Syariah

Kedudukan Saham dalam Sistem Keuangan Syariah

Sab, 3 Maret 2018 | 09:30 WIB

Kedudukan Saham dalam Sistem Keuangan Syariah

Ilustrasi (via ibmec.br)

Dalam ilmu ekonomi, saham dikenal sebagai stock. Ia merupakan sebuah dokumen bukti kepemilikan atas suatu barang/aset perusahaan. Kepemilikan terdiri atas keikutsertaan seseorang dalam suatu permodalan atas suatu badan usahaa/unit kegiatan. Karena keikutsertaan pemegang saham adalah dalam modal, maka ia berhak untuk mendapatkan pembagian keuntungan atau kerugian usaha (profit and lost sharing) atau bagi hasil (revenue sharing).

Dengan demikian, maka istilah saham ini dalam konteks syariah pasti terdapat di dalam akad musyarakah. Untuk memahami konsep profit and loss sharing dan revenue sharing, pembaca bisa menyimak di sini: Konsep Profit and Loss Sharing dalam Perbankan Syariah

Pada kesempatan ini, kita akan mengaji tentang saham dan kedudukannya dalam sistem keuangan syariah. Kita masih belum lepas dari materi akad musyarakah dan investasi syariah. Karena titik tekan objek kajian kali ini adalah musyarakah dan saham, maka selanjutnya kita sebut sebagai musyarakah musahamah, artinya sebuah perserikatan yang dibangun atas dasar kepemilikan saham/modal (joint-stock-company). 

Mungkin ada yang bertanya, pada saat kita membahas musyarakah mutanaqishah kita berbicara soal saham. Sekarang, pada topik musyarakah musahamah, kita berbicara masalah saham lagi. Jika saham adalah sama-sama menyatakan rasio kepemilikan modal antara dua orang atau lebih, lantas apa yang membedakan antara musyarakah mutanaqishah dan musahamah? 

(Baca juga: Musyarakah Mutanaqishah sebagai Modifikasi Akad Syirkah ‘Inan)
Sebagaimana kajian yang lalu, bahwa dalam musyarakah mutanaqishah terdapat hubungan terbatas antara dua orang yang saling berakad atas suatu objek akad. Sementara dalam musyarakah musahamah, sifat hubungan ini tidak mengikat antara satu sama lain. Setiap pemegang saham berperan sekadar sebagai partner partisipasi modal dan berbagi keuntungan dan kerugian. Karena relasi antara orang yang berakad ini bersifat tidak mengikat, maka pihak pemegang saham suatu saat bisa mengalihkan sahamnya kepada orang lain berdasar dokumen saham yang ia terima dengan jalan menjualnya. 

Dalam istilah dunia ekonomi konvensional, musyarakah mutanaqishah ini merupakan dasar akad pendirian perusahaan Perseroan Terbatas (PT), sementara akad musyarakah musahamah adalah dasar bagi akad pendirian perusahaan Perseroan Terbuka (Tbk). Dengan demikian, menurut Anda, jika Anda suatu saat ditunjuk menjadi Menteri Perdagangan dan Industri di Indonesia, dan ditugaskan oleh negara untuk menjalin akad dengan pemodal asing, maka seharusnya Anda memakai akad yang mana? Perseroan Terbatas (PT) atau Perseroan Terbuka (Tbk)? Musyarakah mutanaqishah atau musyarakah musahamah?

Tentu, bila Anda mencintai negara Indonesia ini, Anda pasti akan memilih akad Perseroan Terbatas/musyarakah mutanaqishah, karena selain sifat keanggotaannya adalah terbatas, ada peluang bagi negara untuk mengaquisisi modal perusahaan di belakang harinya, sehingga sepenuhnya modal akan menjadi milik negara. Namun bila Anda memilih akad Perseroan Terbuka/musyarakah musahamah, maka secara tidak langsung dan perlahan Anda sama saja dengan telah menjual negara ke pihak lain – bisa jadi warga negara Indonesia sendiri atau bahkan ke asing. Paham bukan, perbedaan keduanya?

Dalam yurisprudensi Islam, musyarakah musahamah ini diperkenalkan sebagai akad yang baru dan belum pernah tercatat dalam kitab-kitab fiqih klasik. Undang-Undang Kerajaan Saudi Arabia sebagaimana dikutip oleh Hasan bin Ibrahim dalam disertasinya mendefinisikan musyarakah musahamah ini sebagai berikut:

الشركة المساهمة هي: الشركة الـتي ينقسم رأس مالها إلى أسهم متساوية القيمة، وقابلة للتـداول، ولا يسأل الشركاء فيها إلا بقدر قيمة أسهمهم، ولا يجوز أن يقل عددالشركاء فيها عن خمسة

Artinya: “Syirkah musahamah adalah hubungan partnership yang dilakukan dengan jalan membagi modal menjadi beberapa lembar saham yang memiliki besaran nilai sama, bisa berganti-ganti pemilik, dan masing-masing anggota serikat tidak meminta bagian melainkan menurut kadar nilai saham yang mereka miliki. Sifat dari keanggotaan syirkah tidak boleh kurang dari 5 orang.” (Lihat Hasan bin Ibrahim bin Muhammad al-Saif, Ahkamul Iktitab fisy Syirkaatil Musahamati, Daru Ibn Al-Jauzy, TT: 28).

Perhatikan beberapa elemen musyarakah musahamah dalam definisi di atas! Ada beberapa catatan yang harus kita garis bawahi, bahwa:

1. Musyarakah musahamah dibangun atas dasar jalinan kepemilikan lembar saham
2. Setiap lembar saham memiliki deskripsi nilai jual.
3. Karena saham bisa diperjualbelikan kepada pihak lain, maka pihak pemegang saham bisa berganti-ganti setiap periode penawaran dan penjualan saham.
4. Keuntungan dan kerugian ditanggung dan diterima menurut nisbah saham yang dimiliki
5. Saham bisa diperjualbelikan kepada pihak lain. Sampai di sini, jika kita punya beberapa lembar saham perusahaan, saham tersebut termasuk barang zakawi atau bukan? Jawabnya adalah, tentu ia merupakan barang zakawi karena peruntukannya dalam tijarah (perdagangan). Dengan demikian, zakat saham adalah sama dengan zakat tijarah.

6. Pelaku musyarakah musahamah terdiri atas 2 orang atau lebih. Jika dalam definisi di atas, dibatasi tidak boleh kurang dari 5 peserta pemegang saham. Terkait dengan batas minimal pemegang saham ini sifatnya tidak mutlak, karena tergantung pada regulasi (UU) negara tempat akad tersebut dilaksanakan.

Nah, sekarang andaikan Anda bersama 4 orang kawan Anda yang lain mendirikan sebuah kegiatan usaha, dan setelah selang beberapa waktu unit kegiatan usaha itu berkembang dengan pesat, memiliki aset yang banyak, sementara Anda membutuhkan dana yang besar untuk mengembangkan kegiatan usaha tersebut, upaya apa yang Anda lakukan agar Anda tidak perlu pergi ke bank tapi bisa mendapatkan pendanaan buat badan usaha yang Anda dirikan? 

Jawabnya, ada tiga kemungkinan yang bisa Anda lakukan, yaitu: 

1. Sisihkan sebagian laba/profit yang dimiliki oleh perusahaan untuk mengembangkan perusahaan
2. Terbitkan obligasi syariah
3. Terbitkan saham lalu jual-lah!

Bagaimana langkah dan uraiannya? Insyaallah akan dibahas pada tulisan berikutnya. Wallahu a’lam!


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua