Syariah

Kewajiban Marketplace saat Promosi lewat Cashback, Koin, atau Poin

Sen, 4 Januari 2021 | 23:00 WIB

Kewajiban Marketplace saat Promosi lewat Cashback, Koin, atau Poin

Marketplace yang melakukan promosi bertanggug jawab setidaknya pada empat hal.

Maksud dari “harta manfaat” adalah harta yang berwujud “manfaat dari sesuatu hal”. Istilah lain dari “harta manfaat” adalah “jasa.” Jasa pengiriman, koin, poin, cashback, bonus, game, pulsa, iklan promo, dan sejenisnya, yang seluruhnya memiliki durasi waktu kadaluwarsa (expired), adalah bagian dari jenis-jenis “harta manfaat” atau setidaknya merupakan sumber bagi munculnya harta manfaat.

 

Karena semua entitas tersebut merupakan bagian dari sistem niaga, maka secara tidak langsung eksistensinya membutuhkan peran akad penjaminan. Penjaminan jenis ini termasuk kelompok dlamanu al-ijar, yaitu penjaminan akad ijarah/sewa manfaat.

 

Ketiadaan sifat keterjaminan harta manfat secara tidak langsung menjadikan pihak penyelenggaranya menabrak larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari menjadikan segala sesuatu yang tak berjamin sebagai bagian dari entitas bisnis (naha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘anir ribhi man lam yudlman).

 

Sifat Penjaminan Harta Manfaat

Berbicara mengenai sifat penjaminan yang harus dilakukan terhadap harta manfaat, pada dasarnya hampir sama dengan berbicara mengenai penjaminan yang berlaku pada akad jual beli. Sebab, ijarah (asal dari harta manfaat) adalah bagian dari akad jual beli (al-ijaratu shinfah mina al-buyu’at).

 

Perbedaan keduanya, adalah dari sisi objek akadnya saja (ma’qud ‘alaih). Jual beli, objeknya adalah barang fisik. Sementara ijarah, objeknya berupa manfaat.

 

Ringkasnya, praktik penjaminan terhadap promo harta manfaat oleh pihak marketplace selaku muajjir, adalah dapat diringkas dari pernyataan Syekh Wahbah Zuhaili berikut ini:

 

إذا كانت الإجارة إجارة أشياء فهي كعقد البيع ، يلتزم بها المؤجر بتسليم المأجور إلى المستأجر ، كما يلتزم أيضا بضمان التعرض والعيب ، وكلاهما التزام بتحقيق غاية ، وعلى المستأجر مقابل ذلك وهو دفع الأجرة ، والمحافظة على العين المؤجرة ، وهو التزام ببذل عناية

 

“Jika suatu akad ijarah adalah berkaitan dengan ijarah suatu benda, maka dalam akad semacam ini berlaku ketentuan layaknya kontrak jual beli. Pihak yang menjanjikan manfaat barang (muajjir) terikat dengan memberi kepastian penyerahan objek ijarah kepada penyewa. Hal yang sama juga berlaku dalam pengajuan klaim manfaat (ta’arrudl) dan cacat. Kedua pihak saling memiliki ikatan tanggung jawab pemenuhan” (Syekh Wahbah Zuhaili ​​​​​​, Nadhariyatu al-Dlamman, halaman 206).

 

Jika pernyataan Syekh Wahbah Zuhaili di atas kita urai secara rinci dalam konteks marketlplace, maka beberapa rumpun akad penjaminan yang berlaku pada harta manfaat (ijarah) akan tampak sebagai berikut:

 

Pertama, penjaminan penyerahan “harta manfaat” kepada penyewa (taslimu al-ma’jur ila al-musta’jir).

 

Adanya “harta manfaat”, meniscayakan adanya pihak yang berlaku sebagai pemilik manfaat, salah satu rukun akad ijarah. Jika dirinci berdasarkan rukun akadnya maka relasi marketplace (muajjir) dengan konsumen selaku pemilik manfaat (musta’jir), dilihat dari sudut pandang konsumen, akan tampak sebagai berikut:

  1. Pemilik manfaat itu pastilah pihak yang berperan selaku penyewa (musta’jir), sehingga peran dari pihak tersebut ditempati oleh pihak konsumen marketplace sebab penguasaannya.
  2. Pihak yang berlaku sebagai yang menyewakan (muajjir) adalah marketplace, sebab ia yang mempromosikan manfaat bagi konsumen. Alhasil, kedudukannya dalam fikih adalah juga berperan selaku penjamin (dlamin al-’nafs) yaitu adanya manfaat objek yang disewa.
  3. Upah yang diberikan oleh musta’jir kepada marketplace adalah dalam bentuk penyelesaian pekerjaan (amal) yang dipromosikan oleh marketplace selama durasi promosi itu berlaku.
  4. Objek yang disewakan (ma’jur) adalah voucher cashback sebab voucher tersebut merupakan simbol yang bisa dipergunakan oleh konsumen marketplace untuk meminta kembalian (cashback).
  5. Manfaat yang didapat penyewa adalah ia akan mendapatt potongan harga (manfaat ma’jur) yang disampaikan dalam bentuk akad ju’alah. Mengapa? Sebab, potongan itu didasarkan pada besaran belanja yang ia lakukan ketika menggunakan voucher cashback.

 

Di atas sudah disinggung bahwa peran marketplace adalah selaku dlamin al-’nafs (penjamin penunaian) bagi bisanya manfaat diterima oleh konsumen pemilik voucher (harta manfaat). Peran penjamin penunaian semacam ini juga masuk rumpun akad kafalah, sebab kafalah oleh para fuqaha’ juga disebut dengan istilah lain sebagai dlaman al-nafs.

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran marketplace dalam relasinya terhadap konsumen pada “harta manfaat”, adalah berkedudukan sebagai 3, yaitu: 1) selaku muajjir, 2) selaku dlamin al-nafs, dan sekaligus 3) selaku kafil (penanggung jawab kegiatan/event organizer).

 

Mengingat akan tugasnya selaku kafil, maka hal-hal yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak marketplace terhadap “harta manfaat” semacam cashback, dapat dipetakan sebagai berikut:

  1. Pihak marketplace harus memastikan bahwa “manfaat” tersebut bisa diterima (taslim al-manfaat) dan dirasakan oleh setiap konsumen yang memiliki simbol harta manfaat (voucher).
  2. Marketplace bertanggung jawab dalam menyediakan tempat penukaran “harta manfaat” sebagai representasi dari qabdl al-manfaah (penerimaan manfaat). Misalnya, dengan menyediakan skema “penggantian” cashback bagi pihak pelapak, atau konsumen. Semua kriteria ini mensyaratkan adanya kejelasan. Tidak hanya berlaku pada cashback, harta poin telkomsel pun juga demikian, karena sifatnya poin Telkomsel, adalah juga menempati derajat cashback. Lebih lanjut, pembaca bisa melihatnya secra langsung pada aplikasi MyTelkomsel. Adanya banyak cara penukaran di sana.
  3. Skema penggantian seperti yang disinggung pada nomor 1 meniscayakan adanya skema akad hiwalah (oper tanggungan) bila harus melibatkan peran pihak ketiga, tidak langsung dari marketplace sendiri.
  4. Syarat yang harus dipenuhi dalam cashback berbasis akad hiwalah semacam ini, adalah pihak marketplace harus bersedia mengganti biaya yang dijanjikan tersebut kepada pelapak yang menjadi mitranya, sebab cashback itu menjadi utang tertanggung baginya disebabkan relasinya dengan konsumen selaku pihak yang berhak menuntut pertanggungjawaban dari marketplace. Suatu misal, promo cashback dijanjikan marketplace adalah 70% dari harga barang 100 ribu. Maka, total casback adalah sebesar 70 ribu. Cashback semacam ini secara tidak langsung menjadi “utang” pihak marketplace kepada pelapak, jika konsumen menukarkannya ke lapak yang sudah ditentukan oleh marketplace. Tanpa ada jaminan penggantian (dllaman al-ta’widl), maka cashback itu termasuk harta fiktif (ma’dum), sehingga haram mentransaksikannya. Contoh pola menyerupai cashback semacam ini adalah Viewpoinnya Vtube. Hakikatnya, Viewpoin itu adalah utangnya perusahaan kepada member yang menyelesaikan misi menonton. Uniknya, Viewpoin malah dijual ke member lain, tanpa ada skema penggantian oleh perusahaan kepada member yang sudah membelinya di Exchange Counter.

 

Kedua, penjaminan kembalian (ganti/‘iwadl/ujrah) (ujrat al-ma’jur).

 

Dari kesekian marketplace yang ada dan beroperasi di Indonesia, yang paling unik untuk ditelaah adalah skema penggantian dari Shopee. Mengapa? Sebab harta manfaat yang dijanjikan oleh marketplace tidak hanya berasal dari aktifitas jual beli di fitur jual belinya marketplace, melainkan juga memiliki relasi dengan Game Shopee yang berbasis akad ijarah. Misalnya, adalah yang bisa kita temui pada Game Shopee Tanam, di mana pihak marketplace menyerahkan sejumlah Koin Shopee kepada konsumen setela mengakses Game Shopee Tanam. Koin Shopee bisa digunakan untuk mengajukan klaim potongan belanja, akan tetapi memiliki batasan waktu kadaluwarsa.

 

Apakah mengaitkan Koin Shopee dengan bonus belanja di marketplace Shopee ini sebagai yang diperbolehkan? Jawabnya adalah sudah pasti boleh, sebab pihak yang berperan selaku memiliki beban menepati utang/tanggungan kepada konsumen adalah Shopee sendiri. Alhasil, tidak ada praktik jual beli barang fiktif di dalam Koin Shopee tersebut.

 

Ketiga, penjaminan bisanya objek yang disewakan sebagai yang bisa dimanfaatkan (manfaat al-ma’jur).

 

Penjaminan ini sebenarnya memiliki relasi dengan sifat wajib maklumnya akad ijarah, di mana pihak pemilik manfaat terlebih harus mengetahui cakupan wilayah pemanfaatan harta manfaat yang dikuasainya, sekaligus batasan-batasan penggunaannya dan hal-hal lain yang bisa diakses secara langsung akibat relasi akad ijarah antara dirinya dengan marketplace.

 

Ibaratnya adalah seseorang memiliki hak manfaat atas suatu rumah yang disewakan, sementara di dalamnya ada sumur. Bolehkah mengakses sumur tersebut? Dalam hal semacam ini, hukum penggunaan manfaat dari sumur adalah mengikuti manfaat dari sewa rumah, sebab sumur menempati derajat tafih (yang kecil) dibanding manfaat dari rumah tersebut.

 

Nah, hal semacam di atas, juga berhak untuk diketahui oleh konsumen. Untuk hal apa saja harta manfaat itu diberikan, maka di situ pihak marketplace harus bisa memberi penjelasan, misalnya lewat layanan Customer Service, atau FAQ Syarat Layanan.

 

Keempat, klaim ketidaksesuaian manfaat dari yang dijanjikan (ta’arrudl).

 

Ini merupakan poin yang paling urgen dari kesekian skema pertanggungjawaban markertplace terhadap “harta manfaat” yang dipromosikan. Tidak semua konsumen terdiri dari kalangan yang mudah untuk memahami bagaimana cara memanfaatkan “harta manfaat”. Sebagaimana Koin Shopee dan Poin Telkomsel, misalnya.

 

Tidak semua konsumen bisa memanfaatkan harta-harta manfaat tersebut untuk kepentingan belanja. Adakalanya yang dibutuhkan oleh konsumen bukan hanya belanja barang yang dipasarkan oleh pelapak. Mereka kadangkala membutuhkan manfaat lain yang paling dekat dengan dirinya. Sementara itu, ia sudah terlanjur terikat dengan kepemilikan harta manfaat. Apa yang harus dilakukannya?

 

Dalam konteks ini, pihak marketplace memiliki tanggung jawab berupa menjamin pihak pemilik harta, untuk mencairkan harta manfaat yang dimilikinya melalui cara yang paling sederhana. Misalnya, dengan jalan menggantinya dengan pulsa. Sudah barang tentu, skema penerapannya juga tidak boleh membuat marketplace mengalami kerugian. Apalagi kerugian yang bakal dialami oleh pihak ketiga, yaitu pelapak. Tentu lebih tidak diperbolehkan lagi, sebab mereka tidak ada relasinya dengan promosi marketplace.

 

Penutup

Singkatnya bahwa karena “manfaat” merupakan bagian dari harta, dan ia lahir karena adanya promo marketplace, maka adalah suatu keniscayaan (luzumah) bagi pihak yang melakukan promosi—dengan menawarkan imbal berupa harta manfaat tersebut—untuk bertanggug jawab, antara lain dalam:

 

  1. Penyerahan harta manfaat
  2. Kepastian bisanya harta tersebut dimanfaatkan oleh konsumen
  3. Menyediakan skema pencairan harta manfaat, dan
  4. Mengajukan klaim kerugian akibat konsumen tidak bisa mendapatkan manfaat dari harta manfaat yang sudah dikuasainya.

 

Tanpa adanya skema pengajuan klaim pertanggungjawaban terhadap “harta manfaat” semacam cashback, koin, dan poin dari konsumen kepada pengelola platform marketplace yang melakukan promosi tersebut, maka promosi itu bisa saja diartikan sebagai promosi palsu (najasy), atau bahkan penipuan sebab hanya memanfaatkan naluri konsumerisme konsumen semata. Alhasil, hal semacam adalah ibarat pelaku ghassy, yang dilarang oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamman ghassya, falaisa minna” (barang siapa yang melakukan penipuan maka bukan termasuk golongan kita). Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim