Syariah

Kepesertaan Rumah Ibadah Nonmuslim pada Lembaga Takaful dalam Kajian Fiqih Muamalah

Sen, 26 Juli 2021 | 04:00 WIB

Kepesertaan Rumah Ibadah Nonmuslim pada Lembaga Takaful dalam Kajian Fiqih Muamalah

Salah satu narasi kepatuhan syariah bagi lembaga takaful ini adalah bahwa ia didirikan dengan semangat utama tolong-menolong antarwarga masyarakat muslim yang sedang ditimpa kesusahan.

Lembaga Asuransi Syariah merupakan sebuah institusi yang bergerak dalam bidang asuransi (takaful), penjaminan (tadhamun), pengamanan aset (ta’min) atas dasar tolong menolong (ta’awun) yang dijembatani dan disemangati oleh akad-akad syariah yang berlaku di dalamnya.


Karena bergerak dalam bingkai akad syariah, ada tuntutan bagi lembaga asuransi syariah, yaitu wajib mengikuti uji kepatuhan syariah (sharia compliance). Pelanggaran terhadap kepatuhan syariah menjadikan institusi ini tidak bisa lagi disebut berlabel syariah.


Salah satu narasi kepatuhan syariah bagi lembaga takaful ini adalah bahwa ia didirikan dengan semangat utama tolong-menolong antarwarga masyarakat muslim yang sedang ditimpa kesusahan. Rasulullah saw bersabda:


مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ رواه مسلم


Artinya, "Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya," (HR Muslim dari Abu Hurairah)


Meski demikian, juga tidak dipungkiri bahwa semangat lain yang turut mendorong didirikannya takaful adalah tolong-menolong antaranggota masyarakat dalam bingkai keimanan:


مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى رواه مسلم عن النعمان بن بشير


Artinya, "Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jika satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita," (HR Muslim dari Nu'man bin Basyir).


Lebih lanjut juga disampaikan bahwa:


اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا رواه مسلم عن أبي موسى


Artinya, "Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain," (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari).


وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا رواه الترمذي عن عمرو بن عوف


Artinya, "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram," (HR Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf).


Menyimak dari ragam dasar penggunaan dalil di atas, dapat ditarik satu simpulan bahwa semangat utama pendirian takaful dalam bingkai institusionalisasi syariah adalah harapan bisa diterapkannya tolong-menolong yang diwadahi oleh rasa ukhuwah dalam bingkai keimanan (ukhuwwah imaniyyah) dan keislaman (ukhuwwah islamiyah). 


Saat berbicara mengenai prinsip dasar tolong menolong (ta’awun) dalam bingkai ukhuwah islamiyyah, maka tidak ada masalah yang berarti dalam kebolehannya. 


Persoalannya kemudian adalah ketika institusional lembaga takaful ini harus dibawa ke ranah yang lebih luas, yaitu tolong menolong dalam bingkai solidaritas keimanan dan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Persoalan ini setidaknya dipicu oleh beberapa hal, antara lain:


Pertama, bagaimanapun juga ada sejumlah larangan (mawani’ syariah) secara nash yang berlaku atas orang muslim untuk mengalokasikan sejumlah hartanya dalam rangka membangun fasilitas peribadatan agama lain. Larangan ini setidaknya dipicu oleh landasan dalil, bahwa membantu pendirian fasilitas ibadah agama lain adalah sama saja dengan telah menjerumuskan diri pada tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan. Sebab, fasilitas ibadah merupakan persoalan urgen dengan ubudiyah. 


Lain, halnya dengan tolong menolong dalam urusan kemanusiaan, maka tidak ada dalil yang menjadi pencegah (mawani’) bagi diterapkannya takaful dalam wilayah ini. Kecuali, bila secara nyata ada ketegasan peruntukan bahwa harta akan disalurkan pada bidang-bidang yang dilarang oleh syara’, seperti mendirikan usaha yang bertentangan dengan syara’, memusuhi orang Islam, dan sejenisnya. 


Kedua, ada dalil syara’ yang melarang melakukan ihdats (renovasi atau perbaikan) dan menambah jumlah fasilitas peribadatan agama lain di tengah permukiman muslim lainnya. Misalnya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Syihabuddin Al-Ramly (w. 957 H) dengan menuqil Al-Ghazy:


وقالَ الغَزِّيُّ: ومَنعُهُمْ وُجُوبًا إحْداثَ كَنِيسَةٍ أيْ لِلتَّعَبُّدِ وبِيعَةٍ ودَيْرٍ وصَوْمَعَةٍ وبَيْتِ نارِ مَجُوسٍ ومُجْتَمَعٍ لِصَلاتِهِمْ. اهـ.


Artinya, “Al-Ghazy berkata, ‘Larangan melakukan ihdats kanisah bagi kaum muslimin adalah berlaku wajib, secara ta’abbudi. Hal yang sama berlaku juga untuk fasilitas biya’ah, shawmi’ah, dan rumah tempat perapian bagi kaum Majusi, serta tempat berkumpul mereka untuk melakukan praktik peribadatan,’” (Fatawi Ar-Ramli, juz IV, halaman 59-60).


Ketiga, batas utama larangan syara’ dalam tolong menolong dengan anggota masyarakat nonmuslim adalah dalam konteks membantu menampakkan syi’ar kekufuran.


ومِن قَوْلِهِمْ ويُمْنَعُونَ مِن إظْهارِ خَمْرٍ وخِنْزِيرٍ وناقُوسٍ وعِيدٍ لِما فِيهِ مِن إظْهارِ شَعائِرِ الكُفْرِ فَإنَّ مَفْهُومَ التَّقْيِيدِ بِالإظْهارِ أنَّهُمْ لا يُمْنَعُونَ مِنهُ فِيما بَيْنَهُمْ، وقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ جَماعاتٌ مِنهُمْ البَدْرُ الزَّرْكَشِيُّ.


Artinya, “Sebagian dari pendapat para ulama adalah bahwa alasan dilarangnya kaum kafir dari menunjukkan khamr, babi, naqus dan hari raya mereka adalah karena alasan menampakkan syi’ar kekufuran. Maka dari itu adanya taqyid bil izhar menjadi satu alasan kemafhuman, bahwa jika aktivitas tersebut dilakukan di rumah-rumah mereka, maka tidak ada alasan bagi pencegahan aktivitas tersebut. Sungguh, pendapat ini telah disampaikan oleh sejumlah kalangan ulama’ termasuk di antaranya adalah Badruddin Az-Zarkasy,” (Fatawi Ar-Ramli, IV/60). 


Adanya pembatasan di atas, menjadi bersifat kontra produktif dengan semangat utama pendirian lembaga asuransi syariah, yaitu bagaimanapun juga lembaga asuransi syariah ini didirikan adalah dalam rangka menggantikan peran substitusi lembaga asuransi konvensional di Indonesia secara khususnya. 


Untuk bisa berlaku menjadi peran substitusi, lembaga asuransi syariah harus bisa mewadahi aspirasi masyarakat nonmuslim juga, termasuk di antaranya bila lembaga tempat peribadatan mereka juga turut diasuransikan.


Agar bisa mewadahi aspirasi tersebut, maka diperlukan landasan dalil yang bisa menguatkan lembaga asuransi ini agar bisa menarik warga lain untuk turut berpartisipasi menjadi salah satu bagian dari pemegang polis.


Setidaknya kebutuhan ruang penerimaan ini berada dalam wilayah dharurah lil hajah. Sedangkan untuk menjadi lembaga substitutor lembaga asuransi konvensional, maka lembaga takaful syariah harus bisa juga berlaku universal dan menerima semua golongan.


Itulah ruang utama upaya mencari dasar landasan guna mengatasi persoalan terkait keanggotaan jamaat gereja dalam takaful syariah. Sedangkan kita tidak dapat menutup kenyataan bahwa ketika akad syariah sudah menginternalisasi dalam sebuah lembaga, maka lembaga tersebut adalah berubah statusnya menjadi lembaga bisnis.


Salah satu sistem bisnis yang baik adalah bisanya ia menampung semua kalangan, asalkan praktik operasionalnya tidak bertentangan dengan kaidah syariah. Nah, bisakah itu diterapkan oleh lembaga asuransi syariah? Kita akan kaji lebih lanjut di kesempatan tulisan-tulisan mendatang. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim