Syariah

Jual Beli Utang dengan Utang: Beda Konteks Pedagang dan Non-Pedagang

Ahad, 29 November 2020 | 16:00 WIB

Jual Beli Utang dengan Utang: Beda Konteks Pedagang dan Non-Pedagang

Meski sama dalam rumpun akad jual beli utang dengan utang, kasus per kasus bisa berbeda saat konteks orang yang bertransaksi berbeda.

Ada seseorang menyampaikan pesan kepada temannya yang tengah ada di Surabaya bahwa ia sedang butuh pesawat televisi. Orang ini tinggalnya di Pulau Bawean, Gresik. Ketika menyampaikan pesan itu, pemesan meminta agar temannya tersebut menggunakan dulu uangnya, dan ia menyatakan setuju.

 

Suatu misal harga TV diketahui sebesar 1 juta rupiah. Untuk membawa TV, dibutuhkan naik taksi online, biaya charge kapal, kuli, dan sejenisnya yang ada di luar akad yang telah terjalin. Diperkirakan bahwa total harga itu mencapai 1,5 juta rupiah.

 

Setelah dihitung-hitung, pihak teman yang dipesani tersebut pada akhirnya juga berpikir. Dalam benaknya muncul angan-angan: “Biaya transportasi ini, ternyata membutuhkan 500 ribu rupiah. Belum ongkos menaikkan kapal (charge) dan kuli. Kenapa saya yang dititipi, lantas saya yang malah rugi?” Demikian ia bergumam pada dirinya sendiri.

 

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk meminta ganti bea transportasi tersebut ke pemesan. Berhubung ia tidak sempat merinci habisnya bea yang dibutuhkan, akhirnya dia putuskan untuk mengambil keuntungan dari praktik pemesanan itu. Ditetapkannyalah harga sebesar 1,8 juta, saat barang itu sampai di tangan pemesan.

 

Mengetahui bahwa promo harga TV hanya seharga 1 juta, tetapi dirinya menerima harga 1,8 juta, pihak pemesan berpikir: “Dia tega mengambil keuntungan dari akad pemesanan sahabatnya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, keuntungan itu sebesar 800 ribu rupiah.”

 

Nah, ilustrasi sebagaimana disebutkan di muka acapkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Pihak yang dipesani merasa segan  mau meminta ganti uang transportasi, yaitu sebesar 800 ribu rupiah. Sementara pihak yang memesan, terkadang juga tidak  mau tahu dengan realitas bea transportasi yang dimaksud.

 

Yang menarik, ada pihak yang mengait-ngaitkan akad di atas sebagai akad bai’un wa salafun, yaitu jual beli yang mengiringi akad pemesanan (utang). Bahkan, ada juga yang menyatakan bahwa akad tersebut adalah termasuk akad bai’ dain bi al-dain, yaitu akad jual beli utang dengan utang, lalu pihak itu menyatakan bahwa praktik tersebut adalah haram mutlak sehingga harus ditinggalkan.

 

Apakah putusan semacam ini adalah benar? Jawabnya tentu tidak sepenuhnya benar.

 

Lantas muncul balik pertanyaan, kalau begitu apakah akad tersebut diperbolehkan? Jawabnya juga sudah pasti hal itu tidak sepenuhnya mutlak diperbolehkan.

 

Baca: Penjelasan Boleh Tidaknya Jual Beli Utang dengan Utang

 

Jadi, bagaimana seharusnya kita menilai akad di atas? Untuk menjawab hal ini, langkah utama yang harus dilakukan adalah meneliti kebiasaan (‘urf) yang melatarbelakangi akad dan menyemai intisari tujuan akad (muqtadla al-’aqdi), selanjutnya mengaitkan dengan dalil larangan bai’ dain bi al-dain.

 

‘Urf yang melatarbelangi Akad

Urf merupakan sebuah kebiasaan yang sudah masyhur dan senantiasa berulang kejadiannyaa dalam kasus serupa, dalam kehidupaan keseharian. Karena menyatakan sebuah kebiasaan, kadangkala ada yang menyamakan bahwa ‘urf itu adalah adat/tradisi. Namun, jika ditelaah secara lebih spesifik, ada beda antara ‘urf dengan adat. ‘urf bersifat lebih umum dibandingkan adat. Sehingga, tidak semua ‘urf adalah adat. Namun, setiap adat, pastilah ia termasuk ‘urf.

 

Dalam kasus akad pemesanan di atas, hal pertama yang perlu kita telaah terlebih dulu, adalah status pihak yang dipesani. Apakah pihak tersebut seorang pedagang, ataukah ia sekadar orang yang kebetulan sedang main ke Surabaya? Mengapa pertanyaan ini penting untuk disampaikan? Jawabnya adalah sebab keduanya membawa ‘urf (kebiasaan) masing-masing.

 

‘urf yang berlaku pada pedagang adalah ia butuh keuntungan dari kulakan barang yang bisa dijualbelikan. Alhasil, jika ada pihak lain yang memesan kepadanya suatu barang, maka barang tersebut secara tidak langsung merupakan calon harta yang dijual olehnya sehingga mendapatkan keuntungan (ribhun). Konsep semacam ini sudah masyhur dan diakui oleh semua kalangan.

 

Sementara itu, ‘urf yang berlaku pada pelancong adalah ia pergi tidak sedang dalam rangka mencari harta dagangan yang bisa dijualbelikan. Alhasil, jika ada suatu pemesanan barang dari pihak lain, maka biasanya, ada bea lain-lain yang pasti mengiringi usaha mendapatkan barang yang dipesan itu. Adanya biaya di luar akad pemesanan bagi pelancong adalah menghendaki dihitung dan diganti pengeluarannya oleh pihak pemesan. Relasi akad penggantian ini dapat kita temui berdasarkan relasi akad dlaman (ganti ongkir) antara pemesan dan yang dipesani. Contoh dari biaya lain-lain itu adalah bea transportasi, charge kapal, ongkos kuli, dan lain sebagainya.

 

Intisari Tujuan Akad

Jika kita melihat pada bagaimana akad pada kasus di atas dibangun, maka kita bisa menarik benang merah bahwa intisari tujuan dari akad pemesanan di atas, adalah tercapainya maksud yaitu mendapatkan “barang” yang dibutuhkan oleh pemesan. Oleh karenaya, kedudukan upaya memiliki “barang” ini merupakan yang lebih dominan dibanding yang lainnya.

 

Selain itu, tujuan utama dari pihak pemesan dengan titip pembeliannya kepada temannya yang kebetulan di Surabaya, adalah karena pertimbangan faktor waktu, kesempatan, biaya, dan lain sebagainya. Alhasil, dengan jalan pemesanan itu maka ia berhemat atas waktu, kesempatan dan biaya.

 

Kedua intisari tujuan di atas merupakan faktor murajjih (penguat) bahwasanya, jika seseorang tidak bisa pergi sendiri melakukan pembelian barang ke toko penjual TV secara langsung, maka ia bisa berhemat dengan meminta pertolongan pesan barang kepada rekannya. Alhasil, sebenarnya sudah ada biaya yang disisihkan olehnya untuk disampaikan kepada pihak yang dipesani dan dipergunakan sebagai ganti ongkos transportasi mendapatkan barang.

 

Baca juga: Keabsahan Jual Beli Barang Inden

 

Kompromi antara Jual Beli Utang dengan Utang dan Intisari Akad

Dengan mencermati kedua hal yang menjadi latar belakang pihak yang dipesani, dan intisari akad pemesanan dari seseorang yang tinggal di Pulau Bawean kepada temannya yang sedang berada di Surabaya, maka secara tidak langsung akad yang terbangun dari akibat relasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

 

Pertama, relasi pemesan dan pihak yang dipesani dengan latar belakang pedagang.

 

Setiap pedagang selalu dicirikan oleh kebiasaan berupa mendapatkan keuntungan dari barang yang ia kulak dan kemudian ia jual kembali ke konsumen. Ketika seorang pedagang sedang ada di pasar, kemudian ia mendapatkan pesanan lewat telepon dari seseorang yang berada di tempat ia biasa berjualan, maka seolah arti dari pesan tersebut adalah agar ia mencarikan barang “tertentu” yang dibutuhkan oleh pemesan, untuk ia (pemesan) beli setelah barang itu datang.”

 

Status barang “tertentu” yang dipesan ini selanjutnya kita labeli sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah, yaitu barang mu’ayyan (tertentu) dengan yang bisa disifati karakteristiknya. Maqamnya terhadap harga adalah menduduki maqam mutaqawwam (komoditas) maushuf fi al-dzimmah juga.

 

Kesanggupan mencarikan barang ‘muayyan’ oleh pihak yang dipesani, mendudukkan pihak yang dipesani berperan selaku pihak yang berutang barang “mutaqawwam” terhadap pihak yang dipesani dengan jaminan berupa harga barang selaku entitas yang dijamin oleh pemesan saat terjadi kesanggupan. Alhasil, barang pesanan berupa mutaqawwam maushuf fi al-dzimmah bukanlah sesuatu yang fiktif, sebab sudah ada nilai penjaminnya, yaitu harga saat terjadi deal transaksi.

 

Sementara itu mutaqawwam maushuf fi al-dzimmahh yang disanggupi oleh pihak yang dipesani, juga bukan merupakan yang fiktif, sebab bisa diwujudkan dengan jalan membelikan.

 

Sampai di sini, ketika barang itu telah disampaikan dalam rupa “barang fisik” (ain musyahadah) kepada pihak pemesan, seolah telah terjadi pertukaran antara mutaqawwam maushuf fi al-dzimmah berjamin nilai, dengan mutaqawwam ain musyahadah.

 

Karena pertukaran terjadi antara 2 barang mutaqawwam yang salah satunya berjamin nilai, maka nilai yang diserahkan kepada pihak yang dipesani adalah nilai tunai saat terjadinya kesanggupan, dan bukan saat penyerahan barang (qabdlu).

 

Alhasil, takyif fikih di atas, tidak menyimpang dari akad salam, sebab harga yang diserahkan adalah harga saat terjadi kesanggupan. Jika saat terjadi kesepakatan, disanggupi bahwa barang akan dibeli dengan tambahan nilai 800 ribu (misalnya) dari harga beli, maka harga yang harus diserahkan oleh pemesan kepada pihak yang dipesani adalah 1,8 juta rupiah.

 

Kedua, Relasi Pemesan dan Pihak yang dipesani dengan latar belakang Bukan Pedagang

Urf dari seseorang yag bukan pedagang, saat ia dipesani barang oleh orang lain, adalah dia butuh biaya untuk mendapatkan barang pesanan tersebut. Biaya ini bisa melipuiti biaya transportasi, dan lain sebagainya.

 

Karena dia bukan seorang pedagang, maka semua biaya yang keluar akibat risiko mewujudkan pesanan, merupakan biaya yang butuh diganti, buah dari relasi langsung akad pemesanan.

 

Jika semua biaya itu tidak diganti, maka yang dikhawatirkan justru tidak ada lagi masyarakat yang  mau dipesani sebagaimana kasus serupa. Tentu ini justru menghilangkan faedah dari ta'awun (tolong menolong). Apalagi bila biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang dipesani membutuhkan cost yang besar. Sudah barang tentu, pengabaiannya justru merupakan yang berakibat mafsadah bagi pihak yang dipesani, dan justru akan membuat masyarakat lain yang berlaku sebagai pihak serupa, tidak akan  mau lagi untuk dipesani.

 

Bahkan, ongkos lelah, yang hanya untuk biaya beli es segelas sekalipun, asalkan lelahnnya itu merupakan relasi disebabkan membawa pesanan berupa TV yang dipesan, maka semuanya melazimkan berlakunya perincian dan boleh meminta ganti lewat relasi akad dlaman.

 

Jika pihak yang dipesani menyebut globalnya total ongkos, maka angka global itu tidak bisa disebut sebagai laba melainkan risiko ganti rugi pengiriman barang.

 

Alhasil, kasus sebagaimana di soal, tergantung pada keberadaan ada atau tidaknya biaya lain-lain yang di luar akad itu. Jika ada biaya lain-lain, maka menarik uang lebih dari harga dasar pembelian TV, adalah boleh, selagi jumlahnya / besarannya standart (ujrah mitsil).

 

Namun, jika biaya tambahan itu tidak ada relasi langsung dengan upaya mendapatkan barang yang dipesan, maka akadnya menarik keuntungan dari pembelian pesanan TV, bagi pihak bukan pedagang, adalah masuk dalam rumpun akad bai dain bi al-dain (utang dengan utang) yang dilarang oleh syariat. Akad ini bisa menyeret seseorang jatuh dalam praktik riba qardli.

 

Lain halnya, jika pihak yang dititipi adalah seorang pedagang, maka ‘urf yang berlaku adalah ‘urf pedagang, sehingga ia boleh mengambil keuntungan dari akad pemesanan.

 

Wallahu a’lam bish shawab

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim