Syariah

Hukum Lotre untuk Kemaslahatan Organisasi

Kam, 5 September 2019 | 13:00 WIB

Hukum Lotre untuk Kemaslahatan Organisasi

Berorganisasi merupakan hal baik. Maka semestinya ditopang oleh hal-hal baik pula.

Berorganisasi merupakan pengalaman yang baik untuk bersama-sama menjalankan suatu bisnis atau memperjuangkan idealisme. Bahkan di dalam sebuah hadits disebutkan tentang anjuran Rasulullah ﷺ agar umat Islam membangun sebuah organisasi. Di dalam organisasi terdapat sebuah keberkahan, selagi tidak ada satu dari salah satu anggotanya yang berlaku khianat.
 
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: يقول الله : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه ، فإذا خان أحدهما صاحبه خرجت من بينهما. رواه أبو داود
 
Artinya: Dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Allah ﷻ berfirman: ‘Aku adalah pihak ketika dari dua orang yang bersekutu selagi tidak saling mengkhianati. Bila salah satunya telah berbuat khianat kepada sahabatnya, maka Aku keluar dari keduanya.” HR. Abu Dawud
 
Khianat merupakan penghilang keberkahan. Allah ﷻ berfirman:
 
 وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
 
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shâd [38]: 24)
 
Ayat ini secara tegas menyiratkan bahwa hukum asal dari berserikat dan berorganisasi adalah boleh. Ketidakbolehan berserikat dan berorganisasi adalah disebabkan karena adanya alasan lain berupa ‘illat keharaman. 
 
Dalam menghidupi sebuah organisasi, kadang dibutuhkan kecakapan dari seorang pemimpin. Salah satu kecakapan itu adalah berusaha menghasilkan dana organisasi. Akhirnya dilakukanlah berbagai upaya agar ada pemasukan, syukur bila dana itu kemudian menjadi dana produktif melalui usaha produktif seperti jual beli. Perlu diketahui bahwa hukum asal muamalah jual beli adalah boleh selagi tidak ditemukan illat (penyebab) keharaman.
 
Ada sebuah praktik jual beli dalam organisasi yang dilakukan melalui jalan arisan. Peserta merupakan seluruh anggota organisasi. Disebut arisan karena pihak yang mendapatkan barang adalah yang namanya keluar dalam undian (qar’un). Mekanisme yang dilakukan adalah dengan jalan semua peserta menyetorkan sejumlah uang ke bendahara, misalnya 5.000 rupiah dengan jumlah peserta sebanyak 100 orang. Setelah uang terkumpul semua, lalu ketua organisasi mengundinya. Nomor yang keluar berperan selaku pihak yang mendapatkan seluruh uang itu. 
 
Akan tetapi, uang diberikan tidak berupa uang, melainkan jenis barang tertentu yang sudah disepakati oleh peserta sebelumnya. Sebut misalnya minyak goreng. Harga eceran minyak goreng Merk X adalah 10 ribu rupiah per bungkus dan harga kulaknya sebesar 9 ribu rupiah per bungkus. Peserta sepakat bahwa pengurus organisasi yang belanja. Jika pengurus organisasi belanja dengan harga kulak, maka dia untung sebesar seribu rupiah. Selisih ini lalu dimasukkan sebagai kas organisasi. 
 
Sebagai catatan dari kasus di atas adalah bahwa semua peserta akan mendapatkan giliran mendapatkan lotre pada waktunya. Pertanyaan yang sering diajukan adalah: apakah boleh melakukan muamalah dengan model demikian?
 
Yang perlu dicatat dari kasus model demikian ini adalah:
 
1. Arisan hukum asalnya adalah boleh. 

2. Akad arisan adalah akad mudâyanah (akad utang piutang). Pihak yang mendapatkan arisan berperan selaku pihak yang berutang. Sementara anggota lainnya berperan selaku yang memberi utang.

3. Ada dua model akad utang dalam arisan:

a. Utang uang. Untuk arisan yang dianggap akad utang uang, maka disyaratkan bahwa uang yang dibawa harus sama dengan uang yang disetor, tidak lebih dan tidak kurang. Jadi, bila uang yang disetor adalah sejumlah 5 ribu rupiah, sementara jumlah pesertanya adalah 100 orang, maka sudah pasti jumlah yang harus diterima oleh peserta yang mendapatkan lotre adalah sejumlah 500 ribu rupiah. Uang ini—sekali lagi—harus diterima secara utuh tanpa berkurang sepeser pun. 
 
Adapun bila disyaratkan oleh organisasi, bahwa uang itu harus dibelikan suatu barang yang dipesan lewat pengurus, maka dalam hal ini diperlukan akad baru, yaitu akad perwakilan. Pengurus bertindak selaku wakil dari peserta yang mendapatkan lotre. Tanpa adanya akad baru, lalu tiba-tiba pengurus membelanjakannya karena sudah adanya kesepakatan di awal, maka kesepakatan semacam ini, (sejauh timbangan penulis), dapat berujung pada riba qardli, yaitu riba utang piutang. 
 
Menurut Al-Syirbini, dalam utang berupa uang, maka yang wajib dikembalikan adalah padanan nilai uang tersebut, meski uangnya sudah tidak berlaku lagi.
 
 (وَيُرَدُّ) فِي الْقَرْضِ (الْمِثْلُ فِي الْمِثْلِيِّ) لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى حَقِّهِ وَلَوْ فِي نَقْدٍ بَطَلَ التَّعَامُلُ بِهِ
 
Artinya: "Dalam qardlu (utang piutang) yang dikembalikan adalah padanannya ketika yang diutang adalah perkara yang ada padanannya (mitsli), karena hal itu adalah yang lebih mendekati untuk menngembalikan hak orang yang memberi utang, walau berupa uang yang sudah tidak laku digunakan untuk jual beli lagi" (Syamsu al-Dïn Muhammad al-Khathib al-Syirbini, Mughny al-Muhtaj, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/155)
 
b. Utang barang. Untuk kasus utang barang, maka disyaratkan bahwa barang itu telah ditentukan jenis, ukuran, dan standar harganya. Misalnya: gula 10 kilogram atau minyak goreng merk X 10 bungkus dengan “standar harga eceran” pada toko A. Sifat tertentunya toko ini untuk menghindari terjadinya “standar harga eceran” dari toko yang berbeda. Demikian juga merk dan takaran/berat barang, adalah untuk menghindari terjadinya “merk dan takaran/berat” yang berbeda. Karena minyak goreng merk X kadang harganya berbeda dengan minyak goreng merk Y, meskipun kemasannya adalah sama-sama 1 kilogram. Itulah sebabnya, ketidaksamaan pada salah tolok ukur (merk, takaran dan “standar harga eceran” toko) dapat berakibat pada tercebur akad riba al-fadli
 
Akad yang berlaku untuk model akad arisan berupa utang barang ini, adalah akad bai’ uhdah (jual beli sende). Berdasarkan akad ini, maka diperbolehkan bagi pihak pengurus untuk membelanjakan uang yang terkumpul sesuai dengan yang disepakati. Selisih dari hasil jual beli, boleh dikelola oleh pengurus. 
 
Dasar yang dipergunakan dalam hal ini adalah pendapat al-Syirbini:
 
(وَ) يُرَدُّ (فِي الْمُتَقَوِّمِ الْمِثْلُ صُورَةً) {لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اقْتَرَضَ بَكْرًا وَرَدَّ رُبَاعِيًّا وَقَالَ : إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً} رَوَاهُ مُسْلِمٌ
 
Artinya: "Sedangkan kalau yang diutang berupa barang yang bernilai (mutaqawwam) maka yang digunakan membayar adalah sesuatu yang mempunyai bentuk yang sama, karena Nabi Muhammad ﷺ pernah utang seekor unta bikru (unta yang menginjak umur 6 tahun) dan membayarnya dengan seekor unta ruba’i (unta yang menginjak umur 7 tahun), beliau bersabda: sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar utang. Hadits riwayat Imam Muslim." (Syamsu al-Dïn Muhammad al-Khathib al-Syirbini, Mughny al-Muhtaj, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/156)
 
Bagaimana bila dalam kasus di atas, ada peserta yang tidak mendapatkan lotre?
 
Bilamana terjadi kasus sebagaimana pertanyaan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa hal semacam adalah menyerupai judi (qimar) karena tersimpan di dalamnya unsur maisir (spekulatif). Dasar yang dipergunakan dalam hal ini adalah: 
 
يحرم بالإتفاق كل لعب فيه قمار وهو أن يغنم أحدهما ويغرم الآخر لأنه من الميسير أي القمار الذي أمر الله باجتنابه 
 
Artinya: “Para ulama sepakat mengharamkan semua bentuk permainan yang didalamnya ada unsur judi, yaitu: jika salah satu berperan selaku pemenang, sementara yang lain bertindak selaku yang diambil hartanya. Di dalam permainan model demikian ini, terdapat unsur maisir, yaitu judi yang mana Allah ﷻ telah memerintahkan agar menjauhinya.”
 
Semoga tulisan ini berguna bagi semua kader penggerak organisasi di mana pun berada dan dalam rupa apa pun organisasi itu. Sesuatu yang diridhai tidak mungkin dicampur dengan sesuatu yang tidak diridhai. Karena kumpulnya dua hal tersebut adalah yang mustahil bertemu dalam syariat. Wallahu a’lam bish shawab!
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur