Syariah

Hukum Menjual Material Wakaf Bangunan Lama

Rab, 28 Agustus 2019 | 12:00 WIB

Hukum Menjual Material Wakaf Bangunan Lama

Tim NU Peduli saat meninjau masjid rusak di lokasi bencana di Lombok. (Ilustrasi: NU Online)

Di beberapa daerah, perbaikan masjid atau mushala wakaf tidak bisa dihindari. Kebutuhan masyarakat yang mendesak meniscayakan bangunan lama perlu direnovasi agar lebih memadai. Pasca-pembongkaran bangunan lama, material bangunan lama seperti genteng, kayu, besi, dan lain-lain sebagian masih dapat dimanfaatkan. Namun, karena kontruksi bangunan baru spesfikasinya sudah lebih modern, menjadikan material bangunan lama tergeletak tidak terpakai.
 
Dalam titik ini muncul inisiatif dari nadzir (takmir) untuk menjual material lama agar uang hasil penjualannya dapat dialokasikan untuk membantu biaya perehaban semisal dibelikan material yang baru. Bagaimana hukumnya menjual material lama (harta wakaf) dan hasil penjualannya dibelikan material bangunan yang baru?
 
Menurut mazhab Syafi’i pada dasarnya harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dijual dan dihibahkan. Sejalan dengan pengertian wakaf sendiri yaitu menyedekahkan harta secara permanen dengan membekukan tasarufnya untuk pemanfaatan yang diperbolehkan syariat. Hal ini berlandaskan hadits:
 
وَوَقَفَ عُمَرُ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - أَرْضًا أَصَابَهَا بِخَيْبَرَ بِأَمْرِهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَشَرَطَ فِيهَا شُرُوطًا مِنْهَا أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُورَثُ وَلَا يُوهَبُ وَأَنَّ مَنْ وَلِيَهَا يَأْكُلُ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمُ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ
 
“Sahabat Umar mewakafkan tanah yang beliau dapatkan saat perang Khaibar atas perintah Nabi. Umar mensyaratkan di dalamnya beberapa syarat, di antaranya tidak boleh dijual pangkalnya, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dihibahkan, orang yang mengurusnya boleh memakan darinya dengan baik atau memberi makan kerabatnya dengan nominal sewajarnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Setelah mendengar hadits Sahabat Umar di atas, Syekh Abu Yusuf, salah satu murid utama Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, menarik diri dari pendapat gurunya yang membolehkan menjual harta wakaf. Bahkan Abu Yusuf berkata “Seandainya Abu Hanifah mendengar hadits tersebut, niscaya akan berpendapat demikian.” Riwayat ini dikonfirmasi oleh Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli dalam karyanya Nihayah al-Muhtaj sebagai berikut:
 
وعن أبي يوسف أنه لما سمع خبر عمر أنه لا يباع أصلها رجع عن قول أبي حنيفة - رضي الله عنه - ببيع الوقف وقال لو سمعه لقال به
 
“Dari Abu Yusuf, bahwa saat beliau mendengar hadits Sahabat Umar tentang larangan menjual pokok harta wakaf, beliau mencabut dari pendapatnya Abu Hanifah tentang kebolehan menjual wakaf. Abu Yusuf berkata; andai Abu Hanifah mendengarnya, niscaya beliau berkata demikian.” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 5, hal. 359).
 
Berkait dengan material bangunan lama yang masih dapat dimanfaatkan, idealnya adalah tidak dijual dan tetap dimanfaatkan untuk bangunan yang baru.
 
Disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
 
وخرج بقوله ولم تصلح الخ ما إذا أمكن أن يتخذ منه نحو ألواح، فلا تباع قطعا، بل يجتهد الحاكم ويستعمله فيما هو أقرب لمقصود الواقف.قال السبكي حتى لو أمكن استعماله بإدراجه في آلات العمارة، امتنع بيعه فيما يظهر.
 
“Dikecualikan dari ucapan Syekh Zainuddin; dan tidak layak kecuali untuk dibakar; yaitu ketika masih mungkin menjadikan dari harta wakaf itu semisal papan, maka tidak boleh dijual secara pasti. Bahkan hakim wajib berijtihad dan menggunakannya untuk pemanfaatan yang lebih dekat dengan tujuan pewakaf. Al-Imam al-Subki berkata; bahkan bila mungkin menggunakannya dengan memasukan harta wakaf dalam alat-alat pembangunan, maka tercegah menjualnya menurut pendapat yang jelas.” (Syekh Abu Bakr 'Utsman bin Muhammad Syatha' Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 3, hal.  212).
 
Namun jika tidak memungkinkan, maka wajib disimpan untuk kebutuhan masjid atau mushala yang akan datang, tidak boleh dijual atau ditasarufkan untuk membantu biaya pembangunan masjid atau mushala lain.
 
Syekh Bafadlal mengatakan:
 
ويؤخذ من جواب السائل أنه إن أمكن حفظ الأطيان المذكورة في السؤال الى وقت حاجة المسجد التي هي منه لها فيجب على الناظر حفظها ولم يجز بيعها ولا صرفها في عمارة مسجد آخر
 
“Diambil dari jawaban penanya bahwa bila memungkinkan menjaga material-material (wakaf) tersebut dalam pertanyaan sampai waktu kebutuhan masjid, maka wajib atas nadzir menjaganya, tidak boleh menjualnya, tidak boleh mengalokasikannya untuk pembangunan masjid yang lain.” (Syekh Bafadlal, Mawahib al-Fadl min Fatawa Ba Fadlal, hal.  137).
 
Adapun bila dipastikan masjid/mushala wakaf dipastikan tidak lagi membutuhkan material bangunan lama, semisal sudah terlalu kuno, maka terdapat ikhtilaf di kalangan ulama. Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, tidak boleh dijual, tapi dimanfaatkan untuk masjid/mushala lain yang membutuhkan, diutamakan masjid/mushala terdekat. Sedangkan menurut Syekh Abdullah Bamakhramah, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan material yang baru. Bahkan hukumnya bisa wajib bila dikhawatirkan tersia-sia mangkrak tanpa guna.
 
Ditegaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:
 
 (وسئل) عمن جدد مسجدا أو عمره بآلات جدد وبقيت الآلة القديمة هل تجوز عمارة مسجد آخر قديم بها أو لا فتباع ويحفظ ثمنها أو لا؟
 
“Syekh Ibnu Hajar ditanya tentang orang yang merehab masjid atau merenovasinya dengan material-material yang baru, apakah boleh membangun masjid lama yang lain dengan material tersebut? Atau tidak boleh, maka boleh dijual dan disimpan uangnya atau tidak demikian?”
 
(فأجاب) بقوله نعم تجوز عمارة مسجد قديم أو حادث بها حيث قطع بعدم احتياج المسجد الذي هي منه إليها قبل فنائها ولا يجوز بيعها بوجه من الوجوه فقد صرحوا بأن المسجد المعطل لخراب البلد إذا خيف من أهل الفساد على نقضه نقض وحفظ وإن رأى الحاكم أن يعمر بنقضه مسجدا آخر جاز وما قرب منه أولى 
 
“Beliau menjawab; benar, boleh membangun masjid lama atau baru dengan material bangunan lama ketika dipastikan ketiadaan butuhnya masjid pada material tersebut sebelum hancurnya. Tidak boleh menjualnya dengan cara apapun. Ulama menegaskan bahwa masjid yang vakum karena hancurnya negara bila dikhawatirkan dihancurkan oleh para perusak, maka wajib dibongkar dan dijaga (materialnya). Bila hakim menganggap baik material tersebut untuk pembangunan masjid lain, maka boleh. Masjid terdekat lebih utama” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 3, hal. 288).
 
Dalam himpunan fatwa Syekh Bafadlal, pakar fiqh terkenal dari Tarim Yaman disebutkan keterangan sebagai berikut:
 
أما اذا قطع بعدم احتياج المسجد التي هي منه اليها فيجوز عمارة مسجد آخر بها والقريب اولى ولا يجوز بيعها بحال. 
 
“Adapun bila dipastikan ketiadaan butuhnya masjid terhadap material-material tersebut, maka boleh membangun masjid lain dengannya, lebih utama masjid terdekat. Tidak boleh menjualnya sama sekali.”
 
وقال الشيخ العلامة عبد الله بن عمر مخرمة رحمه الله انه اذا لم تبع ضاعت او انها تتطرق اليها ايدي الظلمة ونحو ذلك جاز بل وجب بيعها ويؤخذ بثمنها مثلها ان كان يمكن حفظه ويؤمن عليه ولا أخذ به جزء عقار ونحوه مما يؤمن عليه ويمكن حفظه للمسجد الى وقت حاجته.
 
“Dan berkata Syekh Abdullah bin Umar Makhramah, bahwa bila tidak dijual akan sia-sia atau berada di tangan orang-orang zalim dan sebagainya, maka boleh bahkan wajib menjual material-material bangunan lama tersebut. Dan hasil penjualannya dibelikan material baru bila mungkin disimpan, tidak dibelikan sepetak tanah dan lainnya dari hal-hal yang aman, dan mungkin menyimpannya sampai waktu kebutuhan masjid terhadap material tersebut” (Syekh Bafadlal, Mawahib al-Fadl min Fatawa Ba Fadlal, hal.  137).
 
Kesimpulannya, menjual material wakaf bangunan lama hukumnya tidak diperbolehkan jika masih memungkinkan dipakai untuk kebutuhan masjid/mushala yang bersangkutan. Bila tidak lagi dibutuhkan maka menurut Syekh Abdullah Bamakhramah hukumnya diperbolehkan dan hasil penjualannya dimanfaatkan untuk membeli material yang baru untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fisik masjid/mushala yang bersangkutan. Sedangkan menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, hukum menjualnya haram, bahkan wajib dialokasikan untuk masjid/mushala lain yang lebih membutuhkan. Pihak takmir boleh memilih salah satu dari dua pendapat tersebut sesuai dengan pertimbangan yang menurutnya dirasa lebih maslahat.
 
 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.