Syariah

Mengupas Praktik Money Game Warung Cashback (1)

Ahad, 7 Februari 2021 | 13:30 WIB

Mengupas Praktik Money Game Warung Cashback (1)

Harap bedakan Warung Cashback yang dibahas dalam tulisan ini dengan program promo Bukalapak dengan nama serupa.

Saya yakin bahwa Anda tidak asing lagi dengan istilah cashback, bukan? Iya, cashback itu merupakan istilah lain dari harta digital yang ada dalam bentuk ikatan utang janji pemenuhan oleh marketplace tertentu, sebagai buah relasi dari promo yang dilakukan marketplace, dan dari promo itu ada pihak konsumen yang berhasil memenuhinya.

 

Dalam konteks fiqih, promo ini masuk kategori akad ju’alah (sayembara). Alhasil, cashback memiliki kaitan dengan akad ju’alah tersebut, sehingga menempati derajatnya ju’lu, reward atau komisi dari marketplace. Seolah berlaku ketentuan, bahwa tanpa promo, tidak ada ju’lu/komisi. Ada promo, ada ju’lu. Sederhana, bukan?

 

Gambaran dari akad fiqihnya (takyif fiqih) promosi dan komisinya dalam bentuk cashback itu bisa dideskripsikan sebagai berikut:

  • Pihak marketplace yang menyuruh melakukan suatu pekerjaan kepada konsumen lewat aksi promonya.
  • Pihak konsumen kemudian mendapatkan koin berbekal mengikuti program promo yang disampaikan marketplace
  • Selanjutnya koin bisa digunakan konsumen untuk melakukan klaim voucher cashback.
  • Berbekal voucher ini, pihak konsumen berhak mendapatkan potongan harga sesuai dengan yang dijanjikan oleh marketplace. Alhasil, voucher merupakan harta digital yang memenuhi syarat sebagai harta sebab ada ikatan janji pemenuhan oleh pihak marketplace, sebagai buah dari relasi promosi.

 

Menyimak dari alur transaksi sampai munculnya cashback di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cashback adalah harta halal dan berjamin janji pemenuhan penyampaian komisi, serta bukan buah dari aktivitas yang diharamkan yakni manfaat dari utang sebagaimana yang sering dituduhkan oleh beberapa pihak. Alasannya, cashback ada sebelum aksi belanja. Cashback lahir karena ju’alah, dan bukan lahir karena semata relasi utang. Seumpama orang berkata: “Kalau kamu punya bukti surat perintah dari pihak marketplace, maka saya kasih kamu potongan harga sebesar 75%.” Alhasil, cashback berposisi sebagai penjamin transaksi.

 

Apa yang terjadi pada cashback di atas ini, sudah berlaku umum di beberapa marketplace besar yang terkenal di Nusantara ini. Ada Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dan lain-lain.

 

Nah, kali ini, kita akan membahas mengenai cashback yang memiliki nuansa lain, dan benar-benar menunjukkan fakta alur yang benar-benar berbeda dari cashback di atas pada umumnya. Selama beberapa waktu ini, penulis dan rekan-rekan peneliti fokus pada mengkaji sistem bisnis yang berkaitan dengan cashback ini. Lebih lengkapnya simak uraian berikut!

 

Profil Cashback yang Terindikasi Tidak Wajar

Seiring munculnya banyak sistem pemasaran dewasa ini, ada keunikan pada ragam mekanisme pemberian cashback. Jika sebelumnya, cashback merupakan harta yang berjamin janji pemenuhan ju’lu buah relasi dari akad ju’alah, namun kali ini cashback memiliki jaminan yang lain. Ada sebuah aktivitas yang mengidentikkan diri sebagai warung, namun hal yang dipasarkan dan dipromosikan adalah cashback. Mereka menamakan diri Warung Cashback (warungcashback.com [arsip]). Jargon mereka, “Pulang bawa barang, uang tidak berkurang.” Unik, bukan?

 

Sebagai catatan, harap bedakan Warung Cashback yang dibahas dalam tulisan ini dengan program promo Bukalapak dengan nama serupa. Selain di situs resmi, skema bisnis juga bisa dibaca di berbagai situs milik para anggota atau agen. 

 

Alur Transaksi Warung Cashback

Awal mulanya mereka menawarkan sebuah unit kerja sama permodalan dan menjanjikan suatu nisbah bagi hasil berdasarkan modal yang disertakan. Besaran modal yang disertakan berkisar antara 1 juta hingga 20 juta. Belakangan, mereka tidak menganggapnya lagi sebagai penyertaan modal, namun berbasis akad jual beli.

 

Pihak member (anggota) tidak dibebani sama sekali dengan suatu aktivitas kerja apa pun (dalam pengakuannya).

 

Jadi, mereka tidak berdagang, juga tidak pula berperan selaku sales produk. Jadi, mereka tidak perlu melakukan promosi sama sekali.

 

Mereka tinggal duduk dan menunggu komisi sampai batas waktu yang ditentukan, plus balik modal setelah 40 hari. Betul-betul 100% pasif sehingga pendapatan yang didapatkan pun bersifat pasif (passive income). Status member di mata perusahaan hanyalah berperan selaku mitra (anggota), sebagaimana member-member yang lain.

 

Apakah ada tugas sampingan mencari anggota kepada para member?

Nah, ini yang perlu kita tegaskan. Mereka mempromosikan diri di web yang mereka kelola dan sekaligus afiliasinya sebagai perusahaan yang tidak mengikuti pola bisnis MLM (Multi Level Marketing) yang diindikasi oleh keberadaan member get member (angota mencari anggota).

 

Namun, dalam realitas di lapangan, setiap anggota diiming-imingi oleh sebuah reward bila berhasil mengajak satu orang untuk bergabung. Anggota yang merekrut akan mendapatkan komisi sebesar 100 ribu per anggota baru secara langsung.

 

Mekanisme Keikutsertaan Anggota

Setiap anggota yang menghendaki menjadi investor diwajibkan untuk mendaftarkan diri terlebih dulu dengan menyerahkan modal yang disertakan, ditambah biaya administrasi yang berjenjang sesuai besaran modal yang disertakan. Penyerahan ini dilakukan oleh anggota kepada agen. Selanjutnya, para anggota dikelompokkan ke dalam kelas-kelas keanggotaan beserta biaya pendaftarannya sebagai berikut:

 

  • Paket Silver: Rp1.000.000 + biaya administrasi/tiket 50.000. Total Rp. 1.050.000
  • Paket Gold: Rp5.000.000 + biaya administrasi/tiket 100.000. Total Rp. 5.100.000
  • Paket Platinum : Rp10.000.000 + biaya administrasi/tiket 150.000. Total Rp. 10.150.000
  • Paket Diamond: Rp. 20.000.000 + biaya administrasi/tiket 300.000. Total Rp. 20.300.000

 

Di samping itu, ada kelas keagenan, dengan rincian sebagai berikut:

  • Kelas Sub Agen, biaya modal penyertaan sebesar 50 juta
  • Kelas Agency, biaya modal penyertaan sebesar 100 juta

 

Fasilitas yang didapatkan mitra saat mendaftar adalah mendapatkan produk senilai modal bergabung dengan akad jual beli, dan situs web atau akun pribadi. Misalnya, bila ada seseorang yang mendaftarkan diri dengan mengambil kelas silver harga 1 juta rupiah, maka setelah membayar administrasi dan mentransfer uang ke rekening yang ditunjuk oleh agen tempat ia mendaftar, maka ia berhak mendapatkan produk herbal “suplemen makanan” senilai 1 juta rupiah.

 

Jika calon mitra ini tidak mengambil atau tidak berminat terhadap produk herbal yang dibelinya (yang jelas, pasti tidak minatnya), maka perusahaan yang diwakili oleh agen akan “membeli” kembali produk tersebut dengan “bonus” berupa voucher sebesar 10% dari harga produk herbal yang dibeli. Ingat ya, meski disebut “bonus”, voucher ini sebenarnya adalah harga itu sendiri, dan bukan “bonus”.

 

Alhasil, bila harga produk herbal itu senilai 1 juta, maka produk itu dibeli kembali oleh agen atas nama mewakili perusahaan dengan harga senilai 100 ribu rupiah yang langsung dimasukkan dalam dompet digital milik calon mitra tersebut. Alhasil, produk seharga 1 juta itu hanya laku sebesar 100 ribu. Dan ini berlaku atas semua kelas. Jika anggota ikut kelas 10 juta, maka ia mendapatkan produk seharga 10 juta, lalu dibeli dengan bonus berupa voucher senilai 10% modal, sehingga sama dengan 1 juta. Pertanyaannya: kemana larinya uang yang 90% dari modal itu? Inilah salah satu kunci utama pembahasan kita kelak.

 

Level Stockis, Keagenan, dan Jaringan

Ada beberapa jenjang level stockis yang dikembangkan oleh mereka. Untuk menjadi stockis, mereka diarahkan untuk melakukan pembayaran yang berbeda antara level desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat. Level stockis ini pada dasarnya adalah sama dengan leader atau sponsor atau upline. Mengapa? Sebab, para anggota yang sudah menyetorkan keuangannya ketika awal mendaftar, mereka akan senantiasa belanja ke tempat ia mereferensikan diri selaku anggota. Itu sebabnya, mereka menamakan diri sebagai sistem keagenan, dan sekaligus jaringan.

 

Alur Pemberian Cashback

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, mitra dijanjikan akan mendapatkan cashback berupa sharing profit margin dari program yang mereka tawarkan sebesar 3,5% (modal + margin) per satu putaran perniagaan/hari dengan kontrak pendek hanya 40 putaran/hari.

 

Penting sekali untuk menyimak mekanisme ini, sebab di sinilah letak pendapatan itu dibagi-bagikan kepada mitra dengan mengatasnamakan cashback dengan jaminan berupa sharing profit margin.

 

Asal Muasal Sharing Profit Margin

Saldo usaha setiap putaran per harinya akan disalurkan oleh pihak yang mengaku sebagai marketplace ini ke dalam 2 kolom dompet digital dan dipublikasikan lewat akun pribadi web yang dimiliki oleh member. Secara umum, dompet digital itu berisikan informasi sebagai berikut:

 

Pertama, Saldo Voucher Cashback. Asal dari Saldo Voucher Cashback ini berasal dari kalkulasi “modal yang disertakan” dikalikan dengan 2,5% per hari. Misalnya, untuk kasus di atas, modal yang disertakan senilai 1 juta rupiah, maka modal itu dikalikan dengan 2,5%, sehingga total penambahan saldo harian terjadi sebesar 25 ribu.

 

Jika 1 poin cashback itu senilai 10 ribu, maka angka 25 ribu ini, selanjutnya disimbolkan sebagai 2.5 Poin Cashback.

 

Kedua, Saldo Voucher Belanja. Asal dari Saldo Voucher Belanja ini adalah berangkat dari kalkulasi modal dikalikan dengan 1%. Jadi, dengan modal 1 juta rupiah, para member dijanjikan pendapatan berupa Voucher Belanja senilai 10 ribu rupiah per hari.

 

Pendapatan yang Diperoleh Member

Di awal sudah disampaikan, bahwa pendapatan yang didapat oleh member sejak awal kali ia mengikuti program ini, adalah mendapatkan produk-produk yang ditawarkan oleh pihak yang mengaku sebagai marketplace tersebut.

 

Pendapatan lain dihasilkan dari penyertaan modal, yang mendapatkan cashback berupa Voucher Cashback senilai hitungan modal dikali 2,5%, dan Voucher Belanja senilai hitungan modal dikali 1% selama 40 putaran per 40 hari.

 

Dengan demikian, berdasarkan gambaran kasus di atas, maka di dalam saldo deposit calon mitra, setelah hari pertama penyetoran uang senilai 1 juta rupiah, adalah terakumulasi voucher belanja senilai 10 Voucher Belanja + 25 ribu Voucher Cashback (2,5) + 10 ribu Voucher Belanja (1) yang bila dirupiahkan akan senilai 135 ribu rupiah.

 

Hal yang perlu dicatat, adalah bahwa setiap mitra memiliki ikatan kontrak permodalan selama kurang lebih 40 putaran perniagaan. Alhasil, 40 putaran itu mencapai kurang lebih 40 hari. Selama 40 hari itu, setiap harinya Voucher Cashback calon mitra yang menyertakan uang sebesar 1 juta rupiah akan bertambah sebesar 2.5, dan Voucher Belanja sebesar 1. Total 40 hari terakumulasi 100 Voucher Cashback (setara 1 juta rupiah) dan 40 Voucher Belanja (setara dengan nilai 400 ribu) ditambah 10 Voucher Belanja (senilai 100 ribu) dari produk yang tidak dimaui oleh calon mitra. Ini yang disebut oleh mereka sebagai profit sharing margin itu.

 

Problem Fiqih Cashback dari Warung Cashback

Sejak awal, jika kita cermati alur demi alur transaksi yang terjadi dalam marketplace abal-abal ini, sejatinya kita sudah mendapatkan gambaran mengenai keanehan program ini. Bagaimana tidak aneh? Belanja kok uangnya balik lagi, sementara barang yang dibeli juga dibawa oleh konsumennya.

 

Sudah barang tentu dalam konteks semacam ini, tidak mungkin bagi pihak marketplace atau pimpinan perusahaan akan berjibaku untuk menolkan diri dalam keuntungan. Ternyata kunci dasarnya adalah Voucher Belanja Awal senilai 10% dari Harga Belanja Awal berupa produk herbal propolis (air liur lebah).

 

Harta dengan total komposisi dari modal awal sebesar 90% persen itu lantas dikemanakan? Lalu, bagaimana perusahaan membayar anggotanya? Adakah indikasi kejahatan dan money game? Ulasan berikutnya akan disampaikan pada kesempatan mendatang, insyaallah! Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Direktur eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia) dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur