Syariah

Hukum Jual Beli Barang Hasil Curian

Ahad, 6 Oktober 2019 | 02:00 WIB

Hukum Jual Beli Barang Hasil Curian

Di antara syarat seseorang menjual barang adalah ia punya hak penuh atas barang tersebut.

Syariat Islam sejatinya telah mengatur berbagai ketentuan dalam menyikapi setiap problem yang terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk dalam hal transaksi jual beli. Dalam salah satu hadits dijelaskan:
 
لاَ بَيْعَ إِلاَّ فِيمَا تَمْلِكُ
 
“Tidak ada jual beli kecuali pada harta yang engkau miliki” (HR. Abu Daud)
 
Berdasarkan hadits ini dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan menjual barang yang bukan milik kita sendiri. Lantas apakah menjual barang hasil curian termasuk dalam larangan hadits di atas?
 
Baca juga:
 
Dalam istilah fiqih, menjual harta milik orang lain dikenal dengan istilah bai’ fudluli. Dalam kitab Dalil al-Muhtaj Syarh al-Minhajbai’ fudluli diartikan sebagaimana berikut:
 
والفضولي هو البائع لملك غيره بغير إذنه ولا ولاية
 
Bai’ fudluli adalah ketika seseorang menjual harta milik orang lain tanpa seizinnya dan tanpa adanya hak kuasa (wilayah) pada harta tersebut” (Syekh Rajab Nuri, Dalil al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz 1, hal. 394)
 
Menjual harta hasil curian dari orang lain jelas termasuk bagian dari fudluli ini, sebab harta curian sejatinya masih milik pemilik aslinya alias korban pencurian (al-masruq minhu), sedangkan orang yang mencuri harta orang lain, selamanya tidak akan disebut sebagai pemilik harta tersebut secara syara’.
 
Para ulama menegaskan bahwa praktik bai’ fudluli ini tergolong sebagai akad yang tidak sah untuk dilakukan, sebab salah satu syarat sahnya jual-beli adalah penjual harus memiliki atas barang yang ia jual dan pembeli harus memiliki atas uang yang akan ia tukarkan pada penjual. Sedangkan dalam kasus bai’ fuduli, penjual tidak memiliki kekuasaan atas barang yang ia jual, sebab barang tersebut bukan dalam kepemilikannya. Tidak sahnya bai’ fuduli ini salah satunya seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:
 
والشرط الثالث ما ذكره بقوله (مملوك) أي أن يكون للعاقد عليه ولاية ، فلا يصح عقد فضولي وإن أجازه المالك لعدم ولايته على المعقود عليه
 
“Syarat jual beli yang ketiga adalah benda (yang diperjual belikan) harus dimiliki, maksudnya orang yang mengakadi jual-beli harus memiliki kuasa atas benda yang ia jual-belikan. Maka tidak sah akad fudluli, meskipun pemilik barang memperbolehkan padanya (untuk menjual barang tersebut), sebab ia tidak memiliki kuasa atas barang yang diakadi (ma’qud ‘alaih)” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 7, hal. 287)
Karena jual beli harta hasil curian ini tergolong jual beli yang tidak sah, maka dari aspek tidak sahnya jual beli tersebut, jual beli ini dikenal juga dengan istilah bai’ fasid. Dalam transaksi yang fasid (rusak) kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berkewajiban untuk mengembalikan barang yang telah mereka tukarkan saat akad jual-beli, sebab akad jual-beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak dianggap tidak nufudz (tidak diakui syara’), walaupun sebenarnya kedua belah pihak sama-sama merelakan barangnya untuk ditukarkan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fatawa ar-Ramli:
 
(سُئِلَ) هَلْ الْمَأْخُوذُ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ مَعَ رِضَا الْمُتَبَايِعَيْنِ حَلَالٌ أَمْ لَا ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْآخِذِ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهِ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا رَدُّ مَا أَخَذَهُ عَلَى مَالِكِهِ
 
“Apakah harta yang diambil atas jual beli yang fasid (tidak sah) besertaan kerelaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) merupakan hal yang halal atau haram?” Imam ar-Ramli menjawab: “Tidak halal bagi orang yang mengambil harta tersebut untuk membelanjakannya, sebab hal yang wajib bagi mereka berdua adalah mengembalikan setiap harta yang mereka terima kepada pemilik asal” (Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, juz 2, hal. 470) 
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menjual ataupun membeli barang hasil curian merupakan akad jual-beli yang tidak sah dan disebut juga dengan jual beli yang fasid. Sebab pencuri berkewajiban mengembalikan harta yang ia curi kepada pemiliknya. Sehingga ketika barang curian terlanjur dijual maka pencuri wajib mengembalikan kembali uang hasil penjualan tersebut kepada pembeli dan mengembalikan barang curian tersebut kepada pemilik aslinya. 
 
Jika seandainya pencuri sudah tidak mengetahui keberadaan pemilik barang yang telah ia curi, maka ia dianggap tetap memiliki tanggungan (hak adami) kepada pemilik barang. Konsekuensi dari kondisi ini mirip dengan orang yang memiliki utang. Penjelasan selengkapnya terkait hal ini, dapat disimak dalam pembahasan ‘Cara Melunasi Utang pada Orang Yang Sulit Ditemukan Keberadaannya’. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember