Syariah

Mau Kredit di Bank Syariah, Kenali Dulu Jenis Agunan Anda!

Sen, 5 Maret 2018 | 12:30 WIB

Salah satu peran lembaga perbankan syariah adalah sebagai lembaga intermediasi  keuangan. Intermediasi maksudnya bahwa bank berperan selaku “wakil nasabah” dalam menerima dan sekaligus menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan. Unit pembiayaan bisa terdiri atas suatu badan usaha, unit usaha menengah dan usaha kecil (UMKM) dan atau bahkan personal. Jika bank tersebut berbasis syariah, maka langkah penyaluran ini senantiasa berusaha memenuhi  prinsip-prinsip syariah. 

Dalam sistem perbankan konvensional, fungsi intermediasi ini dimainkan dengan jalan mengumpulkan dana masyarakat nasabah kemudian bank berperan menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan melalui penyaluran bantuan kredit perbankan. Selanjutnya bank memberikan bunga kepada nasabah yang keuangannya ditasharufkan oleh perbankan.

Terkait dengan penyaluran pembiayaan/perkreditan, selain bank melakukan survei ke nasabahnya dan mengadakan studi kelayakan nasabah, kadang bank juga mengharuskan adanya peran jaminan. Jaminan ini selanjutnya disebut sebagai agunan. Ada dua jenis prinsip agunan yang dikenal dalam syariah, yaitu agunan berbasis aset (rahn) dan agunan berbasis personal (kafâlah). 

Fungsi dari agunan ini sebenarnya ada banyak sekali, salah satunya sebagai jaminan kembalinya pinjaman dana nasabah ke bank. Mengapa harus ada jaminan? Selain karena faktor nasabah yang beraneka ragam kondisi sosial dan karakteristiknya, juga dalam rangka sekuritisasi (jaminan keamanan) dana investor dan/atau nasabah yang sudah menabung ke bank tersebut. Dalam hal ini, yang diputar adalah dananya nasabah. Karena dan investor bisa menarik dananya sewaktu-waktu, maka pihak perbankan harus membuat sistem yang mudah untuk mencairkan dananya (liquiditas). Caranya, adalah dengan keberadaan agunan tersebut. 

Untuk agunan berbasis personal (kafâlah bin nafs) dalam perbankan syariah umumnya diterapkan melalui skema kafîl (Institusi penjamin pembiayaan/kredit) akan menjamin bahwa pihak kedua/nasabah yang mengajukan kredit (makfûl ‘anhu) akan mengembalikan hutangnya (al-makfûl) kepada pihak ketiga, yaitu bank syariah (al-makfûl lahu). 

Misalnya Pak Tono (pihak 1) menjamin bahwa Pak Toni (pihak 2) akan melaksanakan kewajiban mengembalikan hutang-hutangnya (al-makfûl) kepada Pak Roy (pihak 3). Dalam sistem perbankan syariah, peran Pak Tono (pihak 1) ini diperankan oleh sebuah institusi penjamin kredit. Untuk mengetahui keberadaan dan peran institusi tersebut, pihak yang mengajukan bisa menanyakannya di bank syariah yang bersangkutan. Jenis pembiayaan dengan agunan personal (kafâlah bin nafs) ini umumnya diberikan dengan istilah pembiayaan tanpa agunan. Praktiknya bagaimana? Biasanya, nasabah akan diajak melakukan skema jual beli murabahah. 

Adapun agunan berbasis aset (kafâlah bil mâl), maka salah satu cara yang dibenarkan oleh syariah adalah dengan sistem rahn (gadai). Dewasa ini, ruang lingkup aset sudah sangat berkembang sekali. Menurut ulama jumhur selain ulama dari madzhab Hanafi, bahwa yang dimaksud dengan aset adalah: 

وأما المال عند الجمهور غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه

Artinya: “Pengertian aset menurut ulama Jumhur selain Hanafiyah adalah mencakup segala sesuatu yang memiliki nilai dan mewajibkan dlaman bila merusaknya.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamu wa Adillatuh, Juz 7, Beirut: Daru al-Fikr, 1985, hal: 385)

Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud sebagai aset adalah kadang berupa barang wujud, barang yang memiliki nilai dan barang yang jika rusak, maka yang merusakkan wajib menanggungnya.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Syukuk, Pasal 3, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan barang (aset) yang bisa dijadikan jaminan (agunan) sehingga disebut juga sebagai aset dasar (underlying asset), terbagi menjadi beberapa macam: 

• Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat); misalnya pekarangan rumah, mobil, sepeda motor.

• Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; misalnya: surat tanah, BPKB kendaraan, saham, hak paten dan lain-lain

• Jasa (al-khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; misalnya hak paten, hak produksi, dan lain-lain

• Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); misalnya hak pendirian franchise,  hak guna bangunan, hak sewa, hak kontrak dan/atau 

• Kegiatan investasi yang telah ditentukan dalam jangka panjang (nasyath ististmarin khashah).

Masih dalam peraturan di atas, aset sebagaimana yang dimaksud dalam ta’rif madzhab Syafi’i dijadikan sebagai syarat minimal aset, yaitu memiliki nilai dan memiliki status kepemilikan.

Dengan mengenali beberapa aset di atas, maka seseorang yang ingin mengajukan pembiayaan beragun aset – pembiayaan dengan jaminan barang -, maka ia terlebih dahulu harus mengenali jenis aset yang dimilikinya. 

Dewasa ini mulai diperkenalkan istilah Efek Beragun Aset. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini? Dan bagaimanakah perannya dalam dunia perekonomian syariah? Tunggu tulisan berikutnya! Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua