Syariah

Memahami Akad Jual Akad Jual Beli Kredit pada Bank

Jum, 3 Februari 2023 | 19:00 WIB

Telah maklum bahwa komponen akad ada empat, yaitu: maqashid, mabani, alfazh, dan ma'ani. Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshud, artinya adalah kesengajaan. Mabani merupakan bentuk jamak dari mabni, yang artinya merupakan rangkaian bangunan kalimat sehingga bisa difaham dan menunjukkan hukum atau faedah tertentu. Alfazh merupakan bentuk jamak dari lafazh, yaitu segala sesuatu yang diucapkan oleh lisan. Sementara ma'ani merupakan jamak dari ma’na, yang berarti kefahaman itu sendiri.

 

Dilihat dari sisi maknanya, dari keempat komponen ini, secara berturut-turut hubungan dari yang paling khusus menuju ke paling umum adalah maqashid, mabani, ma'ani dan alfazh. Jadi, alfazh menduduki hal yang memiliki makna paling umum. Sementara maqashid menempati makna yang paling khusus dibanding ketiga lainnya. Itulah sebabnya, dalam konteks akad, kesengajaan pelaku, merupakan hal yang cenderung diperhatikan oleh banyak pihak, sehingga kemudian keluar pernyataan: 
 

العبرة في العقود بالمقاصد والمباني لا بالألفاظ والمعاني
 

Artinya: “Ungkapan dalam akad adalah berdasar kesengajaan dan bangunannya, bukan berdasarkan yang terucap dan makna yang ditunjukkannya.”
 

Jika kita renungkan lagi, konteks ini adalah berlaku bilamana kondisi masyarakat dan akad yang berlaku di dalamnya, terdiri atas masyarakat yang saling percaya antara satu sama lain. Dua pihak yang memang sudah akrab melakukan hubungan relasi atau transaksi bisnis, akan dengan mudah menerima hal tersebut.
 

Misalnya ada seseorang berangkat ke warung dan tiba-tiba mengambil pisang goreng. Setelah dirasa cukup, maka dia menyerahkan sejumlah uang kepada penjual, sesuai dengan habisnya pisang goreng yang diambilnya. Meskipun ketika mengambil ini, pihak yang mengambil pisang goreng tidak bilang bahwa ia membeli pisang goreng dan bukan sedang memakan hidangan cuma-cuma dari penjual warung, karena keberadaan adanya harga yang diserahkan setelah ia selesai makan, menunjukkan bahwa itu adalah akad jual beli.
 

Di sini unsur kesengajaan itu berlaku atas pembeli. Adapun pemilik warung, maka unsur kesengajaan itu terletak pada perbuatannya dalam menaruh pisang di depan dagangannya dengan tanpa niat untuk dinikmati secara cuma-cuma oleh orang yang mampir ke warungnya, melainkan agar mudah bagi sang pembeli untuk mengambilnya tanpa merepotkan pemilik warung untuk mengambilkan satu per satu. Model transaksi semacam ini sudah maklum kita ketahui dari pembahasan bai’ mu’athah
 

Dalam kasus modern dimana banyak terjadi relasi dan hubungan antara dua pihak atau lebih, yang kadang mereka bukan orang yang dikenal oleh penjual, atau bahkan orang yang sama sekali asing bagi penjual, maka dibutuhkan upaya untuk menjaga aspek kerugian yang mungkin akan diderita oleh penjual. Salah satu upaya menjaga tersebut adalah bahwa setiap orang yang datang kepadanya dan hendak membeli barang, dia harus mengatakan bahwa dia sedang membeli. Pernyataan membeli ini digambarkan sebagai lafal yang diungkapkan oleh lisan, atau lewat organ lain yang menunjukkan isyarat pada jual beli. Salah satu contoh praktis misalnya ada mobil dipajang di sebuah showroom. Tujuan dari pemajangan ini adalah untuk memudahkan pembeli melihat dan mengetahui ciri-ciri fisik mobil yang hendak dibeli dan bukannya kemudian dianggapnya sebagai barang yang boleh dicoba dan dipinjam begitu saja.
 

Di dalam akad perkreditan bank, umumnya yang dimaksud dengan kredit itu adalah jual beli dengan harga tunda penyerahan harganya. Uniknya, gambaran seperti ini jarang dimengerti oleh nasabah, akan tetapi mereka justru menganggap bahwa yang dinamakan kredit adalah utang-piutang. Padahal pendahuluan dari akad ini selalu turut menyertakan barang yang dijadikan jaminan. Ketika terjadi keterlambatan pembayaran, kemudian barang jaminan diambil oleh perbankan, justru malah banyak pihak yang menganggap bahwa perbankan telah melakukan perampasan milik nasabah. Jika kita mau meneliti lagi, tujuan dari pengambilan perbankan ini adalah untuk melelang barang yang sudah dijadikan jaminan tersebut, yang hakekatnya barang itu masih milik berdua antara bank dengan nasabah. Hasil lelang kemudian digunakan untuk menutupi tanggungan nasabah ke bank, dengan sisa hasil lelang yang dikembalikan kepada nasabah. 
 

Sekilas apa yang terjadi di atas menunjukkan bahwa ada mekanisme yang salah dan hal itu terjadi pada relasi nasabah dan bank. Kesalahan mekanisme ini membutuhkan penyelesaian. Sudah pasti penyelesaian yang diharapkan adalah penyelesaian yang berdasar dan memiliki pijakan hukum. Pijakan hukum yang dipergunakan oleh bank adalah:

  1. Akad yang sedang berlangsung adalah akad jual beli kredit.
  2. Adanya barang jaminan dibawa kembali oleh nasabah adalah karena nasabah membelinya kembali dari bank secara kredit. Apa buktinya? Tidak lain adalah Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dipegang oleh Bank. 


 

Jadi, kaidah yang berlaku oleh bank dalam hal ini adalah:
 

العبرة في العقود بالألفاظ والمعاني لا بالمقاصد والمباني


Artinya: “Ungkapan pernyataan akad adalah berdasar lafadh dan maknanya, bukan berdasar tujuan dan bangunannya.” 
 

Secara jelas lafal menunjukkan istilah kredit yang bisa difahami hanya terjadi pada kasus jual beli. Jadi, meskipun unsur kesengajaan yang timbul dari sisi nasabah adalah mencari utang, dan dalam masa negosiasinya tidak terdapat lafal jual beli, tetap yang dimenangkan adalah label yang dipromosikan oleh bank sebagai akad “kredit”.
 

Ibarat terakhir yang menyatakan bahwa ungkapan dalam akad harus berdasar lafal dan makna lahiriah, bukan berdasar tujuan dari nasabah atau pihak yang memiliki hajat mencari utangan, bisa berlaku pada beberapa kondisi, antara lain: 

  1. Akad yang terjadi melibatkan barang besar.
  2. Ada kecenderungan masyarakat yang hendak mencari kesenangan pribadi dengan tidak adanya kerugian bagi pihak lain.
  3. Karena ungkapan batin tidak bisa diketahui secara lahiriah, maka dari itu dibutuhkan landasan lahiriah yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. 
  4. Karena perbankan merupakan lembaga publik dan rentan terhadap sengketa, maka mereka dituntut untuk memiliki bukti yang berupa fisik akad, seperti shighat akad yang mungkin keberadaannya tertuang dalam nota hitam di atas putih.
 

Dengan mencermati pola relasi semacam ini, maka kita bisa mendudukkan bahwa telah terjadi pembacaan yang keliru dalam memahami sejumlah akad, khususnya berkaitan dengan bank.​​​ Wallahu a’lam bis shawab.

 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur