Syariah

Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah

Sen, 15 Januari 2018 | 11:20 WIB

Pembiayaan menurut definisi UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah usaha perbankan dalam menyediakan uang atau “tagihan yang dipersamakan dengan itu” kepada nasabahnya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai (nasabah) mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Tujuan dari pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariahnya adalah peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi nasabah/pihak yang dibiayai. Pembiayaan ini dalam bank konvensional disebut kredit perbankan dengan penetapan bunga. 

Sifat dari pembiayaan suatu perbankan adalah harus bisa dinikmati oleh semua kalangan termasuk pengusaha yang bergerak di bidang industri, manufacture, pertanian, perdagangan dan beberapa segi bidang lainnya. Langkah ini merupakan mutlak harus dilakukan seiring pembangunan nasional membutuhkan upaya membuka seluas-luasnya kesempatan kerja, lembaga yang mampu menunjang produksi dan distribusi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, ruang gerak perbankan syariah harus mencakup juga upaya permodalan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek industri kecil rumah tangga atau kebutuhan-kebutuhan skala domestik. Ini mutlak harus dilakukan jika berharap perbankan syariah mampu menggantikan segmen perbankan konvensional dari segi pembiayaan. Kebutuhan nasional di bidang ekspor dan impor sementara waktu masih bergantung kepada aplikasi bank konvensional.

Fasilitas yang dilegalkan oleh fiqih untuk kebutuhan pembiayaan ini ada tiga, yaitu (1) murabahah, (2) mudharabah, dan 3) musyarakah

Pembiayaan Murabahah

Untuk pembiayaan murabahah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, adalah dilaksanakan dengan instrumen jual beli dengan mengambil keuntungan. Murabahah juga berpeluang memberikan permodalan usaha lewat aqad bai’ murabahah bil wa’di lisy syira’ dan bai’ murabahah lil amiri lisy syira’. Praktik tentang ini bisa dilihat pada tulisan yang lalu tentang Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syari’ah.

(Baca: Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syariah)
Karena pembiayaan murabahah ini dilakukan dengan basis ribhun (laba), baik melalui jual beli secara kredit maupun secara tunai, maka nilai keuntungan (profitabilitas) yang dimiliki oleh perbankan adalah bergantung pada besaran margin keuntungan. Besaran margin ini berasal dari nilai ra’su al-maal ditambah dengan ribhun serta kemungkinan tambahan biaya-biaya administrasi yang dilegalkan oleh syariat. 

Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan mudharabah merupakan produk perbankan yang diterapkan untuk kepentingan murni memodali suatu pendirian lapangan usaha. Modal adalah 100% berasal dari pihak bank, sementara partner yang dimodali hanya sekedar menjalankan usaha. Dengan kata lain, pihak perbankan mendirikan perusahaan, sementara yang menjalankan adalah partnernya tersebut. 

Berbeda dengan sifat penyediaan modal lewat jalur murabahah, maka pada permodalan mudharabah, pihak perbankan bisa mendapatkan bagi hasil secara terus menerus selama usaha tersebut masih dijalankan. Besaran keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan pada awal kontrak. Dan apabila terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak pemodal (bank), yang sepenuhnya akan menanggungnya. Adapun pelaksana (‘amil), hanya akan dimintai pertanggungan jawab bilamana kerugian tersebut disebabkan karena keteledorannya. 

Wilayah yang bisa diambah oleh paket mudharabah ini adalah istishna’iy, yaitu pendirian lapangan usaha. Terhadap apakah suatu investasi harus ditentukan oleh “nasabah yang menyerahkan uangnya kepada bank untuk diinvestasikan” ataukah perbankan sendiri yang melaksanakan, maka dalam kesempatan ini bergantung pada jenis mudharabah yang diikuti. 

Ada dua jenis aqad pembiayaan mudharabah, yaitu: mudharabah muqayyadah dan mudharabah muthlaqah. 

1. Mudharabah muqayyadah merupakan jenis usaha yang ditentukan oleh pemilik modal atau shohibu al-maal. Istilah lain dari shahibu al-maal adalah rabbu al-maal (pemodal). Dalam wilayah ini yang berperan selaku shahibu al-maal adalah bank itu sendiri. Adapun partner yang dibiayai, berperan selaku mudlarib (pengelola). Ia hanya berhak menjalankan usaha tersebut. Contoh dalam hal ini adalah produk Reksadana Syariah.

Suatu misal: 

Pak Ahmad memiliki beberapa mobil. Ia berkeinginan mendirikan rental mobil. Kemudian ia menunjuk salah satu saudaranya (Si Udin) untuk menjalankan bisnis tersebut. Semua mobil yang ditentukan Pak Ahmad, bisa dipergunakan untuk disewakan oleh saudaranya. Dari setiap kali ada orang yang menyewa mobil, Si Udin akan diberi besaran penghasilan sebesar 25% dari harga sewa. 

Dalam contoh kasus ini, maka Pak Ahmad berperan selaku shahibu al-maal, sementara Si Udin berperan sebagai mudlarib. Mobil yang disewakan merupakan al-maal (harta). Kerja atau usaha Si Udin dalam menjalankan merupakan dharabah dan nisbah pembagian hasil merupakan ribhhun. Pasrah Pak Ahmad kepada Si Udin dengan disertai menunjukkan nisbah keuntungan 25% pemasukan, dan disanggupi oleh Si Udin merupakan ijab-qabul.

2. Mudharabah muthlaqah, merupakan jenis usaha yang diajukan oleh seorang partner (mudlarib), kemudian disetujui oleh pihak shahibu al-maal (bank). Artinya, pihak perbankan di sini bersifat tidak menentukan suatu jenis usaha apapun. Ia hanya bersifat memodali dan menerima nisbah pembagian hasil dari perjalanan usaha tersebut. Jenis mudharabah seperti ini yang paling banyak dijumpai pada industri perbankan, baik perbankan syariah maupun konvensional. Contoh dalam hal ini adalah produk Deposito Syariah.

Suatu misal:

Pak Ahmad ingin mendirikan Industri Tahu. Karena Ia tidak memiliki modal, akhirnya, ia membuat sebuah proposal yang lengkap disertai dengan rincian dan prospek usaha serta peluang keuntungan kepada pihak perbankan syariah. Kemudian, pihak bank menyetujuinya dengan mengucurkan sejumlah dana yang dibutuhkan oleh Pak Ahmad. 

Dana yang diberikan oleh Bank ini sifatnya adalah bukan pinjaman, melainkan amanah kepada Pak Ahmad untuk mengelolanya demi kebutuhan pendirian industri sebagaimana yang diajukan oleh Pak Ahmad kepada Bank. Jika untung, maka Bank akan terus menerima nisbah pembagian keuntungannya. Sementara jika rugi, pihak Bank selaku pemodal yang menanggungnya. Pak Ahmad tidak berkewajiban menanggung kerugian tersebut, selagi kerugian bukan disebabkan karena faktor keteledoran dia. 

Lantas bagaimana hubungannya antara “bank” dengan pihak “nasabah” yang dalam hal ini adalah “shâhibu al-mâl” (pemilik harta) sebenarnya? Bilamanakah ada kerugian? Dan bilamanakah ada keuntungan?


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua