Syariah

Leasing Syariah dengan Akad Bai’ Murabahah

Sen, 19 Februari 2018 | 10:00 WIB

Leasing Syariah dengan Akad Bai’ Murabahah

Ilustrasi (tmforum.org)

Sebuah hukum adalah bergantung pada ta’rif (definisi) dan praktiknya. Demikian ini berlaku untuk semua jenis produk hukum, baik itu produk syariah maupun produk konvensional. Sebuah leasing suatu ketika bisa dinyatakan sebagai haram, namun juga di satu sisi bisa disebut sebagai halal, adalah bergantung pada praktiknya dan sekaligus ta’rifnya. 

Sebagaimana diketahui bahwa leasing dalam praktik perbankan syariah bisa diterapkan melalui dua jalur pelaksanaan, yaitu produk murabahah dan produk musyarakah. Jika leasing diterapkan mengikuti produk murabahah, maka berlaku ketentuan sebagai berikut, yaitu:

1. Tidak ada uang muka (down payment)

2. Cicilan diterapkan dengan skema harga pokok ditambah dengan keuntungan 

3. Angsuran setiap masa cicilan adalah berangsur tetap. 

4. Transfer of title (perpindahan kepemilikan) atau biasa dikenal dengan istilah leavering, terjadi sejak awal kesepakatan akad dan merupakan kepemilikan yang sempurna.

Keempat syarat di atas, mutlak wajib dilaksanakan. Dan bila dijumpai salah satu yang tidak sesuai dengan syarat, maka status bai’ tersebut menjadi batal. 

ولا يرتهن له إلا إن تعذر التقاضي لدينه أو باع ماله مؤجلا فيرتهن فيهما وجوبا وإنما يجوز بيع ماله مؤجلا لغبطة من أمين غني وبإشهاد وبأجل قصير في العرف وبشرط كون المرهون وافيا بالثمن فإن فقد شرط مما ذكر بطل البيع

Artinya: “Dan jangan penjual mengambil barang pembeli sebagai gadai darinya kecuali adanya ‘illah berupa pembeli sulit melunasi hutangnya. Atau penjual menjual hartanya secara muajjal (bertempo), kemudian penjual mensyaratkan gadai kepada pembeli dengan wajib. Adapun jual beli secara bertempo diperbolehkan adalah 1) karena adanya ghibthah (penerjemah: jaminan pelunasan) dari seorang yang amanah, kaya, 2) adanya saksi-saksi, dan 3) tempo pembayaran yang tidak lama secara ‘urf, serta 4) adanya “syarat” bahwa ‘keberadaan barang yang digadaikan’harus tertebus dengan harga. Jika salah satu dari keempat syarat ini tidak ada, maka batalah akad jual beli (taqshith dan muajjalan ini).” (Syeikh Ibn Hajar Al-Haitamy, Hawasy Tuhfatul Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Mathba’ah Mushthafa Muhammad: 5/54)

Mengikut ibarat di atas, maka pada saat seseorang mengambil leasing dengan mengikuti metode akad murabahah (harga pokok plus keuntungan bagi penjual), maka ia sejatinya sedang melakukan jual beli dengan akad bai’ taqshith atau jual beli kredit. Nama lain dari bai’ taqshith adalah bai’ muajjal, yaitu jual beli dengan tempo. Jual beli taqshith adalah jual beli yang dilaksanakan oleh seseorang dengan kesepakatan harga di awal, namun dengan pembayaran yang ditunda. 

Sebagaimana lazimnya jual beli taqshith, maka berlaku ketentuan sahnya leasing murabahah, adalah sebagai berikut:

1. Pembeli bisa memanfaatkan barang beliannya sejak awal terjadinya kesepakatan harga

2. Harga barang dan masa angsuran ditentukan sejak awal masa negosiasi. Dalam hal ini penjual boleh memberikan harga yang beda terhadap satu barang yang dijual. Misalnya, suatu ‘ain, bila dibeli dengan cash, maka harganya 10 ribu rupiah. Sementara bila barang dibeli secara kredit, maka harganya adalah 15 ribu rupiah. Selanjutnya, harga jadi dibagi menurut lama angsuran sebagai harga cicilan konsumen.

3. Penjual tidak boleh menarik harga tambahan manakala dijumpai adanya keterlambatan dalam cicilan / angsuran. 

Konsep ini sebenarnya dalam praktik lembaga pembiayaan syariah dapat berujung pada kerugian. Kerugiannya adalah bila ia menghadapi kondisi konsumen yang sulit untuk melangsungkan penebusan harga sehingga jangka waktu penebusan menjadi molor.

Jika dalam lembaga pembiayaan konvensional, akibat keterlambatan dalam cicilan, pihak lembaga pembiayaan mengenakan sanksi yaitu berupa tambahan biaya pada angsuran berikutnya. Konsep ini diadopsi menjadi berstatus denda / sanksi pembayaran. Inilah yang menjadi khilaf di kalangan fuqaha’ Syafi’iyah kontemporer, karena dalam konsep turats, tidak pernah dikenal dengan istilah sanksi yang dilakukan dengan mengambil harta (maal) sehingga hukumnya adalah “haram,” kecuali fuqaha’ dari kalangan hanafiyah, ada khilaf yang membolehkannya.

قال الشافعي: لا تضعف الغرامة على أحد في شيء إنما العقوبة في الأبدان لا في الأموال

Artinya: “Al-Syafi’i berkata denda tidak diperlakukan dengan mengambil sesuatu, hukuman diperlakukan sebatas pada raga tidak pada harta” (Lihat Al-Baihaqy, Sunan Al-Kubra li al-Baihaqy, Daru al-Kutub al-Ilmiyyah: 8/279)

Fuqaha’ Syafi’iyah menyatakan hukumnya haram dengan menarik denda. Sementara dalam Fuqaha’ Hanafiyah ada yang menyatakan haram, dan ada yang menyatakan boleh.

قال الرحيباني وحرم تعزير بحلق لحية وقطع طرف وجرح) لأنه مثلة (وكذا) يحرم تعزير (بأخذ مال أو إتلافه) لأن الشرع لم يرد بشيء من ذلك عمن يقتدى به , ولأن الواجب أدبه والأدب لا يكون بالإتلاف (خلافا للشيخ) تقي الدين ; فإن عنده التعزير بالمال سائغ إتلافا وأخذا

Artinya: “Al-Ruhaibany menyatakan bahwa haram menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda. Namun, Imam Taqiyuddin memperkenankan ta’zir berupa mengambil atau merusak harta benda.” (Lihat Al-Ruhaibany, Mathaalib Ulin Nuhaa, Daru al-Kutub Al-Ilmiyah: 6/224)

Kondisi tidak berimbang manakala ditemui adanya konsumen/nasabah yang memiliki kredibilitas pembayaran yang baik. Pada lembaga konvensional, ada istilah bonus cicilan. Apakah dalam hal ini juga bisa diadopsi dalam neraca pemasukan dan pengeluaran lembaga pembiayaan syariah? Jika konsep bonus diadopsi, maka konsep denda juga mensyaratkan adopsinya. Bila konsep denda tidak diadopsi sementara konsep bonus diadopsi, maka akan terjadi keguncangan pada neraca aktiva perbankan. Selain itu, konsep bonus dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen bila hal tersebut diterapkan karena dapat memacu kinerja pendanaan lembaga. Akhirnya, lembaga pembiayaan memakai konsep denda dan bonus ini dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan konsep al-dlaruriyatu al-khams yakni al-adlu (keadilan) sebagai al-dlarurat.

4. Penjual tidak berhak menarik kembali barang yang sudah dijual kepada pembeli, namun ia boleh memberikan syarat kepada pembeli bahwa apabila terjadi kredit macet, maka pihak pembeli bisa menggadaikan (rahn) barang yang sudah dibelinya kepada penjual untuk menjamin haknya guna melunasi cicilan. 

Payung Hukum Leasing Syariah Berbasis Murabahah

Jika melihat realitas yang berkembang di masyarakat, bahwa konsep leasing oleh lembaga pembiayaan konvensional ternyata banyak menerapkan konsep murabahah ini. Indikasinya adalah angsuran tetap. Namun, konsekuensi adanya uang muka (Down Payment) ini yang menjadikan akad ini rusak karena pembayaran semacam ini adalah konsepnya ijarah muntahiyah bi al-tamlik atau musyarakah mutanaqishah bi nihayati al-tamlik. 

Payung hukum negara untuk akad musyarakah mutanaqishah sebenarnya tidak ada kecuali hanya sebatas Fatwa DSN MUI. Adapun konsepsi yang sesuai dengan bunyi legal formal peraturan negara adalah justru konsep leasing dengan bai’ murabahah. Untuk mengetahui hal ini, pembaca bisa merujuk pada bunyi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan (“Perpres 9/2009”) atau melihat kembali Keputusan Menteri Perdagangan Dan KoperasiNomor 34/KP/II/80 Tahun 1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan Angsuran, dan Sewa (Renting) (“Kepmen 34/1980”) yang telah dicabut olehPeraturan Menteri Perdagangan Republik IndonesiaNomor 21/M-DAG/PER/10/2005 Tahun 2005 tentangPencabutan Beberapa Perizinan Dan Pendaftaran Di Bidang Perdagangan. Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua