Syariah

Mengenal Akad Bagi Hasil dari Aplikasi yang Menjanjikan Penghasilan

Rab, 17 Februari 2021 | 15:00 WIB

Mengenal Akad Bagi Hasil dari Aplikasi yang Menjanjikan Penghasilan

Bila standar sebagai harta tidak ada maka apa yang diklaim sebagai “investasi” pada dasarnya hanyalah sebuah aktivitas oper-oper uang semata.

 Kajian tentang permodalan dan investasi dalam Islam, pada dasarnya bermuara dari kajian rumpun akad jual beli (buyu'), akad utang (qardh), jual beli tempo, akad ijarah (jasa), serta akad ju’alah (sayembara). Itu sebabnya, bila ada suatu aktivitas mengatasnamakan investasi dan permodalan, maka mensyaratkan perlunya seseorang untuk mengenal ada atau tidaknya "barang" atau entitas yang bisa sah untuk dijadikan objek jual beli, tidak melanggar prinsip utang, jual beli tempo, "manfaat/kerja" yang bisa dijadikan objek berbasis jasa, dan prestasi/ju’alah.

 

Karena barang, kerja, dan prestasi penjualan merupakan yang bisa dijadikan sebagai objek usaha maka secara otomatis pendapatan dan sekaligus barang/kerja yang ditransaksikan juga harus memenuhi standar sebagai "harta berjamin barang, kerja, atau prestasi penjualan” itu sendiri. Syarat keterpenuhan itu kemudian diringkas dalam konsepsi harta, yaitu bahwa setiap harta itu wajib terdiri atas dua komponen penyusun, antara lain: (1) barang itu harus memenuhi kategori mutaqawwam (berjamin nilai/aset), dan (2) barang itu terdiri dari nilai itu sendiri, misalnya pada mâl ma’nawi (seumpama cryptocurrency, dan sejenisnya).

 

Bila standar sebagai harta ini tidak ada maka apa yang diklaim sebagai “investasi” pada dasarnya hanyalah sebuah aktivitas oper-oper uang semata sehingga menyerupai sebuah praktik utang tanpa jaminan penunaian, alias cuci tangan. Kita umumnya menyebut sebagai bai' ma'dum atau jual beli harta yang tidak berjamin aset. Dan semua ini adalah ciri khas utama dari money game.

 

Bermula dari Akad Utang, Jual Beli, dan Ijarah

Inti sahnya akad utang adalah sebab ada "jaminan pengembalian", yang secara tidak langsung juga bermakna "jaminan adanya pertukaran barang dengan barang", atau "barang dengan uang". Dan setiap aktivitas muamalah yang melibatkan adanya pertukaran adalah merupakan akad jual beli (bai').

 

Bila pertukaran itu dilakukan antara harga dan jasa, maka pertukaran itu masuk rumpun akad ijarah. Setiap pemanfaatan suatu barang yang disertai dengan penyerahan harga, dengan wujud fisik barang kembali kepada pemiliknya, maka harga yang diserahkan itu merupakan upah jasa (ujrah).

 

Dari sisi akad ijarah, umumnya penggambaran relasi hanya terdiri dari dua orang yang saling berakad, yaitu (1) ajir (pihak yang disewa tenaganya) atau orang yang menyewakan aset (muajjir) dan (2) pihak musta'jir (penyewa). Datangnya upah dalam konteks ini meniscayakan berasal dari pihak yang menyewa (musta'jir) ke pihak yang disewa (ajir/muajjir).

 

Bila sebuah pekerjaan sudah dilaksanakan oleh ajir/muajjir (pihak yang disewa atau menyewakan jasa), maka pihak musta'jir (penyewa/pengguna jasa) bertanggungjawab atas upah yang harus diberikan. Bila upah itu diberikan seketika saat pekerjaan itu selesai, atau sebelum pekerjaan itu selesai, maka upah yang demikian ini disebut dengan istilah upah tunai.

 

Namun, bila upah itu diberikan melalui adanya jeda waktu penyerahan, maka upah semacam ini disebut sebagai utang upah (mâl duyun/syaiin maushuf fi al-dzimmah). Singkatnya, mahu dinamakan apapun upah itu, baik itu disebut sebagai cek, koin, voucher, poin, dan lain sebagainya, maka pencairan upah itu meniscayakan harus dari pihak penyewa (musta'jir). atau pihak yang memiliki relasi utang dengan musta'jir.

 

Dari Ijarah ke Akad Bagi Hasil

Akad qiradl digambarkan sebagai relasi pemilik harta dengan amil yang pengupahannya didasarkan pada hasil kinerja. Bila hasilnya banyak, maka pihak amil juga akan menerima banyak. Ruang gerak dari amil qiradl bersifat tidak dibatasi oleh rabbul mâl (pemilik harta) yang dalam akad ijarah menempati derajat pihak yang menyewa jerih payahnya amil qiradl (pelaksana lapangan).

 

Alhasil, menilik dari sifat pembagian hasil kinerja terhadap amil ini, maka akad qiradl pada dasarnya juga bisa disampaikan sebagai akad wakalah bi al-ju'li (perwakilan dengan upah berbasis reward/komisi). Mengapa? Sebab dalam akad qiradl, pihak selaku rabbul mâl, meniscayakan penyerahan harta yang dimilikinya untuk dikelola oleh amil.

 

Akad penyerahan ini, sudah pasti berbasis amanah (kepercayaan). Setiap akad yang berbasis amanah namun disertai adanya ijin penggunaan harta yang diamanahkan sehingga memungkinkan berganti fisik yang lain akibat pengelolaan, tanpa adanya tuntutan ganti rugi bila terjadi kerugian yang bukan disebabkan unsur kesembronoan (taqshir dan tafrith), maka akad itu adalah akad wakalah.

 

Sebagai upah karena aktivitas pengelolaan dan pembelanjaan, maka pihak yang melaksanakan kerja (wakil), akan mendapatkan hasil berupa ju'lu (komisi/reward). Terkadang reward ini dinyatakan sebagai nisbah prosentase hasil kinerja. Itulah sebabnya, akad wakalah yang disertai adanya upah berbasis ju'lu ini, dikenal sebagai akad wakalah bi al-ju'li, yang dalam mazhab Syafii adalah termasuk jenis akad qiradl.

 

Akad mudharabah, merupakan perluasan dari akad qiradl. Pihak rabbul mâl (pemilik modal) bersifat menentukan terhadap apa yang harus dikerjakan oleh mudlarib (pengelola lapangan). Alhasil, pihak rabbul mâl memberikan instruksi usaha yang harus dilakukan oleh mudlarib. Seolah, ada perkataan semacam: "Ini ada modal, gunakan untuk membangun usaha peternakan. Hasilnya nanti kita bagi berdua. Kamu 70%, aku 30%." Inilah gambaran akad mudharabah itu.

 

Kerja Sama Usaha untuk Dapat Upah Bersama, Bukan Saling Mengupah antar-Sesama Peserta

Akad syirkah merupakan yang lebih luas lagi dibanding akad qiradl dan akad mudharabah. Jika di dalam akad mudharabah, peran rabbu al-mâl (pemilik modal) bersifat menentukan terhadap apa yang harus dilakukan oleh mudlarib (pengelola), namun dalam akad syirkah, peran rabbu al-mâl ini dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang saling berakad untuk melakukan:

  1. kumpul modal bersama sehingga tidak bisa dibedakan mana modal pihak satu dengan pihak lainnya,
  2. Jenis modal yang dikumpulkan adalah jenis modal tunai, yakni bisa dinyatakan dengan satuan mata uang setempat (qimatu al-mitsli).
  3. menggunakan modal untuk usaha bersama,
  4. menciptakan dan bergerak dalam bisnis yang sama secara bersama-sama,
  5. untung rugi dari hasil usaha, dibagi bersama sesuai nisbah penyetaan modal, dan
  6. meniscayakan adanya kerja bersama-sama, sehingga pihak mitra satu atas mitra yang lain berkedudukan sebagai wakil bagi syarik lainnya.

 

 

Jadi, bedanya dengan akad mudharabah, maka pada akad syirkah ini, tidak ada yang berperan selaku juragan dan bawahan. Alhasil, tidak ada yang bertindak selaku yang memberi upah dan yang diupah. Jika tidak ada yang bertindak selaku yang saling memberi upah, maka tidak ada pula istilah saling mengupah antar peserta atau antar mitra.

 

Seluruh pihak bertanggung jawab terhadap perjalanan usaha dan keselamatan modal bersama sehingga mendapatkan hasil yang bisa dibagi bersama. Alhasil, jauh beda ya dengan pengertian saling mengupah antarpeserta atau sesama peserta, sebagaimana yang diterapkan beberapa pola money game atau penjualan langsung tertentu.

 

Untuk itu, syirkah meniscayakan adanya kesepakatan yang dibangun bersama terlebih dulu dalam kerja sama. Ketiadaan kesepakatan menjadikan akad tersebut berubah menjadi akad syirkah fasidah (syirkah yang rusak). Di dalam akad syirkah fasidah, apabila akad itu tidak didudukkan ke rumpun akad qiradl atau mudharabah, maka otomatis akad itu menjadi akad bathil (tidak sah). Alhasil, pendapatannya pun menjadi yang batal secara syara'. Wallahu a'lam bi al-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim