang dilarang dalam syariah itu adalah uqudu al-murakkabah(akad gannda/hybrid contract), dan bukan uqudul mujtami’ah. Uqudu al-murakkabah inipun masih dibolehkan asalkan akad tersebut tidak saling mutanafi (meniadakan) atau mutanaqidl (saling bertentangan). Misalnya akad ijarah dengan akad jual beli, yang dikumpulkan menjadi satu. Akad seperti ini tidak diperbolehkan sebab antara akad ijarah (sewa) dan jual beli merupakan yang saling menafikan dan bertentangan. Akad jual beli menghendaki perpindahan kepemilikan, sementara akad ijarah (sewa) tidak ada perpindahan kepemilikan.

 

Akad yang tergabung dalam reksadana campuran sebagaimana digariskan di atas, hanya memerlukan perincian alokasi porsi modal yang disetorkan oleh investor. Perincian semacam ini dikenal dengan istilah tafriq al-shafqah (rincian alokasi). Misalnya, 70% modal dialokasikan ke deposito, 15% ke saham dan 15% ke obligasi. Hal semacam ini adalah dibolehkan oleh syariat, dan syarat alokasi semacam ini merupakan perintah yang harus dilakukan oleh seorang wakil atau amil (Manajer Investasi/MI).

 

Syarat Pembatasan Alokasi Dana pada Reksadana Campuran

Masalah yang lain adalah, di dalam reksadana campuran, adalah terdapat pembatasan pengalokasian modal. Menurut UU Nomor 8 Tahun 1995, disyaratkan bahwa suatu modal tidak boleh disertakan melebihi porsi 80% ke salah satu efek. Suatu misal ke saham, ditetapkan syarat bahwa maksimal dana yang boleh dialokasikan adalah sebesar 79%. Sisanya, harus dialokasikan oleh investor ke dua efek lainnya, yaitu deposito dan obligasi. Pertanyaan yang sering muncul, adalah apakah pembatasan ini bertentangan dengan konsepsi fikih? Sudah barang tentu, hal ini adalah boleh, seiring konsepsi pengalokasian dana yang sudah dibahas di muka.

 

Catatan

Yang terpenting dari ikut serta dalam reksadana campuran ini, adalah, perhatikan:

 

  1. Ada atau tidak unsur maisir (spekulasi, judi), riba, gharar (penipuan), ghabn (curang), jahl (ketidaktahuan, ketidakjelasan) pada efek yang dijadikan instrumen investasi?
  2. Relasi yang anda bangun bersama manajer investasi itu seperti apa? Akad wakalah atau akad qiradl?
  3. Pahami mekanismenya, agar anda tidak tertipu. Ketidaktahuan anda terhadap mekanisme reksadana ini yang kerap menggiring seseorang pada rasa tertipu.
  4. Cermati, bahwa anda adalah investor. Tanpa aksi jual atau borong pun, anda sudah layak dapat keuntungan dari deviden saham, obligasi dan deposito yang anda miliki dan beli dari Perusahaan Penerbit Efek. Itu pun jika anda bersabar. Ketidaksabaran menunggu saat pembagian deviden itu yang kerap menjadikan seseorang nekad menjual atau membeli saham dalam pasar berjangka sehingga berujung bangkrut sehingga kolaps.
  5. Ingat, beberapa perusahaan di Indonesia itu diakuisisi oleh pengusaha dari Amerika atau dari negeri lainnya, adalah juga lewat pasar berjangka. Itu sudah pasti karena mereka tidak terbawa nafsu untuk melakukan aksi jual atau borong. Sabar dalam satu efek saham, itu adalah kunci keberhasilan.

 

Wallahu a’lam bish shaawab

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim