Syariah

Kekeliruan yang Merugikan Orang Lain, Wajibkah Ganti Rugi?

Sel, 8 Oktober 2019 | 07:30 WIB

Kekeliruan yang Merugikan Orang Lain, Wajibkah Ganti Rugi?

Ketika dua penyebab 'langsung' dan 'tidak langsung' terkumpul dalam suatu kasus, maka putusan hukum disandarkan pada penyebab langsung. (Ilustrasi: NU Online)

Sebagaimana telah kita ulas sebelumnya, bahwa kerugian kadang disebabkan oleh pelaku secara langsung (mubâsyarah) menimbulkan kerugian, namun adakalanya bersifat tidak langsung (mutasabbib). Kerugian yang diakibatkan perilaku secara langsung ini adakalanya disengaja, dan adakalanya tidak disengaja. Saat ini, kita akan membahas mengenai tindakan merugikan yang secara langsung namun bersifat tidak disengaja/tersalah. 
 
Contoh kasus misalnya ada seseorang memegangkan pisau ke anak kecil. Karena belum mengerti tentang fungsi dari pisau tersebut, secara tidak disengaja, pisau itu digunakan untuk membunuh diri anak kecil itu sendiri, atau bahkan digunakan untuk membunuh anak kecil lain. Wajibkah bagi si pelaku membayar ganti rugi jinayat?
 
Dalam kasus ini, para ulama memberikan pernyataan bahwa pendapat yang dipilih adalah orang yang memegangkan pisau tersebut wajib membayar ganti rugi jinayat. Namun, pendapat yang berbeda disampaikan oleh kalangan Hanafiyah, yang menyatakan pendapat bahwa pihak yang memegangi berlaku sebagai mutasabbib (penyebab tidak langsung). Oleh karenanya tidak wajib tempuh risiko baginya. 
 
خطأ المتضرر فهو أن يقع الضرر مباشرة منه بالرغم من وجود متسبب له مثل أن يضع شخص سكينا في يد صبي فيقتل نفسه فلا يضمن المتسبب لمباشرة الصبي قتل نفسه هذا في قول عند الحنفية والقول الآخر وهو المختار عندهم أنه يضمن
 
Artinya: “Kekeliruan yang berakibat merugikan pihak lain, yaitu kekeliruan tindakan yang menyebabkan kerugian secara langsung karenanya dengan seumpama adanya kemungkinan ia sebagai penyebab tidak langsung atas peristiwa yang terjadi. Misalnya seseorang menaruh pisau di tangan anak kecil. Tiba-tiba pisau itu digunakan untuk bunuh diri oleh si anak itu. Maka dalam kasus ini, pihak yang menyerahkan pisau tidak bisa dimintai pertanggungan jawab disebabkan ia berlaku sebagai penyebab tidak langsung dari perbuatan langsungnya Si anak yang membunuh dirinya sendiri tersebut. Pernyataan ini adalah pendapat kalangan hanafiyah. Sementara itu ulama lain (selain hanafiyah) menyatakan pendapat terpilih, bahwa pihak yang menyerahkan tersebut wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.” (Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 38-39).
Jadi, dalam kasus ini ada dua pendapat yang berbeda. Menurut kalangan Hanafiyah, tidak wajib tempuh risiko kerugian bagi pelaku karena ia bukan penyebab langsung. Namun, menurut kalangan mazhab yang lain, pelaku wajib memberikan tempuh risiko. Apa yang menjadi penyebab dari perbedaan pendapat ini? 
 
Salah satu yang diduga menjadi penyebabnya adalah keberadaan pemahaman terhadap kaidah fiqhiyyah yang menyatakan sebagai berikut: 
 
إذا اجتمع المباشر والمسبب أضيف الحكم إلى المباشر 
 
Artinya: “Ketika dua penyebab 'langsung' dan 'tidak langsung' terkumpul dalam suatu kasus, maka putusan hukum disandarkan pada penyebab langsung” (Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 39).
 
Dengan kaidah ini, para ulama berselisih pendapat mengenai, apakah tindakan penyerahan pisau dalam kondisi di atas bisa dimasukkan dalam kategori penyebab langsung atau tidak. Jika penyerahan pisau dianggap sebagai penyebab langsung, maka pihak yang menyerahkan pisau wajib dikenai dlaman. Masalahnya adalah ada pihak lain (yaitu: Si Anak) dalam hal ini. Kedudukan anak dipandang sebagai apa? 
 
Dalam hal ini kita bisa merujuk kembali tentang kedudukan anak menurut kalangan Hanafiyah dan kalangan madzhab lainnya. Apakah pembaca masih ingat, bahwa jual belinya anak yang belum baligh dalam pandangan mazhab Hanafi adalah dipandang sah? Pendapat ini setidaknya menggambarkan mengenai status anak dalam wilayah fiqih mazhab tersebut, bahwa hak tasharruf anak adalah dipandang sah oleh kalangan mazhab ini dan disetarakan dengan kasus jual beli tanpa akad (bai’ muâthah). Itulah sebabnya maka perilaku yang dibuat oleh anak, dihukumi sebagai perilaku ia sendiri, karena ia termasuk ahli tasharruf (memiliki hak pengelolaan). 
 
Lain halnya dengan pendapat mazhab selain Hanafiyah, yang menyatakan bahwa anak bukan termasuk orang yang ahli tasharruf sehingga boleh untuk mengelola harta. Jual beli yang dilakukannya adalah ibarat jual belinya wali si anak sebagai jual beli mu’âthah. Jadi, apabila terjadi sengketa dalam jual beli, maka yang berhak menjadi wali Si Anak, adalah orang tuanya, atau pihak yang menyuruh, mengingat anak bukan termasuk ahli tasharruf. 
 
Dengan merujuk pada dua dialektika kedudukan anak ini, maka kasus hukum penyerahan pisau kepada si anak, adalah masuk bab yang wajib dlaman (tempuh risiko atau ganti rugi) bagi pihak yang memegangkan. Hal ini dikembalikan kepada pemahaman bahwa anak adalah bukan ahli tasharruf. Dan pendapat ini disampaikan oleh ulama' mazhab selain Hanafiyah. Adapun, menurut kalangan Hanafiyah, bukan pihak yang memegangkan pisau yang wajib berlaku dlaman atasnya, melainkan si anak yang merupakan penyebab langsung. Jadi, bila pisau iti digunakan oleh si anak untuk melukai anak lain, maka si anak bisa dikenai ganti rugi, atau bahkan walinya. 
 
Selanjutnya, dialektika mengembang di kalangan Syafiiyah. Ada kemungkinan kasus dikembangkan pada anak yang mencapai usia rasyid, atau mumayyiz seiring dengan penerimaan mazhab Syafii akan jual beli mu’âthah bilamana dilakukan oleh anak usia mumayyiz (usia lebih dari 6 tahun), mengingat anak usia segitu sudah mulai tumbuh nalar dan akalnya. Demikian pula untuk anak usia rasyid (kurang lebih usia 10 tahun), yang dalam hal ini biasanya sudah masuk kategori cerdas dan berakal. 
 
Pada anak usia 6 dan 10 tahun ini, kiranya pendapat kalangan Hanafiyah yang menyatakan "tidak wajib dlaman bagi pelaku yang menyerahkan" adalah ada kemungkinan untuk bisa diterima mengingat kedudukan akal dan kecerdasan pada anak usia tersebut. Namun, untuk anak di bawah usia mumayyiz, sudah barang tentu pihak pelaku yang menyerahkan pisau, tidak syak wasangka lagi bisa dikenai ganti rugi jinayah. Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur