Syariah

Kartu Prakerja dan Larangan Alih Fungsi Bantuan bagi Angkatan Kerja

Kam, 6 Mei 2021 | 11:30 WIB

Kartu Prakerja dan Larangan Alih Fungsi Bantuan bagi Angkatan Kerja

Sudah seyogianya bantuan lewat Kartu Prakerja itu disalurkan untuk kepentingan produktif sehingga dapat membangun kemaslahatan bagi dirinya dan orang di sekitarnya.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia baru-baru ini melaporkan bahwa tingkat pengangguran usia muda di Indonesia merupakan tertinggi di ASEAN. Indonesia diprediksi menyumbang kurang lebih 25% dari total pengangguran di ASEAN. Sisanya ditempati oleh Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing menyumbang angka di kisaran 10-15%. Data ini sepenuhnya bisa dikaitkan dengan upaya penciptaan lapangan kerja yang menyasar penduduk usia muda.

 

Lebih lanjut, menurut Direktur Eksekutif CORE, di masa pandemi ini, lonjakan pengangguran justru terjadi di kalangan generasi muda yang terdidik. Padahal, asumsi umum sebenarnya adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin kecil potensi pengangguran. Akan tetapi ini tidak terjadi di Indonesia untuk saat ini. Pandemi membuat banyak orang-orang berpendidikan tinggi justru menjadi menganggur. Ini adalah indikasi bahwa terdapat masalah dalam hal penciptaan lapangan kerja. .

 

Indikasi ini akan lebih kentara, khususnya bila tingkat pengangguran tersebut dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Jumlah angka pengangguran lebih tinggi dibanding data kemiskinan. Ini indikasi dari apa?

 

Sejauh ini, pemerintah memang telah menggulirkan beberapa program bantuan sosial atau bantuan langsung tunai lewat Kartu Pra-Kerja. Di atas kertas, berdasarkan data yang disajikan oleh CORE Indonesia tersebut, tampaknya bantuan itu tidak bergerak secara tepat sasaran. Yang menganggur tetaplah menganggur dan tidak ada inisiatif menggunakan bantuannya ke jalur produktif.

 

Menurut laporan riset itu juga direkomendasikan bahwa akan lebih efektif bila pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan daripada menyalurkan bantuan itu dalam bentuk tunai. “Jadi seharusnya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menyerap orang-orang dengan gelar pendidikan tinggi,” demikian disampaikan Muhammad Faizal, Direktur Eksekutif Core Indonesia yang dilansir Akurat.co.

 

Di lain sisi, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkap ada kurang lebih 29,12 juta tenaga kerja di Tanah Air yang terdampak pandemi Covid-19. Ini merupakan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 9 April tahun 2021. Dari data ini, sebesar 2,56 juta di antaranya 'terpaksa' menjadi pengangguran sebagai imbas dari pandemi.

 

Masih menurut Menaker, untuk sektor bukan angkatan kerja, terdapat kurang lebih 760.000 orang juga turut terdampak Pandemi Covid-19. Sisanya sebesar 1,77 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara akibat dari pembatasan karena corona. 

 

Islam dan Generasi Angkatan Kerja

Islam merupakan agama yang bersifat universal. Syariat Islam tidak hanya mengatur sisi ukhrawi saja sehingga pemeluknya menjadi layaknya rahbaniyyah (berpaham ala kependetaan), melainkan juga mengatur sisi duniawinya. Bagaimana cara bekerja yang baik? Bagaimana mendapatkan rezeki yang halal? Seluruhnya diatur dalam Islam. Itu sebabnya di dalam fiqih kita mendapati penjelasan mengenai konsepsi niaga, jasa, perseroan, dan lain sebagainya.

 

Terkait konsep universalitas pengaturan ekonomi para pemeluknya, Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam QS Al-Qashash 77:

 

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ


"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

 

يَدُ الْمُعْطِي الْعُلْيَا، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ: أُمَّكَ وأَبَاكَ، وأُخْتَكَ وأَخَاكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

 

"Tangan pemberi adalah lebih tinggi (derajatnya). Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu, bapakmu, saudarimu, saudaramu, kemudian orang-orang terdekatmu, dan terdekatmu!” (HR an-Nasai).

 

Hadits ini mengisyaratkan bahwa hendaknya para angkatan kerja Muslim senantiasa tidak mengandalkan bantuan/santunan sosial. Ia harus bekerja keras untuk menghidupi orang-orang yang menjadi tanggungannya, sebab itu adalah amanah baginya.

 

Larangan Syara’ Memanfaatkan Bantuan Tidak untuk Kemaslahatan

Seiring adanya bantuan pemerintah yang disalurkan ke generasi pra kerja, maka seharusnya bantuan itu disalurkan sebagai stimulus untuk bekerja (produktif), dan bukannya dihabiskan untuk kepentingan konsumtif. Para ulama telah mengatur bagaimana seharusnya bantuan sosial—seperti lewat kebijakan Kartu Prakerja itu—seharusnya dilakukan.

 

Imam al-Ghazali rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai bantuan sosial yang tidak diperuntukkan untuk membangun kemaslahatan umum sebagai berikut:

 

قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عاجزعَنْ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ عُلَمَاءِ الدِّينِ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ وَنَحْوِهَا وَيَدْخُلُ فِيهِ طَلَبَةُ هَذِهِ الْعُلُومِ وَالْقُضَاةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ وَالْأَجْنَادُ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلَاءِ مَعَ الْغِنَى وَيَكُونُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إلَى رَأْيِ السُّلْطَانِ

 

“Imam al-Ghazali berkata, harta mashalih (bantuan sosial) tidak boleh disalurkan kecuali kepada pihak yang memiliki kemaslahatan umum bila menerimanya, atau orang yang membutuhkannya disebabkan karena tidak mampu bekerja, misalnya orang yang ditugasi mengurusi kemaslahatannya orang Muslim. Jika pihak ini meninggalkan, maka urusan itu menjadi terlantar karenanya. Maka bagi pihak ini dapat beroleh bantuan dari baitul mal menurut standar kecukupannya. Termasuk di dalam kelompok ini adalah para ulama yang menekuni ilmu tafsir, hadits, fiqih dan sejenisnya. Bahkan, termasuk di antaranya adalah para pelajar ilmu-ilmu dimaksud. Para hakim, muadzin, tentara, seluruhnya boleh diberi bantuan sosial meski pihak tersebut berkecukupan. Adapun kadar bantuan itu, adalah diserahkan pada pertimbangan pemegang kekuasaan.” (al-Majmu’ Syarah Muhadzab, juz 9, h. 349).

 

Berdasarkan keterangan di atas, sudah seyogianya bantuan lewat Kartu Prakerja itu disalurkan untuk kepentingan produktif sehingga dapat membangun kemaslahatan bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Penyaluran bantuan sosial yang tidak mengarah pada terbentuknya kontinyuitas kemaslahatan, dapat berujung pada keharaman menerimanya.

 

وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عِلْمٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنٌ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي الْهَدِيَّةِ أَيْضًا فِيمَا يَظْهَرُ بَلْ الْأَوْجُهُ إلْحَاقُ سَائِرِ عُقُودِ التَّبَرُّعِ بِهَا كَوَصِيَّةٍ وَهِبَةٍ وَنَذْرٍ وَوَقْفٍ 

 

"Seseorang yang mendapat bantuan disebabkan karena asumsi kefakirannya, kemaslahatannya, atau karena nasabnya, atau ilmunya, namun di balik itu justru bertentangan dengan asumsi tersebut, atau misalnya di balik itu ada sesuatu yang disembunyikan dan seandainya diketahui maka ia tidak akan diberi, maka hukumnya adalah haram menerima bantuan tersebut secara muthlak. Hal semacam ini, juga berlaku atas bansos yang diberikan berupa hadiah. Bahkan, menurut beberapa hasil penelitian, seluruh bansos yang di dalamnya memuat akad tabarru’ (kedermawanan), wasiat, hibah, nadzar dan wakaf (haram hukumnya bila tidak sesuai dengan fakta [fi ma yadzhar])” (Hasyiyatul Jamal: 16/215).

 

Jadi, menggunakan bansos untuk peningkatan kemaslahatan diri dan orang di sekeliling penerimanya, termasuk pihak pemegang Kartu Prakerja, maka sebagaimana tujuan dari program sosial itu dilaksanakan, pihak pemegang Kartu Prakerja tersebut hukumnya adalah wajib menyalurkannya ke arah tujuan produktif. Membiarkannya itlaf (rusak, habis, musnah begitu saja) tanpa adanya indikasi ke arah produktif, dapat menyeret penerimanya ke hukum keharamannya. Bantuan sosial di situ, ibaratnya adalah menduduki harta amanah.

 

Kita bersyukur sekarang ada Kementerian Investasi. Harapan besar dari kementerian ini, adalah selain menanggulangi pengangguran, hendaknya juga turut serta memberikan edukasi ke masyarakat terkait bagaimana ia berinvestasi. Yang lebih penting lagi adalah bimbingan ke penerima Kartu Prakerja. Mereka kebanyakan masih awam soal investasi. Tanpa bimbingan, khawatirnya mereka menggunakan bansos hanya untuk kepentingan konsumtif semata. Atau, yang lebih parah lagi, mereka tercebur dalam praktik money game berdalih investasi. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Direktur eL-Samsi dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur