Syariah

Kompleksitas dan Problematika Klaim Asuransi di Indonesia

Sab, 18 Januari 2020 | 07:30 WIB

Kompleksitas dan Problematika Klaim Asuransi di Indonesia

Dari kesekian klaim risiko asuransi umum, kecenderungan klaim yang diterima dan ditolak mencapai rasio 50:50. Sementara dalam kasus klaim asuransi lainnya, mayoritas klaim sering dimenangkan oleh pihak penanggung (perusahaan). 

Ingat banjir, jadi ingat Asuransi. Dalam momen seperti ini, memang setiap perusahaan asuransi pasti akan banjir klaim, mulai dari mobil, kendaraan, asuransi jiwa, dan lain sebagainya. Untuk kasus banjir di Jakarta, total klaim asuransi yang tercatat mencapai aset senilai 1,7 Trilliun.

Ini baru Jakarta dan menyangkut perusahaan asuransi. Belum lagi catatan dari perusahaan reasuransinya. Jika di Jakarta saja sudah segitu, bagaimana dengan perusahaan asuransi di daerah bencana lainnya, ya? Wah, kiranya perlu banyak penggalian data lagi.

Teori dasar asuransi dalam konteks kehidupan sehari-hari menyerupai teori buwuhan. Sebuah kebiasaan masyarakat Jawa bila ada sanak famili, kerabat atau tetangga memiliki hajat ngunduh mantu, khitanan, ada kerabat yang sakit dan dirawat di rumah sakit, atau bahkan kelahiran seorang bayi. Biasanya para tetangga datang ke rumah orang yang memiliki hajat tersebut dengan membawa sejumlah uang yang diniatkan untuk menolong.

Itu sebabnya, asuransi sering juga disebut dengan istilah تعاون (tolong menolong) atau تكافل (saling empati dalam menanggung beban). Prinsipnya, siapa yang suka menolong, dia akan ditolong. Siapa yang suka empati dalam menanggung beban orang lain, maka bebannya kelak akan ditanggung pula orang lain, baik sadar atau tidak sadar.

Dalam perkembangannya, asuransi ini disistemkan dan ada “pengelola” yang bertanggung jawab dalam mengelola dana peserta. Saat itulah, asuransi tidak lagi bergerak dalam dua hal di atas, melainkan juga memiliki pengertian lain, yaitu تأمين (pengamanan) dan تضمين (penjaminan dari timbulnya risiko yang tak terduga). Wilayah geraknya tidak lagi hanya mencakup acara hajatan dan semacamnya, sebagaimana sudah disebutkan di atas, melainkan melebar ke berbagai sektor, misalnya asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi pendidikan, asuransi kesehatan, dan lain-lain masih banyak lagi.

Karena asuransi beralih menjadi sistem dan lembaga, sifat asuransi lambat laun juga mengalami perubahan. Ia tidak lagi hanya melulu mengelola dana tabarru’ peserta (dana suka rela), melainkan juga bergerak pada dana investasi. Dalam timbangan penulis, keberadaan dana tabarru’ inilah yang dalam perkembangannya sebagai faktor penghalal dari asuransi dan menghindarkannya dari pengertian maysir (judi), gharar (penipuan) dan ghabn (kecurangan), apalagi riba.

Adapun kedudukan dana investasi masih diperselisihkan, mengingat fakta praktik dari perusahaan asuransi itu sendiri, yang dalam beberapa hal, terkadang sulit bagi peserta pemegang polis untuk mengajukan klaim yang dipersyaratkan. Polis itu ibarat surat tanda bukti bahwa peserta telah membayar premi (iuran rutin) sebagai bukti keanggotaan. Karena disistemkan pula, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai payung organisasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) menyediakan ruang penyaluran penyelesaian sengketa sebagai bentuk pertanggungan risiko asuransi. OJK dalam hal ini mendirikan sebuah lembaga penyelesaian sengketa yang dinamakan sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).

Masalah Klaim Asuransi
Berdasarkan catatan data, nasabah asuransi sering mengalami kekecewaan dalam mengajukan klaim asuransi. Kekecewaan itu muncul bukan tanpa sebab. Banyak kasus pengajuan klaim asuransi oleh nasabah sering dimenangkan oleh perusahaan asuransi sehingga mereka bebas dari melakukan pembayaran pertanggungan.

Terhitung sejak Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) didirikan dan ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Maret 2019, dilaporkan ada kurang lebih 276 kasus klaim nasabah asuransi umum, dan 226 kasus klaim nasabah asuransi jiwa. Tercatat dari upaya mediasi, ada 118 klaim asuransi umum diterima dan 119 klaim ditolak. Sementara dari upaya ajudikasi, terdapat kurang lebih 27 klaim diterima dan 12 klaim ditolak.

Dari kesekian klaim risiko asuransi umum, kecenderungan klaim yang diterima dan ditolak mencapai rasio 50:50. Sementara dalam kasus klaim asuransi lainnya, mayoritas klaim sering dimenangkan oleh pihak penanggung (perusahaan). 

Latar belakang penolakan klaim ini yang pertama adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan polis yang dimilikinya. Kebanyakan peserta hanya mengajukan klaim asuransi jiwa dan harta benda. Contoh asuransi harta benda: produk asuransi yang menjamin kerusakan dan kerugian harta benda akibat kebakaran, bencana alam atau kejadian insidental. Biasanya, nasabah langsung mengajukan ganti rugi meminta pembayaran klaim begitu musibah terjadi. Sementara ketentuan pada polis tidak diperhatikannya. Akibatnya, klaim ditolak perusahaan.

Contoh, ketentuan pada polis asuransi harta benda mengatur bahwa rumah yang diasuransikan merupakan lokasi tinggal. Begitu perusahaan melakukan pengecekan, ternyata rumah tersebut dipergunakan sebagai bengkel. Peralihan fungsi semacam dapat berakibat pada penolakan klaim oleh perusahaan.

Sebab kedua, kadang dokumen nasabah tidak lengkap. Beruntung sekarang ada aplikasi berbasis insurtech (insurance technology) Bindcover yang bermanfaat membantu pengajuan klaim. Teknologi ini dibuat sebagai respons terhadap keluhan masyarakat yang menganggap bahwa proses pengajuan klaim asuransi selama ini terlalu berbelit.

Bagaimana Mekanisme Pengajuan Klaim itu Diatur?
Mengingat dari 15,7% masyarakat Indonesia yang menjadi peserta asuransi, hanya 3% di antaranya yang mengajukan klaim, maka pihak OJK menyikapinya dengan pendirian sebuah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LPAS).
 
LPAS sektor jasa keuangan memiliki beberapa anggota, di antaranya: Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPP), dan Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI). 

BMAI adalah gabungan dari tiga perhimpunan asuransi, antara lain Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI). Untuk nasabah Asuransi BPJS misalnya, apabila terjadi sengketa dan susah mengajukan klaim, maka nasabah atau perusahaan dapat mengajukan mediasi melalui BMAI ini.

Mekanisme pengajuan klaim peserta asuransi, ada beberapa langkah, antara lain: Pertama, hendaknya ia mencoba mengajukan klaim terlebih dahulu ke LJK (Lembaga Jasa Keuangan) asuransi bersangkutan.

Setiap LJK yang resmi dan diakui oleh OJK, selalu memiliki unit kerja di daerah serta fungsi dan mekanisme pelayanan penyelesaian pengaduani konsumen. Jika hal ini belum dapat menyelesaikan sengketa, maka peserta bisa mengambil langkah kedua berupa melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau mengambil langkah ketiga yaitu melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat diajukan ke LAPS melalui organisasi yang ditunjuk, seperti BMAI.  Ada tiga mekanisme penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh LPAS lewat BMAI, yaitu: Pertama, melalui mediasi. Cara ini ditempuh dengan jalan penyelesaian lewat mediator guna memperoleh kesepakatan. Kedua, Ajudikasi. Proses ini ditempuh guna mendapatkan kepastian putusan atas sengketa yang terjadi antara nasabah dengan perusahaan. Putusan ini bersifat mengikat bagi setiap pihak, dengan catatan bila nasabah menerima.

Adapun bila tidak menerima putusan, nasabah bisa menyelesaikan lewat pengadilan atau jalur lain. Ketiga, arbitrase. Cara ini merupakan alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan berdasar nota tertulis perjanjian yang dibangun antara nasabah dengan perusahaan asuransi. Putusan arbitrase ini bersifat final dan mengikat semua pihak. 

Walhasil, dengan literasi LAPS ini, ada harapan dari pihak OJK selaku payung bersama industri asuransi, bahwa pengajuan klaim dari nasabah bisa meningkat dari tahun ke tahun. Semua ini ditujukan guna menjamin bahwa tidak ada unsur gharar (penipuan), ghabn (kecurangan), maysir (judi) dan riba dari perusahaan asuransi.

Demikian pula hak konsumen dalam mendapatkan apa yang dijanjikan sesuai dengan kewajiban yang telah dijalaninya dalam membayar premi asuransi, bisa turut serta mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam menambah literasi asuransi. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur